Perhelatan akbar Peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika (KAA) telah berakhir dan tamu-tamu serta undangan dari 106 negara yang terdiri dari 26 pemimpin negara, 80 wakil pemimpin serta utusan khusus telah pulang ke negaranya masing-masing dengan membawa pekerjaan rumah yang tidak mudah untuk diselesaikan. Apa yang menjadi kesepakatan dan telahmenjadi dokumen utama begitu sangat abstrak, bersifat das sollen, mendekati utopianism. Terutama bila dikaitkan dengan permasalahan dalam negaram masing-masing anggota yang beragam, unik, historis, konplicated dan memerlukan penaganan secara khas dan tidak mudah. Seperti diketahui Dalam KTT AA itu menghasilkan tiga dokumen utama untuk diterapkan dan diwujudkan bersama seluruh negara peserta. Yakni 1. Pesan Bandung berupa visi yang harus dicapai, 2. Deklarasi Penguatan Kemitraan Strategis Baru Asia Afrika yang adalah kerangka kerja implementasi dan tindak lanjut pesan Bandung, 3, Deklarasi Palestina yang berisi delapan poit dukungan kepada Palestina untuk meraih kemerdekaannya.
Baru saja sehari konferensi usai, Jepang dan Tiongkok sudah bersitegang lagi karena kunjungan tiga menteri Jepang ke kuil Yasukuni, simbol kekejaman militerisme Jepang di masa lalu yang menimbulkan perasaan traumatik rakyat Tiongkok. Dokumen penting dari KAA itu juga menghadapi ujian dan delegitimasi oleh fakta masih maraknya kekerasan serta radikalisme yang bersifat regional dan intern negara-negara Asia Afrika. Bom bunuh diri hampir setiap hari terjadi di Irak, Nigeria, Somalia Pakistan, Afganistan, dan Mali. Konflik dan kekerasan bersebab agama, suku, dan ras masih terus dibahasakan di Suriah, Irak, Libya dan kini yang menghangat, di Yaman antara pengikut Syiah versus Sunni Islam.
Jokowi dalam sambutannya di konferensi antara lain mengatakan, “ Oleh sebab itu, suara dan keputusan kita tidak dapat diabaikan oleh siapapun. Dalam konferensi ini kita sepakat menggelorakan kembali inti perjuangan Selatan-selatan, yaitu kesejahteraan, solidaritas, dan stabilitas negara-negara Asia Afrika....selain itu, yang tak kalah penting, Asia Afrika dapat merealisasi kemerdekaan Palestina mengingat Palestina menjadi satu-satunya negara Asia yang masih terjajah...... KTT Asia Afrika juga mengecam aksi ekstremisme dan terorisme yang mengatasnamakan agama dan mendorong dialog budaya dan agama.”
Soal dialog budaya dan agama ini perlu digaris bawahi untuk menjadi prioritas penanganan karena sangat terkait dengan pesan Bandung 1955 dan kenyataan kekinian negara-negara Asia Afrika yang masih kerap mengalami konflik primordial yang akut sehingga sukar untuk mewujudkan solidaritas dan stabiltas yang langgeng di kawasan Asia Afrika. Pesan Bandung 1955 yang merupakan komitment bangsa-bangsa Asia Afrika itu adalah; masalah hak asasi manusia, kedaulatan dan keutuhan wilayah, kesetaraan, perhormatan hak, bebas dari tekanan apapun, anti kekerasan, jalan damai, keadilan, menggalang kerja sama untuk maju dan menjalan kewajiban internasional.
Tanpa usaha keras serta komitment politik bersama bangsa-bangsa Asia Afrika untuk menyelesaikan konflik primordial di negara-negara anggota secara dialogis serta komunikasi yang sehat antar G to G, atau dengan arbitrase dan mediasi organisasi atau institusi yang lahir dari kerja sama Asia Afrika, maka himbauan ke dalam dan ke luar, upaya pembangunan ekonomi dan pencapaiaan kesejahteraan bersama akan berat dicapai serta lama perwujudannya. Sementara kemiskinan, keterbelakangan dan kekumuhan terus saja terjadi di kawasan dalam jumlah milyaran penduduknya. Apalagi konon PBB pun dianggap tak bisa diharapkan untuk menyelesaikan konflik-konflik yang ada, sementara organisasi keuangan dunia seperti IMF, Bank Dunia, dan ADB disinyalir hanya membantu Asia Afrika demi memperbanyak pundi-pundi keuangan negara-negara maju pemegang saham prioritasnya dan jauh dari solusi yang bersifat nyata, dan memperhatikan problem lokalitas.
Secara geographis Asia-Afrika itu membentang dari Marokko hingga ke Merauke dan sekitarnya, membujur dari Afrika Selatan sampai ke Korea Utara. Suatu wilayah yang teramat luas melebihi luas wilayah lain di dunia ini. Namun secara budaya, politik dan sosial juga paling beragam dan kompleks dibanding wilayah lain, juga dalam hal fragmentasi ekonomi. Di bagian dunia lain seperti Amerika Utara dan Eropa, di sana ada keluasan juga, tapi secara budaya, sosial dan politik mudah untuk dipersatukan, kendati dalam hal-hal tertentu ada juga yang sukar untuk didamaikan. Budaya Romawi, Anglo Saxon atau teuton adalah perekat wilayah tersebut, dan agama kristen adalah pemeran utama dalam persatuan mereka.
Amerika Selatan pun satu dalam agama dan akar budaya, yakni Kristen serta kebudayaan Latin, utamanya kebudayaan Iberia, Spanyol dan Portugis. Faktor perusak hubungan diantara negara di sana, adalah urusan ideologi yang bisa sangat tajam antagonismenya, sosialis atau komunis vis a vis sistem kapitalisme. Namun begitu, mereka juga sangat mudah disatukan dengan bahasa cinta atau seni dan budaya lewat musik samba, cha-cha, tango atau reggae atau bola.
Dengan begitu di kedua wilayah tersebut, konflik berdasar primordialisme jarang terjadi, kalaupun ada, tidak berkepanjangan. Kecuali di Eropa berabad lalu yang meradang gara-gara perseteruan Katolik dan Protestan. Perang karena masalah ideologi atau antar ras pernah terjadi dengan hebat, tapi kini semua itu telah bisa diatasi dan dihindari oleh kedewasaan para pemimpin dan masyarakatnya, serta adanya kemauan untuk belajar dari pengalaman dan masa lalu yang bersifat traumatk dan menghacurkan
Sedangkan negara-negara di Asia-Afrika, jurang pemisah begitu banyak dan resource serta kemauan untuk menyelesaikan konflik tak kunjung ketemu yang pas, sehingga bisa tercipta kestabilan dan solidaritas yang significan. Setiap upaya penyelesaiaan seperti sia-sia dan mubasir, sehingga konflik di sana terkesan menjadi abadi dan berpotensi mematikan harapan masa depan bangsa-bangsa. Konflik Sudan yang tak kunjung beres yang melibatkan regionalisme, agama, suku dan ras. Sudan Utara yang didominasi orang-orang Arab dan agama Islam, tak pernah mau berdamai dengan Sudan Selatan yang didominasi suku-suku Afrika asli dan beragama Kristen. Belum lagi bicara masalah-serupa di Rwanda, Angola, Nigeria atau di negara-negara Afrika utara yang walau satu agama tapi hubungan Arab vesus suku Berber masih bagai api dalam sekam yang siap terbakar.
Di jazirah Arabia, konflik terus berlangsung antara Israel melawan Palestina, Sunni versus Syiah, Kristen dan islam di Libanon, Iran yang syiah dan Saudi Arabia cs yang Sunni kini saling berebut pengaruh di Yaman. Dan kini ada Isis yang berpotensi memporak-porandakan prospek semua perdamaian diseluruh kawasan Mediterania.
Clifford Geertz dalam bukunya,” The Integrative Revolution : Primordial Sentiments and Civil Politics in the New States” mengkonstatasi betapa susahnya mempersatukan unsur-unsur primordial di negara-negara nasional Asia-Afrika. Dia memberi contoh di Nigeria saja nasionalisme bisa mengambil bentuk lima lapisan kesetiaan yang bermanifestasi secara serentak, yakni Afrika, Nigeria, Daerah, Kelompok dan Kultur. Jadi Nation sebagai ‘masyarakat terakhir’ atau ‘ imagined society’ masih problematis di negara-negara kawasan Asia-Afrika. Kalau begini betapa akan bisa bersatu dan bersolidaritas dalam tataran dan global antar negara.
Walau buku Geertz tersebut ditulis era perang dingin, tahun 1963, tapi gemanya masih bisa dirasakan hingga kini, bahkan masalah-masalah primordial itu malah sekarang lebih berpotensi menghancurkan karena sudah berkelindangan dengan kepentingan ekonomi dan kecanggihan organisasi dan teknologi yang dipunyai pihak-pihak yang berseteru. Menurut Geertz, masalah-masalah primordial yang berpotensi membuat kegoncangan di intern negara AA adalah masalah hubungan darah atau kesukuan, jenis bangsa atau ras, bahasa, daerah, agama dan kebiasaan atau cara hidup antara kaum elite dan orang bawahan.
Masalah kesukuan yang rumit itu timbul di negara-negara seperti Nigeria, Konggo dan sebagian besar wilayah Afrika sebelah selatan gurun Sahara. Juga dilihatnya bisa timbul pada pada suku—suku pengembara dan semi pengembara di Timur Tengah – suku Kurdi, Baluchi, Pathan, atau Naga- Munda dan Santal di India; dan sebagian besar suku-suku daerah perbukitan di Asia Tenggara. Dan kita lihat sendiri konflik etnis tersebut telah berdarah-darah di Indonesia, atau Birma dewasa ini yang melibatkan suku-suku Bugis-Makssar, Ambon, Dayak, Madura atau Rohinga. Masalah Ras dilihatnya muncul dalam hubungannya dengan kaum minoritans pedagang dan perantau China di Indonesia, orang-orang India dan Libanon di banyak negara Afrika serta masalah orang India, China dan Melau di Malaysia. Masalah regionalisme dan bahasa telah memecah Pakistan menjadi dua yakni Pakistan dan Bangladesh. Agama sebagai faktor desintegrasi nyata pada pemisahan India dengan Pakistan.
Faktor agama itu sangat penting untuk diperhatikan karena sukar untuk direkonsiliasi bila telah meradang dan menjadi sebab perpemusuhan dan perpecahan. Masalah agama sangat rentan untuk disusupi unsur destruktif intern maupun eksternal yang bertujuan memecah belah satu negara dan masyarakat. Di samping pesimisme yang ada, para pemimpin dan kaum intelektual juga punya pandangan yang optimis terhadapa fungsi dan peran agama di dunia.Yang optimis antara lain adalah John Naisbit dan Patricia Aburdene. Dalam buku mereka “ Megatrend 2000” dikatakan akan terjadi kebangkitan dan harapan besar pada agama karena kegagalan rezim modernisme mengatasi krisis batin manusia dalam menggapai makna dan tujuan hidupnya. Namun optimisme itu juga telah dibayangi oleh kecemasan dan ketakutan oleh munculnya semangat keberagamaan yang eksesif dan emosional dewasa ini. Terutama jika ia berkelindan dengan faktor kesukuan atau ras. Munculnya ‘Etnoreligiutas’ sebagai monster perusak kita bisa lihat dari fenomena keberadaan Isis, Boko Haram, konflik agama di Ambon, Poso dan Kalimantan.
Para intelektual yang risau pada peminggiran agama dari kancah pergumulan sosial budaya juga datang dari intelektual kelas elite dunia seperti Arnold Toynbee, Oswald Spengler, Vilfredo Pareto, atau Pitirim Sorokin. Rata-rata mereka menclaim bahwa peradaban barat yang merosot dan turun serta mengalami perpecahan disebabkan oleh digantikannya nilai-nilai agama oleh faham-faham sekularisme, demokratisasi dan proses industrialisasi dan urbanisasi. Dengan kata lain penolakan terhadap agama yang diikuti modernisasi atau pengejaran nilai-niali materialisme dan rasinalisme adalah penyebab alienasi dan kehampaan hidup manusia yang berakibat pada dua perang dunia, politisasi masa dan pembersihan etnik ( holocaust). Hal ini dinyatakan oleh Samuel P. Hutington dalam bukunya, “ The Change to Change; Modernization, Development and Politics”
Bagi Indonesia sebagai pemrakarsa utama konferensi Asia Afrika dan dianggap sekarang sebagai pemimpinnya, mestinya lebih focus dan prioritas pada masalah-masalah primordial dan sektarian tersebut di atas. Dan mau menjadi contoh dan teladan akan keharmonisan dan persatuan intern yang nyata dan solid. Sebelum melangkah pada kerja kongrikt untuk kerja sama politik, ekonomi dan sosial budaya, terlebih dahulu tentu harus menunjukkan komitmen yang kuat pada soal integrasi bangsa serta penyelesaian masalah-masalah agama, suku, ras atau kedaerahan. Terlebih lagi hari ini tanggal 1 Mei dirayakan sebagai Hari Integrasi Nasional yang ditandai dengan kembalinya Irian Barat atau sekarang Papua kepangkuan NKRI. Juga dengan dirayakan May Day sebagai Hari Buruh Internasional untuk lebih melakukan integrasi sosial yang lebih solid berdasar pada keadilan, kesetaraan dan persamaan. Bukankah terbebasnya kaum buruh dari cekokan para pengusaha hitam sejalan dengan semangat tujuan utama KAA, yakni penegakan “hak asasi manusia” dan terbebasnya negara-negara dari imperialsme dan new kolonialiisme. Bravo
‘
Tidak ada komentar:
Posting Komentar