Sabtu, 02 Mei 2015

TRAGEDI HUKUM DAN HUBUNGAN KPK - POLRI


Membaca artikel budayawan Jacob Sumardjo di Kompas Sabtu, 2 Mei 2015, yang berjudul ‘ Badak-badak’ terasa sungguh menggelikan sekaligus mengharukan. Betapa tidak, banyak manusia sekarang diibaratkan bak sekumpulan badak yang punya libido nafsu kekuasaan yang besar, kuat tak terbatas serta cenderung merangsek, menyerang sekeliling dengan membuta tuli, tegak lurus, kaku dan berkacamata kuda yang hanya punya pandangan satu arah. Jacob Sumarjo mengembangkan ide Eugene Ionesco dari dramanya ‘ Rhinoceros’ yang menggambarkan tentara Nazi-Hitler yang telah memporak-porandakan Eropa karena prilaku predatornya yang menyeruduk kesana-kemari pada yang mencoba melawannya, bak sekumpulan badak liar yang mengamuk.

Lebih lanjut Jacob Sumardjo bertanya dan menjawabnya sendiri,” Mengapa manusia bertransformasi menjadi badak? Karena cara berpikirnya, dan karena filosofinya. Kalau mau tetap hidup, manusia harus kuat, tidak boleh lemah. Hukum kasih sayang dan harmoni itu membuat manusia lembek seperti ayam sayur. Manusia harus kuat seperti badak. Badak adalah hewan terbesar kedua setelah gajah. Gajah meskipun besar, tapi gak lembek. Badak adalah segalanya untuk menjadi manusia penguasa. Kulitnya tebal dn keras seperti tank baja. Wajahnya juga tebal maka tanpa emosi.

Transformasi manusia menjadi badak sejatinya telah divisulisasi oleh Nietzsche, pemikir mbeling Eropa yang pernah mengatakan ‘ Tuhan telah mati’ Dengan munculnya nihilism dan alienasi pada manusia, ia lalu bermetamorfosis menjadi manusia ‘ Superman’ akibat perasaan insignifican dan directionless yang dirasakannya dalam menghadapi kekuatan-kekuatan sosial politik yang tak bisa dihadapi dan ditanggulangi lagi dengan pikiran waras dan hati bening. Dan itu bermanifestasi pada sosok Hitler dan Nazisme yang narsis, rasial dan super agressive.

Usai perang dunia pertama, Jerman memang harus menanggung malu dan harus membayar hutang yang sangat besar sebagai konsekwensi sebuah bangsa yang kalah perang. Apa yang bisa diperbuat jika industri dan perekonomianpun telah hancur dan luluh lantak karena perang. Maka muncullah Hitler yang memanipulasi keadaan sengsara itu dengan pidato-pidatonya yang dahsyat agar rakyat Jerman yang terpuruk mau kembali percaya diri dan menjadi bangsa besar dan berkuasa di Eropa dan dunia. Dengan retorikanya yang hebat dan ampuh, Hitler menghasut bangsanya untuk memproklamirkan diri sebagai bangsa atau ras termurni di Eropa sebagai ‘Aria yang agung’. Bangsa Jerman harus menjadi supreme dan superior di atas bangsa-bangsa lain, ‘Deutchland Uber Alles’. Lantas berubahlah bangsa yang punya rasional dan budaya tinggi itu menjadi badak-badak ( Rhinoceros) kemudian melakukan ‘Blitzkrieg’ keseluruh penjuru Eropa, serta melakukan pembasmian bangsa Yahudi (holocaust). Karena ulah Hitler dan Nazisme yang membabi buta seperti badak itu, lagi-lagi mereka mengalami kekalahan dan kehancuran.

Dalam hal ini Hitler dan Nazisme telah menjadi makhluk-makhluk Prometheus yang membangkang para dewa Yunani untuk membuktikan otonomi, kebebasan dan martabat mereka, tapi gagal total. Konon Hitler mati bunuh diri sebelum ketangkap. Inilah yang disebut oleh Arthur Miller sebagai ‘Tragedy’, “ ....tragic feeling is evoked in us when we are in the presence of a character who is to lay down his life, if need be, to secure our thing- his sense of personal dignity....From Orestes to Hamlet, Medea to Machbet, the underlyng struggle is that of the individual attempting to gain his ‘ rightful’ position in his society...sometimes he is one who had been displaced from it, sometimes one who seeks to attain it for the first time, but the fateful wound from which the inevitable events spiral is the wound of indignity, and its dominant force of indignation. Tragedy, then, is the consequense of man’s total compulsion to eveluate himself justly”

Arthur miller sendiri membuat sebuah drama tragedi yang melibatkan orang-orang biasa dalam kehidupan. Bukan perseteruan hidup mati yang penuh pertentangan dan kesedihan antara para hero melawan penguasa, manusia setengah dewa versus dewa- dewa seperti dalam tragedi-tragedi Yunani yang berdasar pada mitologi. Dalam karyanya ‘ The death of a Salesman’ Arthur Miller menceritakan seorang ayah yang ngotot membentuk kehidupan dan karir anak-anaknya, tapi tak satupun yang mau atau berhasil menjadi seperti yang dinginkan oleh sang Ayah. Tak satu dari dua anaknya yang berkehendak jadi salesman atau usahawan sukses yang bergelimang harta dan kekuasaan sebagaimana yang menjadi mimpi orang-orang Amerika atau ‘ Amerikan Dream’

Mimpi sang salesman yang ngga kesampaiaan itu karena anak-anak yang menentang plot kehidupan sang ayah bagi mereka, akhirnya membuat sang salesman bunuh diri dalam kecewa dan kesedihan yang sangat. Sang ayah lupa bahwa anak-anaknya juga punya mimpi yang lain, yakni menggapai cita-cita dan ideal hidup mereka sendiri berdasar pada kebebasan dan individualitas. Sebuah mimpi Amerika yang lain dan baru seperti yang dirumuskan oleh William Faulkner, “ A dream simutaneous among the separate individuals of men so asunder and scattered as to have no contact to match dreams and hopes among the old nation of the old world which existed as nation not on citizenship but subjectship, which endured only on the premise of size and docility of the subject mass; the individual men and woman who said as with one simultaneous voice; ‘ We will establish a new land where man can assume tha every individual man – not the mass of men but individual men- has in alienable right to individual dignity and freedom within a fabrie of individual courage and honorable work and mutual responsibility.”

Dalam hubungan KPK-Polri yang terus saja bermasalah dan menimbulkan berbagai tragedi kemanusiaan di negeri ini; persangkaan, penangkapan, pemecatan atau kriminalisasi, saya tidak tahu siapakah yang telah berperan sebagai Dewa, siapakah yang lebih mirip manusia Prometheus yang mencuri kotak pandora. Harusnya institusi Kepolisian yang menjadi dewa karena ia lebih dulu hadir di republik ini sebagai lembaga penegak hukum katimbang KPK , dan juga polisi kan punya anggota dan perlengkapan seabreg-seabreg, sehingga menjadi powerful dan maha kuasa seperti dewa. Tapi dalam kasus-kasus yang terjadi, justru polisi dan para pendukungnya yang telah menganggap orang-orang di KPK sebagai makhluk setengah dewa, sebuah lembaga super body yang nyaris menjadi monster atau dewa perusak kepentingan dan mimpi mereka.

Dalam hal ini, saya tak akan memandang sepenuhnya, perseteruan KPK-POLRI sebagai sebuah ‘tragedy’ ala Arthur Miller, tapi akan melihatnya sebagai sebuah ‘Puisi’ kehidupan yang menyiratkan pesimisme dan optimisme sekaligus. Dan sebuah puisi yang bagus tidak akan mendikte pembacanya dengan banyak penjelasan tentang moral, action dan makna yang terkandung dalam puisi, karena itu akan menurunkan integritas puisi itu sendiri. Biarkan puisi itu menjelaskan dirinya sendiri dengan menyimak semua action yang terkandung di dalamnya. Penangkapan Abraham Samad, Bambang Widjoyanto, dan kini Novel Baswedan dengan persangkaan yang terjadi di masa lalu, sebagai imbas dari ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK, Sejatinya tela berbicara banyak tentang apa makna dibalik semua itu. Apalagi dengan komentar tajam dan terbuka Presiden Jokowi agar polisi tidak nelakukan kontroversi di tengah masyarakat, dan agar proses hukum penangkapan Novel dilaksanakan secara adil dan transparan.

Tapi tragedi sesungguhnya yang terjadi di negri ini menimpa hukum itu sendiri yang telah sekian lama berada dalam ketidak pastian akibat putusan hakim Sarpin. Kini, setelah turunnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membuat norma hukum baru bahwa penetapan tersangka bisa dipraperadilankan, maka peran hukum sebagai penegak ketertiban, keadilan dan kepastian di masyarakat telah mati suri. Mahkamah Konstitusi harusnya membatalkan produk hukum yang tidak sesuai dengan konstitusi atau Undang-undang Dasar 45, dimana dikatakan dengan tegas setelah amandemen bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, bukan sekedar berdasar pada hukum. Apakah pasal 77 KUHAP menyalahi UUD? Atau jika ingin dirubah, mengapa terkesan mendukung atau ingin mengakomodasi mereka yang telah dan akan meminta mempradilankan persangkaan tindak pidana atas dirinya.

Maka benarlah apa yang pernah dikatakan oleh mantan ketua MK, Mahfud MD bahwa dalam kenyataan justru sangat banyak kasus di mana hukum sangat bergantung dan ditentukan oleh kekuasaan. Lasalle malahan berpandangan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah UUD yang sebenarnya hanya merupakan secarik kertas, melainkan merupakan hubungan kekuasaan yang nyata, orang kecil bisa menjadi bagian dari konstitusi hanya kekecualian dan dalam keadaan luar biasa, yaitu pada waktu revolusi. Dalam konteks Indonesia, tentu yang dimaksud pada waktu revolusi kemerdekaan.

Nah, tragedi kematian hukum yang terjadi di negri ini, berpotensi menyebabkan munculnya tragedi-tragedi kemanusiaan, korupsi merebak, penyelewengan dan kejahatan berkecambah. Munculnya manusia-manusia badak adalah akibat ketiadaan hukum. Nihilisme adalah kata lain dari ketidak bertujuan yang muncul dari pengingkaran terhadap hukum. Anarkisme yag terjadi dibanyak tempat negara ini adalah imbas dari ketidak berwibawaan hukum. Tragedi Trisakti, Sampit, Ketapang, Ambon dan Poso adalah produk dari ketidak pastian dan kemerosotan hukum serta legitimasi pemerintah yang lemah.
Shakespeare mengatakan bahwa dunia adalah panggung sandiwara ( the word is a stage). Untuk mencegah agar drama kehidupan tidak tenggelam dalam aneka tragedi yang menyedihkan maka hukum tidak boleh mati atau mengalami tragedi. Hukum harus abadi, tak berubah-ubah dan sesuai akal sehat atau rasional. Abadi artinya bahwa alat pemerintahan tidak sewenang-wenang membatalkan hukum yang telah terbukti bermamfaat, atau menambah hukum yang tidak perlu. Tidak berubah-ubah artinya tidak berubah dari hari ke hari, tempat ke tempat. Rasional artinya dapat diramalkan ( predictable) dan sesuai kenyataan, keadilan dan kebenaran.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar