Kamis, 07 Mei 2015

KERJA SAMPINGAN PARA PROFESSOR

Sebagai seorang awam, dalam taraf tertentu penggemar musik dan pengamat seni budaya, lama saya mempersepsi sosok seorang professor dan aktivitasnya sebagai sosok dan kerja yang teramat serius, penuh disiplin, zakelijk, dan penuh totalitas. Juga melihat professor sebagai pribadi yang punya tradisi keilmuawan yang ketat dan etos kerja yang mumpuni. Dengan sendirinya berpikir juga bahwa pada hal-hal yang cair mengalir, tidak ketat dan dekat kepada seni atau entertainment, seorang professor akan cenderung emoh bahkan alergi untuk melakoninya. Terutama bila seorang professor itu dari bidang kedokteran atau seorang dokter yang dari sononya telah mendapatkan streotipe di masyarakat lumrah sebagai profesi yang serius dan dihindari; banyak orang yang takut ke dokter karena mengidentikkan dokter dengan jarum suntik, bau obat dan aroma rumah sakit yang tajam dan membuat pening atau mual.

Ternyata setelah sekian lama bergaul dengan para professor dan aktif mengikuti organisasi informal mereka, apa yang saya persepsikan selama ini salah, setidaknya melenceng jauh dari perkiraan semula. Dalam “ Altuser”, komunitas alumni FKUI tahun 1971, di mana tergabung para dokter yang rata-rata telah jadi professor, saya menyaksikan sendiri mereka juga menyenangi hiburan, gaya hidup relax dan santai, bahkan mengidolakan artis penyanyi lokal maupun dunia yang cocok dengan selera mereka masing-masing. Bernyanyi dan berdansa, bahkan dangdutan mereka lakoni dengan tidak main-main, malah cenderung menguasai pakem-pakemnya melebihi pemahaman entertainer beneran. Secara konsepsional, mereka tahu bagaiman bernyanyi yang benar, berdansa dan dangdutan yang menarik, tidak vulgar dan banal. Oleh kesungguhan mereka mengakrabi cultur pop tersebut, saya kini beranggapn bahwa para professor memandangnya sebagai ‘ Side Job’ atau kerja sampingan yang juga memerlukan perhatian ekstra dan melakoninya dengan bertanggung jawab. Dalam arti, mereka bermusik atau berkesenian secara “ amatir” bukan menjadi profesi yang banyak mendatangkan uang dan popularistas.

Pengetahuan para professos tentang lagu-lagu dan maknanya, jauh melampaui penyanyi-penyanyi beneran. Sejauh yang saya amati, jarang penyanyi atau mungkin tidak ada yang melagukan karya Claude Debusy, ‘ La Mer’ dalam bahasa aslinya, Perancis. Paling hanya tahu dalam versi Inggeris dengan judul ‘ Somewhere Beyond The Sea’ Dan Professor Zubairi Djoerban yang telah kerap melantunkan La Mer dengan penuh penghayatan dan apresiasi. Saya juga jarang mendengar penyanyi membawakan lagu Innamoratanya Dean Martin dengan baik dan paripurna, hanya prof. Endang Basuki yang mampu melakukannya dengan penjiwaan yang total dan tuntas.

Sebagai pemusik dan pemain band, saya tahu persis, jarang ada group band, apalagi band kontemporer yang tahu dan bisa menyanyikan dengan benar serta pener lagu ‘Homburg’ dari Procol Harun, atau ‘ Gone are The Song of Yesterday’ dari group lokal ternama, The Rollies. Dan dokter Soleh yang juga seorang komodor udara, mampu melantunkannya secara piawai, mendekati aslinya dalam artikulasi, penghayatan dan kualitas suara yang mumpuni. Mendengar dokter Soleh membawakan dua lagu legendaris tersebut, kita seperti dibawah terbang kejaman kejayaan kedua band raksasa itu dan membuka kenangan tentang suatu masa masa indah yang penuh romatisme dikala muda.

Jangan sekali-kali menyanyikan atau memainkan lagu-lagu standar secara salah dan tak mengikuti intro, interlude dan codanya secara tepat di hadapan Dr.Rodjak, pemilik RS dan Universitas Husni Thamrin, anda akan dikritik secara bertanggung jawab, karena beliau bisa memberi contoh melakoni hal-hal tersebut dengan gaya seorang virtuoso. Suatu kali saya memainkan lagu ‘The Way it Use to be’ Engelbert Hunperdink dengan coda plus backing vocal. Beliau mengkritik saya dengan mengatakan coda lagu tersebut tak menyertakan vocal tapi orkestrasi dengan penonjolan bunyi string, dan beliau benar.

Salah seorang anggota Altuser yang juga anggota The Professor Band pimpinan Gumilar Sumantri adalah prof Ikramsyah. Beliau ini paling suka lagu-lagu rock n roll utamanya I saw her Standing Therenya The Beatles. Lagu ini juga pernah dibawakan oleh beliau di acara ulang tahun Indosiar tahun 2009. Jika prof Ikramsyah melantunkan lagu-lagu rock n roll maka para altuser akan segera menjelma “ The Old Boys Society “ dan kembali terjun bebas kedunia lawas dan indah mereka di kampus, the Golden Times yang sepertinya tak pernah bisa diakhiri.

Lantas apakah dengan begitu mereka akan disebut kebarat-baratan dan pro seni pop yang dikarbit dan dibesarkan dunia industri. Mereka jauh dari pandangan ideologis, sempit dan sektarian tersebut. Kenyataannya mereka juga suka pada musik daerah atau etnik, keroncong bahkan dangdut. Setiap ada pertemuan atau perhelatan, mereka pasti juga menyertakan repertoire unik yang berdasar pada budaya sendiri. Professor Suparmanto, ketua komunitas ‘Altuser’ paling suka menyanyikan lagu-lagu keroncong atau langgam, bahkan pernah menjadi anggota sebuah group keroncong sebagai pemetik bas betot. Prof Zubairi kerap menyanyikan Sekumtum Mawar Merahnya Elvie Sukaisih dan juga Kisah Kasih di Sekolah versi dangdut ciptaan Obbie Mesakh.

Jika anda melihat sendiri cara dokter Soleh melantunkan Sisa-Sisa Cintanya Ona Sutra, maka pasti tidak bisa membedakan antara dokter Soleh sebagai dokter dengan penyanyi dangdut. Cengkok-cengkok serta emosi dangdut yang penuh rasa kecewa dan rasa mengasihani diri sendiri hadir di sana. Sering mata dokter Soleh pun meram-melek seperti dangduters asli yang menghayati rasa sakit kaum marginal yang melampias dalam setiap lagu dangdut. Hanya pada lagu Sakitnya tuh di sini Cita Citata, para dokter yang menyanyikannya secara keroyokan, kesan menderita itu hilang, karena dinyanyikan dengan gaya guyon serta main-main. Sekedar wujud dari rasa solidaritas pada dunia perdangdutan dan juga media untuk menyalurkan beban ruitinitas kerja mereka yang tidak sembarangan seriusnya, sekaligus membina keakraban antara sesama komunitas dalam lagu dan bergoyang.

Jacques Barzum, seorang musicology pernah mengatakan “ What makes music and painting populer avocations today is that they are not the apanage of a group, class or profession “ Hal ini dikatakan Barzum melihat realitas di jamannya di mana amatirisme di bidang seni begitu luas dan merebak, yang disimbolkan dengan kenyataan dua presiden Amerika Serikat adalah seorang pelukis dan pemain piano yang bagus. Dan kini di Indonesia juga mengalami era di mana beberapa presidennya adalah seniman atau budayawan. Gus Dur adalah seorang penulis dan pengamat seni budaya yang handal, pernah menjadi Ketua Akademi Jakarta, presiden SBY adalah mantan pemain band, penyair dan pengarang lagu yang piawai. Sedangkan Jokowi adalah penggemar berat musik metal atau rock, terutama, Metalica.

Morris Weitz yang mengusung konsep terbuka tentang seni mengatakan bahwa rumusan-rumusan apapun tentang seni sudah tidak memuaskan lagi. Credo kaum romantik yang menganggap kesenian sebagai “ penuangan emosi manusia yang sedalam-dalamnya” dengan ciri yang sangat individualis tidak cocok lagi dengan selera manusia kontemporer yang pernah mengalami trauma dua perang dunia yang menghancurkan. Dalam pandangan Weitz , individualisme dan prinsip “ Seni untuk seni” telah membuat seniman sombong dan tak perduli pada sesama dan lingkungan. Seni menjadi ekslusif dan senimannya memisahkan diri dri masyrakat lantas mondok di menara gading serta menjauhkan diri dari masalah-masalah sosial. Singkatnya seni tidak lagi bisa dibatasi dengan kriteria-kriteria yang maunya mentotalisasi dan bersifat universal. Seni adalah ‘ruang terbuka luas’ yang memberi kedamaian, kesejukan dan keindahan kepada siapapun tanpa keculi.

Keculai bagi komunitas dan agama tertentu, seni juga tidak lagi dikaitkan dengan dewa-dewi. Seperti dalam konsepsi Jawa Kuno yang menghadirkan dewi keindahan dalam aneka perwujudan; Kama, Saraswati, Girnatha atau Parwata Rajadewa. Bahkan bagi kaum realistis, musik juga tak ada hubungannya dengan iblisi bernama Lucifer yang dikaruniai Tuhan dengan talenta besar bermusik tapi menyalahgunakannya dengan mengajak orang menjadi penghujat Tuhan. Konon setelah lucifer diusir Tuhan dari surga, dia telah menghasut banyak manusia untuk berbuat dosa dan melupakan Tuhan. Salah seorang musisi pengikut Lucifer adalah Marilyn Manson yang berguru pada pendiri Gereja Satan, Anton Lavey. Lirik-lirik lagunya rata-rata menghujat Tuhan serta rajin mengajak jiwa-jiwa ke pondok iblis, terutama dari kalangan pemusik dan penggila musik rock ; rock n roll, hard rock, underground, metal, trash metal, dsb.

Harus dipahami bahwa yang disampaikan ini adalah sebuah sudut pandang saja, yang berbeda dari dari pilsafat seni untuk seni, seni sebagai ekspresi individual, atau seni sebagai perwujudan ke-Maha Indahan Tuhan. Kenyataan merebaknya amatirisme seni secara meluas kini adalah bagian dari perubahan cara pandang pada seni pada umumnya yang terjadi akibat ekonomisme atau kecendrungan populisme para petinggi atau elite masyarakat. Bahkan para seniman betulan juga sudah pada ragu untuk tetap bertahan pada pandangan bahwa seni adalah sesuatu yang agung, idealis, dan hanya milik kaum berbakat dan terpilih belaka. Batas-batas seni tinggi atau yang bukan sudah nyaris jebol. Yang tersisa adalah bahwa seni atau musik adalah bagian dari ekspresi kemanusiaan, persahabatan dan dan cinta, sepeti semangat lagu yang professor Ganesha Harimurti sering nyanyikan, “ Looking Trough The Eyes of Love”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar