Tujuan negara yang utama adalah mensejahterahkan dan mencerdaskan rakyat, dalam pengertian ini meliputi juga terbebasnya rakyat dari kebutaan atau ketidak tahuan informasi yang menyangkut dan mempengaruhi hajat hidup mereka sekarang dan kedepan. Setiap kebijakan publik mulai dari perencanaan, pengorganisasian, kordinasi, hingga implementasi beserta audit anggarannya mesti melibatkan rakyat, paling tidak bisa terakses, atau bisa memberi masukan berupa gagasan dan ide-ide agar ada sense of belonging, dan rasa nikmatnya bernegara. Hal dijamin oleh UU tentang Ketebukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2014. Rakyat berhak tahu apa rencana besar pemerintah beserta besaran biaya dan waktu pelaksanan sampai selesainya sebuah program. Dengan begitu rakyat juga bisa merencanakan masa depannya dan merasa senang, karena tahu misalnya tahun depan atau dua tahun lagi akan ada jalan, jembatan atau infrastruktur baru di kota atau provinsinya. Atau bisa memastikan bahwa dengan sebuah program, BBM atau harga kebutuhan pokok tidak kan menari-menari atau melonjak-lonjak tidak karuan.
Point-point penting dalam UU tranparansi publik itu tsb adalah adanya kewajiban bagi setiap badan publik, eksekutif, legislatif maupun yudikatif untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik agar mendapatkan segala informasi yang perlu di ranah publik kecuali informasi yang bersifat rahasia negara dan hal-hal yang harus dilindungi demi kebaikan bersama. Termasuk melindungi hak paten seseorang dibidang Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Jadi ada hak warga negara untuk mengetahui dan punya aksessibilitas pada kebijakan publik yang bersifat luas dan umum, serta hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik. Tentu saja semua dalam rangka membangun penyelenggaraan dan pengelolaan negara yang baik dan bersih, efektif dan efisien serta akuntabel.
Jika negara mengklaim bahwa terjadi peningkatan investasi asing dan lokal, rakyat berhak tahu bidang apa saja, apakah menyangkut hajat hidup orang banyak seperti air, listrik, minyak, gas, batubara, emas, atau infrastruktur fisik dan sosial. Pokoknya apakah sumber daya alam tidak akan tambah tergerus dan terdegradasi. Apakah investasi lansung (Foreign Direct Investment) atau sekedar investasi saham yang rentan direpatriasi atau dilarikan. Lalu bagiamana kerja sama, atau bagi hasilnya, apakah pemerintah dan rakyat diuntungkan atau hanya sekedar penyedia fasilitas belaka yang kemudian pihak asinglah yang akan meraup keuntungan yang sebesar gunung. Jika dikatakan masalah peringkat hutang negara kelasnya dari kategori stabil menjadi positif, lalu apakah itu punya nilai significan bagi rakyat, artinya apakah ada jaminan bahwa pemerintah tidak akan berutang lagi kedepan, sehingga tidak merepotkan generasi mendatang. Jika ketahanan ekonomi meningkat, mengapa masih harus banyak mengimpor bahan kebutuhan utama hingga ketipu dengan masuknya beras plastik yang dianggap oleh salah seorang petinggi kita bukan masalah besar. Mesti ada penjelasan mengapa itu bisa terjadi, dan dimana ringannya masalah itu.
Walau telah banyak kantor pemerintah, RW atau Kelurahan yang mencantumkan aneka program dan kegiatan beserta rencana anggarannya, namun hal itu sangat minor, jika dibanding dengan masalah perlunya penjelasan secara luas dan menasional tentang mengapa para pegawai negri, TNI/Polri yang selalu harus dipikirkan kesejahteraannya dengan rencana menaikkan gaji hingga bulan 13. Sementara “colonial mentality’ belum ada tanda-tanda berubah, sehingga berimbas pada kerja-kerja pelayanan publik yang tidak smooth dan berbiaya tinggi. Dan juga bagaiman nantinya harga-harga kebutuhan pokok, apakah tidak akan semakin menggila akibat kebijakan renumerasi yang terkesan menyeruak begitu saja dari rumput alang-alang permasalah bangsa yang tumbuh subur dan meliar.
Okelah, setiap perubahan memang kadang menimbulkan ‘shock cultural’ dan perlu adaptasi, sehingga yang namanya keterbukaan itu tidak bisa langsung dipraktekkan pada segala masalah dan instansi. Tapi ada yang perlu juga digaris bawahi, bahwa pentingnya transparansi itu tidak hanya menyangkut program pemerintah an sich, tapi juga program dan kegiatan lembaga, organisasi swasta, atau masyarakat yang mendapat sponsor dan menggunakan uang negara. Pada program jenis kelamin yang begini juga harus bisa diakses oleh publik untuk dimintai keterangan dan pertanggung jawaban pelaksanaan dan penggunaan anggarannya oleh pemerintah maupun oleh masyarakat penyelenggara program dan kegiatan.
Dalam hal ini, banyak sekali pribadi, organisasi yang mengajukan proposal kepada kementerian, pemda untuk melaksanakan kegiatan di bidang sosial kemasyarakatan dan seni budaya yang tidak melaksanakan prinsip keterbukaan, hingga semua menjadi gelap bagi publik tentang hasil dan penggunaan dananya. Kebanyakan menganggap bahwa apa yang digiatkan bukan termasuk wilayah yang bisa diakses secara luas oleh masyarakat, karena berangkat dari gagasan pribadi dan kelompok, bukan pemerintah. Malah banyak yang menganggapnya sebagai usaha atau inisiatif pribadi demi kebaikan publik. Dan yang mau tahu tentang program dianggap salah kaprah, mau intervensi dan suudzon. Repotnya, pemerintah sering kali masa bodo pada realisasi kegiatan dengan tidak melakukan assesment di awal dan audit anggaran di akhir program. Pokoknya dana sudah terserap dan proyek berjalan lancar.
Dalam bidang seni budaya misalnya, banyak sekali muncul inisiatif atau passion untuk menyelenggarakan pentas seni pertunjukan, lomba kesenian, festival budaya, temu budaya atau promosi budaya, dsb, yang sejatinya rata-rata punya tujuan bagus, demi meningkatkan pengenalan, pengetahuan dan apresiasi pada kesenian, kebudayaan lokal ataupun nasional. Hanya saja dalam prakteknya, sering dilaksanakan tidak transparan pada soal relevansi dan signifikansi budaya atau bobot dan mutu seni yang ditampilkan. Secara managemen amburadul, kadang tidak terkordinasi, atau singkron dengan visi dan misi budaya pemerintah, masyarakat, atau semua stakeholder, hanya bermodal niat baik dan ambisi pribadi belaka. Sehingga semua terkesan ‘ asal jalan’ dan meriah belaka. Standar keberhasilan tak terukur, serta tak diketahuinya apa mamfaat langsung pada masyarakat dengan adanya kegiatan. Paling-paling yang muncul adalah kepuasan dan tercapainya tujuan-tujuan dan ambisi pribadi dan kelompok. Dan seringkali maksud dan orientasinya hanya berkisar pada pencapaian materi, popularitas, lebih banyak bersifat ‘ profit oriented’, bukan “ Value Oriented” atau dalam rangka mengangkat atau memperoleh suatu ‘Nilai-Nilai tertentu’ sebagai bagian yang tak tak terpisahkan dari visi, misi dan tujuan setiap program dan kegiatan seni dan budaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar