Barangkali dari semua negara-negara yang penduduknya mayoritas muslim di dunia, mungkin Indonesia yang paling nelangsa keadaannya. Sebabnya adalah, meski penduduknya yang beragama Islam berjumlah sekitar 88 persen. namun praktis hanya menguasai ekonomi sebesar 5 hingga 10 persen saja, begitu yang disinyalir oleh mantan Presiden Habibie. Jadi penduduk non muslim yang hanya berjumlah sekitar 12 persen menguasai hampir 90 persen kue ekonomi nasional, ironis sekali. Dan realitas semacam ini harus selalu diapdate agar kita menjadi umat yang mau selalu berpikir, dan tidak kikir.
Keadaan yang mengenaskan ini pasti punya sebab yang beraneka. Tapi dari pada mencari-cari sebab-sebab yang berada diluar jangkauan, tak dapat dikuasai dan memerlukan waktu lama untuk direka ulang, mending melihat pada faktor intern umat sendiri saja. Menilai faktor ekstern biasanya hanya akan menimbulkan frustasi dan rasa kesal, yang biasanya berakibat hanya membesarkan rasa benci dan menggelembungkan rasa kasihan pada diri sendiri, dus, tidak produktif. Mending kita menyorot diri sendiri, apakah kita benar-benar telah melaksanakan ajaran-ajaran Islam secara kaffah, yang sejatinya penuh dengan tilikan tepat pada realitas kehidupan, atau apakah kita benar-benar telah beriman. Allah berfirman dalam Al Qur’an Ar Ruum ayat 47,”....Dan adalah ketentuan kami menolong orang-orang beriman.”
Siapakah yang disebut Allah orang-orang beriman itu? Dan apa indikasinya. Tentu saja yang istiqomah melaksanakan kewajiban yang diperintahkan Allah, mereka yang mendirikan shalat dan mengeluarkan zakat ; “ Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalat dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat.” (al-Mukminun ayat 1-4). Dalam an-Naml ayat 2-3 Allah juga berfirman,” Untuk menjadi petunjuk dan berita gembira untuk orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat...” Disandingkannya kata shalat dan zakat sebanyak 82 kali dalam Al Qur’an, menunjukkan betapa penting arti zakat bagi Islam, bahkan merupakan salah satu dari pilar atau rukun agama.
Repotnya, muslim Indonesia seperti enggan dan ragu mengeluarkan zakatnya, dengan kata lain, kesadaran menjadi muzakki masih rendah, di tengah kaum mustahik yang kian bertambah banyak, kendati harta dan penghasilan telah jauh melampaui nisab. Menurut catatan yang Asian Development Bank, atau Barnaz, potensi zakat di Indonesia ada kira-kira 217 an triyun, tapi yang baru bisa dihimpun hanya sekitar kurang dari dua triyun.Tentu jumlah itu belum memadai untuk jadi instrumen handal untuk mengikis kemiskinan sebagi tujuan utama disyariatkannya zakat. Padalah Rasulullah bersabda,” Bila suatu kaum enggan mengeluarkan zakat, Allah akan menguji mereka dengan kekeringan dan kelaparan.” Ujian itu telah kita alami, mungkin saking parahnya kebakhilan kita, sehingga ujian yang kita alami sekarang datang silih berganti dalam aneka ragam bentuk musibah; Banjir, longsor, bencana alam, bencana sosial, berupa kemiskinan dan keterbelakangan, kerusakan lingkungan, degradasi moral, kecelakaan angkutan umun di darat, di laut, serta di udara.
Dalam bukunya, Sejarah Tuhan, Karen Amstrong mengatakan bahwa pesan moral Al Qur’an yang pertama sederhana saja : janganlah menimbun kekayaan dan mencari keuntungan bagi diri sendiri, tetapi bagilah kemakmuran secara merata dengan menyedekahkan sebagian harta kepada fakir miskin. Zakat dan shalat merupakan dua dari lima rukun atau prinsip ajaran Islam. Tapi dalam zirah Islam awal, zakat bukan saja menjadi bagian dari ibadah dari etika keumatan yang bisa begitu saja dilanggar. Malahan ada hadis yang membolehkan penguasa untuk menyita separoh harta orang yang enggan mengeluarkan zakat. Namun sangsi itu tidak permanen sifatnya. Hanya semacam teguran yang diberikan sesuai dengan pertimbangan penguasa dan ijtihad para ahli di masa itu.
Tapi bagi Khalifah Abu Bakar r.a, dalam ijtihadnya, pengingkar kewajiban zakat, harus diperangi. Beliau berkata,” Demi Allah, sungguh saya akan perangi mereka yang memisahkan salat dengan zakat. Sesungguhnya zakat adalah kewajiban. Demi Allah, jika mereka enggan memberikan kepada saya seutas tali sedangkan dahulu ia memberikannya kepada Rasulullah, saya akan memerangi mereka untuk mendapatkannya.”
Memandang pada kedudukan dan fungsi zakat yang penting untuk menumbuhkan kesalehan individu dan kesalehan sosial, penuntas kemiskinan, dan pembangkit perekonomian umat, maka dirasakan satu kebutuhan untuk lebih mengintensifkan kerja-kerja pengelolaan zakat, serta menyempurnakan aspek managerialnya. Kesadaran berzakat umat, disamping bisa ditingkatkan dengan dakwah-dakwah dan sosialisasi, tapi juga ditentukan oleh performance, profesionalism serta kredibilitas badan pengelola zakat, atau amil zakat di tingkat lokal maupun nasional. Disamping menjamin ‘trust’, para pengumpul zakat itu mesti menjalankan prinsip-prinsip yang benar dan efisien pada semua aspek managemen zakat, mulai dari perencanaan, pengorganisasian, kordinasi, tahap eksekusi, dan cara pengawasannya. Maka dalam hal ini perlu manager-manager zakat profesional yang mumpuni, kuat dzikir dan pikirnya. Sebab merekalah sejatinya penentu keberhasilan dalam meningkatkan kuantitas dan kualitas zakat dan menjadikan zakat sebagai insturmen peningkat kesejahteraan ummat.
Kebanyakan para pengelola atau amil zakat tidak melakukan sinergi, dan bekerja sama, hanya sama-sama bekerja. Jarang secara sungguh mau duduk bersama mendiskusikan, membahas, memperdebatkan masalah pokok dan utama dalam masalah zakat yang harus jadi focus dan prioritas untuk dieksekusi. Jikapun ada forum diskusi atau seminar tentang zakat, maka rata-rata terkesan mau jadi ahli agama dalam masalah zakat. Jarang yang menunjukkan ittikad untuk menjadi pelaksana yang tahu betul kondisi rill dan permasalah umat di lapangan untuk dicarikan solusinya yang tepat. Sehingga semakin banyaknya amil zakat tidaklah berbanding lurus dengan perbaikan kondisi kehidupan umat.
Hanya dengan memahami secara tuntas ide-ide dan nilai-nilai sosial yang terkandung dalam Al Qur’an dan Sunnah, kaitannya dengan zakat, serta membuat evaluasi yang tepat dan realistik terhadap kondisi sosial- ekonomi umat – sumber-sumber, masalah, dan perbedaan yang ada- maka kita tentu bisa menciptakan suatu strategi perubahan kondisi kehidupan umat lewat zakat, infak, ataupun sedekah. Konsekwensinya adalah pendekatan akan bersifat ideologis, empirik, atau pragmatik, dalam arti tidak menghilangkan nilai-nilai demi kebutuhan yang bersifat situasional. Pragmatik yang dimaksud adalah bahwa gagasan-gagasan dan nilai-nilai yang ada diterjemahkan ke dalam kenyataan dan perbuatan praktis dan realistik. Rasulullah sendiri adalah seorang realis par exelence, disamping seorang idealis tanpa tanding, yang program dan strategi dakwahnya selalu berhasil dan berdaya guna.
Sebuah prinsip ‘utilitarian’ demi kemaslahatan umat kadang diperlukan, katimbang mempersoalkan hal-hal yang tak ada hubungannya dengan efektivitas dan efisiensi pengelolaan zakat. W. Steve Brown dalam bukunya ’13 Fatal Errors Managers Make And How You Can Avoid Them’ bercerita dan mengilustrasikan managemen sbb, “ Managemen banyak miripnya dengan golf. Yang dipersoalkan, bukan how ( bagaimana), melainkan how many ( berapa banyak). Baru-baru ini saya bermain golf bersama kawan-kawan. Saya meraih hole in one! Inilah hit terburuk selama hidupku. Saya ayun dan bola terlempar ke kanan dan mengenai pohon, terpantul lalu kembali kelintasannya; kemudian mengenai karang, dan menggelinding ke lapangan, serya langsung ke cup. Pada papan angka saya tulis , 1.
Waktu kami menang, partnerku dan saya hanya membicarakan tentang ace dan bukan tentang flub yang saya lakukan. Bagaimana caranya saya memukul bola, tidak ada artinya sama sekali ; yang berarti tidak lain adalah nilai 1 itu, itulah segalanya. Saya juga menyaksikan adanya negosiasi-negosiasi yang terburuk, tetapi nyatanya berhasil. Bahkan ada perusahaan yang managemennya sama sekali tidak sesuai dengan apa yang ada dalam textboox, toch berhasil juga. Ingat bahwa managemen itu bukan seni mengerjakan sesuatu seperti seorang profesional, melainkan untuk mencapai sesuatu seperti seorang profesional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar