BLOG INI UNTUK BERBAGI RASA DAN PIKIR, LEBIH BAIK SALAH TAPI MEMBERI DARI PADA BENAR TAK MEMBERI
Selasa, 14 Juli 2015
NAMA, MAKNA DAN IDENTITAS
Pada sebuah ceramah agama di Majene, Sulbar, seorang ustadz mengangkat tema tentang perlunya memberi nama-nama Islami kepada anak-anak kaum muslimin. Sang ustadz menyebut rencengan nama yang harus dihindari, antara lain disebutnya, nama Djoni. Kebetulan salah seorang kerabat yang hadir, suami kemenakan yang berasal dari suku Jawa, bernama Djoni, dan ia seorang ustadz juga, ustadz lokal. Pastilah sang ustadz yang berceramah dibon dari luar komunitas. Andai sang ustadz yang berceramah tahu bahwa salah seorang hadirin yang juga adalah panitia acara bernama Djoni, tentu ia akan mengeliminir Djoni dari daftar contoh nama-nama tak Islami dalam tauziahnya. Konon sang ustadz lokal hanya mezem-mezem, dan menerima keterlanjuran dirinya yang bernama Djoni. Mungkin pemberian orang tuanya dulu Djono, Mardjono, agar lebih dianggap keren dan dibilang ustadz gaul, bergantilah jadi Ustadz Djoni. Atau mungkin terinspirasi dari nama bangsa asing, Jhoni. Tapi waktu kecil di Majene, saya sudah punya teman karib bernama Djoni, cucu Pa’bicara Kambo.
What’s in a name, begitu kata Shakerpeare. Sebuah mawar walau tak bernama mawar akan tetap harum. Namun tak sepenuhnya adagium bijak itu berlaku, adakalanya sebuah nama sangat berkorelasi dengan sikap dan prilaku siempunya nama. Mari kita angkat contoh nama-nama Presiden-Presiden kita. Kita bisa menghubungkan kecerdasan dan ketangguhan Sukarno, Presiden pertama kita dengan namanya, Sukar no, yang bisa berarti tidak ada sesuatu yang sukar baginya. Suharto, presiden kedua yang konon begitu suka harta, Su ( suka) Harto. Soesilo Bambang Yudhojono yang selalu tampak sopan dan penuh susila, serta suka mempromosikan “ Soft Power”. Habibie yang cerdas lagi penuh cinta pada negara dan Istrinya almarhum, sampai-sampai kisah asmara sejoli hebat itu dibuatkan film. Yang agak mendekati adagium Shakerpeare, adalah mantan Presiden Megawati, yang begitu kekeuh, dan ngotot bertahan sebagai ketum sebuah parpol, padahal namanya menunjukkan objek yang selalu bergerak dan berubah-ubah.
Jika menimbang nama Abdurrahman Wahid, segera kita akan lihat betapa nama beliau itu sangat matching dengan sosoknya. Beliau begitu bersifat toleran, penuh kasih pada sesama, tak perduli latar mereka, semua ingin dirangkul dan dipeluk. Bangsa yang selalu menghajar kaum Muslimin pun didekati dan dirangkul, sebuah inklusifitas nomor Wahid, sehingga malah terkesan jadi kehilangan warna dan identitas. Bagaimana dengan Presiden Joko Widodo?, menarik untuk mengingat apa yang pernah ditulis Eep Saefulloh Fatah di majalah Tempo tentangnya. Dalam artikel Eep yang berjudul,” Joko versus Widodo” di alinea pertama ia menulis,” Pada 100 hari pertama pemerintahan Joko Widodo –Muhammad Jusuf Kalla, kita menyaksikan pertarungan sengit antara Joko dan Widodo, Joko mewakili sesuatu yang kita persepsikan dengan penuh harap, Widodo mewakili sesuatu yang kita saksikan dengan penuh kecemasan. Menurut Eep, ada dua makna dalam nama Presiden terbaru kita, yakni Joko yang mitologis dan Jokowi yang historis. Begitulah realitas Jokowi yang dulu oleh beberapa kalangan dianggap sebagai sosok Ratu Adil atau Sang Mesias, sekaligus sebagai tokoh historis yang suka blusukan sampai ke lorong-lorong dan gorong-gorong.
Di era millenium ini kita akan bingung, merasa asing dan aneh jika mendengar nama anak-anak sekarang. Jangankan yang dari agama lain, nama-nama anak orang Islam pun sudah sangat imaginatif dan menggemaskan sekali. Seperti tak punya acuan lagi, sehingga sangat menjauh dari kelaziman pendengaran kita. Nama-nama Islam jaman dulu, khususnya nama anak perempuan sangat berbeda karakternya dengan nama-nama Islami jaman mutakhir ini. Dulu nama-nama itu terdengar akrab dan merakyat, sekarang telah begitu dibuat-buat, seolah anak-anak itu putri cahaya yang turun dari kayangan lalu bermain dan menari halaman istana mewah. Dulu anak-anak bernama Zaenab, Siti Marfu’a, Siti Jamilah, Sarifah, atau Hindun. Sekarang nama-nama itu adalah Alfi Shahrani, Anindita Keiha Zahra, Aisya Faiha, Aisya Aila Varisha, Adiba Asilah, Adeeva Afsheen Myesha, dst, dst. Walau nama-nama baru itu punya rujukan Qur’ani, tapi terkesan juga bagai brand busana muslim, atau produk herbal dan obat-obatan Islami
Sebenarnya Islam tidak terlalu ketat dalam urusan pemberian nama anak, bisa nama Arab atau nama kaum Ajami yang bukan Arab. Hanya menggaris bawahi perlunya suatu nama yang bagus, seperti sabda Rasulullah,” Kalian akan dipanggil di hari kiamat dengan nama-nama kalian dan nama-nama ayah kalian. Karena itu gunakanlah nama-nama yang bagus.” Kalau nama-nama Islam modern diatas agaknya kelewat bagus dan penuh beban makna. Tambahan lagi kesannya tak berakar dari budaya atau kebiasaan kita, mengaburkan identitas, atau kurang bangga dengan milik sendiri. Mungkin mau dibilang modern karena keunikan bunyi hasil kombinasi nama lintas budaya itu, nama ibu susuan Nabi Muhammad juga bisa dibilang modern dong karena keuinikam dan keindahannya, Tsuwaibah Aslamiyah.
Nama orang sejatinya bukan hanya mengandung makna dan identitas agama, tapi juga sebuah identitas budaya. Beberapa suku di Nusantara tampaknya begitu bangga dengan nama mereka yang selalu menunjukkan identitas agama dan sukunya, seperti Suku Batak, Manado, Ambon, atau Papua. Ambil contoh suku batak, jika mereka beragama Kristen dan dari marga Hutabarat, maka namanya mungkin Victor Hutabarat, atau Reinhard Hutabarat. Jika beragama Islam dan marganya Nasution, maka namanya mungkin Harun Nasution, Achmad Harris Nasution, dll. Dan selama hidup mereka akan bangga dengan identitas agama dan kesukuan dalam nama mereka itu. Tapi bagi Orang Mandar, kita baru akan mengidentifikasinya sebagai orang Mandar jika ia telah meninggal. Karena identitas ke-Mandarannya akan dijelaskan dan dipertegas oleh sebuah nama baru yang mengacu pada tempat dimana ia meninggal dan dimakamkan atau Matindo. Contohnya, Tomatindo di Burio, Tomatindo di Sattoko, Tomatindo di Marica, Tomatindo di Langgana, Tomatindo di Judda, atau Baharuddin Lopa Tomatindo di Kalibata.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar