Problems, problems, problems all day long
Will my problems work out right or wrong
My baby don’t like anything I do
My teacher seems to feel the same way too
Worries, worries pile up on my head...........
( The Everly Brothers )
Salah satu kelebihan, atau kehebatan bangsa ini adalah menciptakan masalah. Di bidang yang satu ini, kita boleh dibilang sangat produktif dan kreatif. Tak ada hari, bahkan detik tanpa masalah, tak ada hal yang tidak bisa dipermasalahkan. Tidak ada sesuatu, dan entitas yang bisa aman berada pada tempatnya, akan selalu dicari letak salahnya, dipotret, dibahas lalu diperbesar, dan dikemas untuk jadi komoditas siap jual yang bernilai tambah. Dan si ahli masalah akan beroleh keuntungan pisik dan psikis dari padanya, atau malahan akan kena libas oleh masalah yang diciptakannya sendiri.
Siapapun tidak bisa lagi merasa nyaman dan tentram duduk manis dan tentram di kursinya pada pagi cerah untuk santai menyeruput kopi dan sekedar kue-kue kecil. Kebiasaan ini juga dipermasalahkan, dianggap bagian dari hedonisme dan hidup leha-leha yang konsumtif. Menurut si tukang masalah, kopi banyak mengandung zat adiktif yang tak bagus untuk kesehatan, dan kue-kue olahan dari terigu, apalagi gorengan, sangat tidak bagus buat tubuh. Termasuk di dalamnya bahan gula, margarine, pengawet, etc. Oke, bagi yang legowo, akan mengganti kebiasaan itu dengan sarapan saja dengan lontong sayur atau nasi uduk, atau nasi biasa plus lauk pauk. Tapi itupun kini dianggap tidak baik untuk kesehatan. Konon yang terbaik adalah sarapan dengan buah-buahan segar. Katanya, pisang ambon yang kuning merangsang baik untuk sarapan. Lho, seorang rekan pernah mencret-mencret karenanya, apa kalau sudah menjadi dehidrasi tidak bermasalah juga.
Memang seribu satu masalah bisa timbul dari kegelapan bila dicari-cari. Sejatinya, banyak hal yang disorot itu bukanlah masalah yang sebenarnya, tap sesuatu yang dipemasalahkan. Bahkan menurut Gilles Deleuze,” Problem adalah ide-ide itu sendiri”. Anak kalangan tak mampu yang dengan uang jajan lima ribu ke sekolah, sudah tak masalah, tapi bagi anak orang kaya, akan jadi masalah, mungkin itu sangat jauh dari keharusan dan kepantasan, jika standarnya adalah seratus ribu. Bagi pengamat perjajanan yang sok kritis, akan melihatnya juga secara berbeda. Yang satu akan mengatakan, lima ribu, tidak memadai dan pantas. Sedangkan yang mengatakan justru yang seratus ribu berlebihan dan merupakan pemborosan dan kesia-siaan. Mungkin akan datang solusi jajan anak sekolah yang paling rasional dan mendidik, adalah lima puluh ribu. Tentu saja anak-anak kalangan tidak mampu akan setuju sekali, tapi anak-anak kalangan mampu, justru akan meradang.
Ilustrasi tersebut di atas jelas menunjukkan bahwa apapun bisa jadi masalah jika memang kita mau memandangnya sebagai masalah, serta mau mencari dan mengangkatnya jadi permasalahan publik. Belum lama ini Menteri Kordinator Kemaritiman mengangkat masalah pencurian pulsa listrk, serta mensinyalir adanya mafia listrik. Sinyalemen menteri yang kelewat kritis ini memang benar, hal yang disorotnya itu bahkan sudah sejak lama berlangsung ; mempermiskin banyak para pelanggan, dan kian memperkaya oknum-oknum di PLN. Ada seribu satu permasalah di PLN, bukan hanya urusan pulsa. Tapi kenapa juga beliau yang lagi-lagi keluar jalur dan wewenangnya untuk menyemprot orang-orang dan hil-hil yang bermasalah. Pertanyaannya adalah, kapan beliau ini mau ikut credo presidennya, untuk kerja, kerja dan kerja. Bukannya malah bicara, bicara, dan bicara.
Beliau mungkin berpikir, urusan maritim yang kini ada di tangannya itu remeh dan gampang untuk ditangani. Tinggal tangkap nelayan pencuri ikan, bakar dan tenggelmkan kapalnya, titik. Jika begitu jalan pikiran yang ada, maka siapapun tentu bisa jadi menteri urusan maritim. Padahal soal kemaritiman bukan hanya urusan ikan bukan? Untuk apa Jokowi membentuk kementrian maritim jika hanya untuk urusan tangkap ikan. Klo soal itu, Koes Ploes lebih paham dan tahu rahasianya, dengar saja lagunya, Kolam Susu, jika tak percaya.
Siapa juga orangnya yang tidak girang dan bersemangat jika diundang oleh seorang calon presiden negara adi daya untuk ketemuan dan makan-makan, selfie di acara sosialisasi atau kampanyenya. Ketua DPR RI dan wakilnya, disela studi banding, atau kunjungan kerjanya di AS, mungkin telah diundang secara mendadak oleh Donald Trump. Sudah barang pasti tidak akan menyia-nyiakan kesempatan indah itu, lalu memenuhi undangan calon orang besar itu. Pelanggaran etiknya dimana? Bukankah itu malahan mempromosikan negara, karena Donald Trump kan seorang investor. Lantas yang punya agenda politik itu siapa, apa mereka, atau si tukang masalah. Masa bertemu dengan seorang pedagang yang baru kandidat presiden negara besar, dianggap melanggar etika dan mempermalukan bangsa. Kok rasanya berlebihan.
Sekarang yang ramai diributkan adalah dana desa yang telah ditambah menjadi hampir dua kali lipat besarannya oleh Presiden Jokowi. Dana belum turun, tapi orang-orang sudah pada ribut mengenai sistem monitoring dan pengawasannya, takut jangan-jangan akan dikorupsi lagi. KKN oleh perangkat desa akan marak lagi, kepala desa akan sibuk mengalokasikan dana kepada para kerabat dan kolega, dan membuat projek-projek piktif, dst, dst. Ada yang menyorotnya secara lebih mendasar, dengan mengaitkannnya pada ‘modal sosial’ masyarakat yang masih lemah dan kurang. Konon di desa sudah tak ada trust, kekompakan, sikap gotong-royong dan prilaku saling mengingatkan. Tapi kritik ini juga bukti dari tidak adanya ‘trust; kepada rakyat.
Memang selama ini, upaya pemerintah dari berbagai rezim telah banyak sekali untuk mengentaskan desa dari keterbelakangan dan kemiskinan. Sejak dulu berbagai program memajukan desa telah dicanangkan, mulai dari yang personal, seperti aneka kredit usaha dan kredit pertanian, hingga yang bersifat kolektif dan darurat seperti JPS, subsidi pengganti BBM dan sejenisnya. Dan semua itu dianggap oleh para pengamat sosial desa sebagai kesia-siaan dan kemubasiran dalam rangka perbaikan desa dan nasib warganya. Tapi harus diingat, sifat bantuan terdahulu itu bersifat top down. Jika kali ini, program dana desa oleh pemerintahan Jokowi, akan bersifat elitis lagi, ya, akan amblas juga. Jadi mesti diciptakan suatu sistem dimana seluruh warga dan aparat desa bisa duduk bersama membahas dan mendiskusikan apa-apa saja yang pelu diadakan dan ditiadakan. Apa yang menjadi kebutuhan riel desa dan warga. Lalu semua diimplementasikan secara konsekwen dan dalam suasana kebersamaan. Dana desa itu sejatinya tidak besar untuk bisa diharap menggenjot kesejahteraan bersama warga desa, tapi cukup besar untuk membangun kembali kebersamaan dan kegotong-royongan dan trust yang memang sudah nyaris hilang, dan mengembalikan energi kolektif warga desa. Dengan adanya itu, apapun bisa dibangun dan dikembangkan di desa.
Pada dataran teoritis atau pilosofis tentang organisasi sosial mengenai ruang, Deleuze telah membedakan apa yang disebut ruang yang halus ( smooth), dengan ruang yang berkerut ( striated). Ruang yang berkerut adalah diskontinu atau terputus-putus, rentan terhadap pembagian yang kaku, disertai penugasan berupa peran dan lokasi pada para penghuni ruang tersebut. Masyarakat pertanian yang dikontrol terpusat, seperti yang ada di lembah-lembah sungai di China, adalah contoh yang jelas tentang ruang berkerut itu. Sebaliknya dalam ruang yang halus, orang bebas mengembara secara nomad. Para pengembara itu tidak memiliki ruang atau tanah, dan tidak punya tempat tertentu yang dibebankan pada mereka.
Dalam pengembaraan, para nomad ini berhadapan dengan “ micro environment” ( lingkungan mikro); yakni distribusi lokal yang mungkin atau tidak mungkin menawarkan kondisi-kondisi yang memungkinkan sang nomad mengembalakan ternak mereka. dengan satu atau lain cara, bimbingan datang. Bimbingan itu hanya dapat datang bukan dari negara terpusat, tetapi dari perhatian pada kondisi lokal lingkungan mikro, perasaan tentang tempat dan kesempatan waktu. “Perasaan” ini tunggal, bukan bentuk atau konsep yang diuniversalkan dan dipaksakan oleh negara. ( Gilles Delueze, oleh Robin Durie).
Sejak dana desa itu mulai digadang-gadang dan dibahas di DPR dan eksekutif, orang banyak sudah sibuk berpikir berapa nanti yang akan masuk ke desanya, yang lain berpikir, berapa lagi besarnya dana pemerintah yang akan raib dan dikorup di desa. Tapi orang-orang di Sulawesi-Barat dibawah pimpinan gubernurnya, Anwar Adnan Saleh, telah melakukan antisipasi dan persiapan dengan melakukan bimtek, atau pendidikan dan pelatihan managemen desa. Konon hal itu yang pertama, bahkan telah menjadi ‘pilot projek’ bagi desa-desa dan daerah lain di Nusantara ini. Itulah yang memang harus dilakukan dan dipersiapkan. Bravo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar