Kamis, 24 September 2015

KORBAN - KORBAN DI HARI RAYA QURBAN




Emile Durkheim pernah mendefinisikan agama sebagai kumpulan kepercayaan turun- temurun, dan perasaan-perasaan individual; suatu imitasi terhadap upacara-upacara, aturan-aturan, kebiasaan-kebiasaan agama, dan praktek-praktek yang sudah berurat berakar dari generasi kegenerasi. Menurutnya, jenis agama seperti ini menunjukkan spririt kolektif dari suatu kelompok atau masyarakat. Agama bagi Durkheim adalah fenomena budaya, dan kemasyarakatan, karena ia seorang antropolog dan sosiolog.

Ali syariati melihat agama versi durkheim itu mengewantah dalam Islam, menjadi Islam dekaden. Penilaiannya terhadap itu sangat pejoratif dan merendahkan. Katanya, Islam dekaden seolah melibatkan dirinya dalam kejahatan, menumbuhkan reaksionerisme, kelambanan dan kelumpuhan; Islam macam ini telah mengekang spirit kebebasan dan secara culas membenarkan status quo. Baginya Islam yang benar adalah yang tegak melawan Islam dekaden itu. Menurutnya lagi, dalam langkah sejarahnya, Islam pernah menampilkan realitas anti humanistik, akan tetapi juga realitas humanistik yang sangat luhur berdasarkan kebenaran dan cita-cita serta aspirasi adiluhung manusia. Inilah Islam yang benar, sebagai cita-cita dan filsafat utama. Akan tetapi Islam macam ini tidak diperbolehkan tumbuh dan berkembang dalam sejarah oleh Islam dekaden. Justru di jantungnya bangsa-bangsa muslim, sebagaimana kita mengetahui, kebenaran dan cita-cita Islam sedang dikorbankan.

Gambaran tentang Islam dekaden menurut Syariati, paling jelas pada kebiasaan orang Islam di Iran yang gemar menabung untuk membeli lampu pompa, rantai untuk flagelasi ( memukul-mukul tubuh dalam peringatan hari Asyura), alat bunyi-bunyia dan baju hitam. Mereka pelihara barang-barang ini sampai datangnya hari Asyura, agar penduduk dari daerah Muhammad Abad misalnya, tidak kalah dengan penduduk dari Bahman Abad, ketika meraka pawai di jalan raya dalam rangka meratapi mati syahidnya Imam Husayn pada hari itu. Jika pada hari itu ada satu kelompok yang mengungguli kelompok lain dalam menampilkan suatu tontonan baru, maka yang lain akan bekerja sekeras mungkin untuk mengungguli mereka dari hari syura berikutnya. Mereka misalnya lantas menyembelih unta. Orang yang menganggap bahwa praktek semacam ini adalah suatu tindakan religius, sudah barang tentu keliru besar – itu hanyalah suatu kegiatan sosial biasa yang dipraktekkan di bawah nama agama.

Kritik Ali Syariati terhadap tradisi hari Asyura itu tentu punya dasar pembenar, dan beliau punya otoritas untuk itu, karena seorang Muslim Syiah, dan terlebih dikenal sebagai intelektual Muslim yang mumpuni, pejuang yang berada dibelakang Khomeini menumbangkan rezim otoriter Reza Pahlevi dukungan Amerika Serikat. Kendati tradisi itu tak kunjung lenyap dari bumi Iran, dan rezim yang dibelanya, justru karam dalam absolutisme yang akut. Percobaan untuk merubah sebuah tradisi yang walau bukan Islam itu sendiri, tapi lahir dari rahim keyakinan Islam, dimanapun rasanya akan sia-sia, dan susah. Apalagi jika orang gagal menangkap makna-makna spritual terdalam dari setiap ritual yang dikritiknya. Pandangan Emile Durkheim dan Ali Syariati adalah pandangan ilmiah dan materialistik terhadap agama.

Tapi tidak semua ilmuwan atau intelektual punya pandangan pesimistik terhadap setiap tradisi dan ritual keagamaan. Apa ada di indonesia yang berani mengutak-ngatik tradisi sejenis di Kraton Jokyakarta atau Solo?, ketika orang pada berebut untuk mendapatkan air bekas cucian benda-benda pusaka dan kramat kraton, dan kue apem di hari satu syuro, atau grebeg maulid. Atau mengusir Kiay Slamet, sapi bule almarhum dari warungnya di pasar, walau telah mengacak-ngacak barang dagangannya. Alih-alih ngomeli sang Kiay, malahan kotorannyapun akan disimpan dan dianggap punya tuah.

Hanya di Jakarta itu terjadi. Gubenurnya, Ahok, telah berani mengatakan bahwa memotong hewan dalam rangka Hari Raya Korban di bukan Tempat Pemotongan Hewan (TPH), adalah tradisi yang salah. Dan berjualan hewan korban yang hanya setahun sekali di trotoar atau di badan jalan melanggar peraturan. Jadi beliau mencoba membenturkan sebuah tradisi turun-temurun yang lahir dari sistem peribadatan Islam, dengan sebuat peraturan daerah, atau aturannya sendiri. Padahal setiap hari di mana-mana, kita saksikan di terminal-terminal, di pasar-pasar tradisional, atau di tempat-tempat ramai, para pedagang kaki lima dan asongan menjajah trotoar dan tepian jalan.

Seorang budayawan Betawi, JJ. Rizal mengatakan juga bahwa Ahok telah gagal memahami budaya dan tradisi yang berkembang di Tanah Abang, terkait dengan penjualan hewan korban yang telah berlangsung turun-temurun selama ratusan tahun.Ya, banyak dari kita yang gagal memang menghargai tradisi kerakyatan model apapun, dan berlatar apapun, karena hanya berkutat pada prinsip materialistik yang serba aturan dan mengedepankan efisiensi dan efektifitas belaka dalam managemen sosial atau perkotaan. Kita jarang mau melihat aspek simbolis dan maknawi dari tradisi memotong hewan korban dan segala permasalahannya. Padahal jika mau jujur, tradisi mudik di hari lebaran juga banyak menimbulkan kesemrawutan dan inefisiensi. Hanya karena itu telah menasional dan digandrungi oleh nyaris semua umat, maka kita tak berani protes terhadap segala implikasinya. Salah satu makna terdalam dari memotong hewan korban adalah terpotongnya aspek hewani manusia.jadi para penjual kambing di Tanah Abang itu telah menyediakan hewan-hewan korban sebagai pemeran antagonis dari keseluruhan prosesi upacara menjadi manusia di Idul Adha ini, jadi mengapa harus dimusuhi dan digusur-gusur seolah pengganggu ketertiban masyarakat yang sejatinya mau dibantunya itu. Di hari raya Qurban ini, janganlah ada manusia lagi yang harus dikorbankan, biarkan saja hewan-hewan berkaki empat itu yang menjalaninya.

Sudah cukuplah kiranya yang telah berkorban demi menegakkan ritual Hari Raya Korban, legacy Nabi Ibrahim dan Ismail, putranya. Bukankah Allah telah mengganti Ismail dengan seekor domba ketika hendak dikorbankan? Di Mekkah ada puluhan yang telah meninggal tertimpa crane dan karena kepanasan. Belum lagi bicara mereka yang terpaksa harus shalat id dengan menggunakan masker di daerah-daerah karena kabut asap yang meraja. Janganlan manusia, hewan pun yang akan dikorbankan menolak untuk begitu. Di garut, seeokor sapi mengamuk ketika akan dikorbankan. Dan di Jambi, malahan seekor sapi lari ke pelabuhan lalu kecebur, saking emohnya jadi korban. Tapi sapi-sapi bisa apa? dan mau protes bagaimana, mengeluh dan melenguh sekeras apapun, ia tak bisa berpaling dari takdir Allah untuk menjadi sarana ujian kesabaran dan ketaqwaan manusia, “ Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan ) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (AL- Hajj ayat 37).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar