Setiap kali ada diskusi, dialog atau seminar tentang kesaktian Pancasila yang diperingati setiap tanggal satu oktober, pasti akan selalu muncul pertanyaan, apakah pancasila itu benar-benar sakti atau masih dan akan terus sakti?. Dan biasanya para ahli atau nara sumber akan memberi jawab pasti, ya, sakti dong!, dan akan terus sakti. Galibnya sang penanya akan bersama dengan berbagai persoalan aktual di kepalanya tentang kondisi bangsa yang terpuruk secara multi dimensional, dan sang penjawab, melihat semua masih bisa diatasi. Jadi ada pesimisme dan optimisme sekaligus terkait dengan Pancasila di hati anak bangsa, dimana dan siapapun iya. Artinya, Pancasia masih eksis dan diminati, serta diinginkan kesaktiannya yang nyata.
Saya tidak tahu apa persisnya arti sakti atau ‘ kesaktian’ itu, tapi sering melihat ia dipakai untuk pribadi-pribadi protagonis di dalam cerita-cerita, epos, film atau komik. Yang punya ilmu dan kemampuan tinggi, utamanya dibidang kedigdayaan, pertarungan dan kelahi. Contohnya adalah bintang komik karya Ghanes TH, Si Buta dari Goa Hantu yang konon sakti mandraguna, sehingga dengan itu ia bisa membantu sebuah kampung atau komunitas yang dilanda renjana karena keberadaan para begal, bromocorah atau penguasa bengal. Dengan monyet yang selalu ada di bahunya, serta kepekaannya yang super, si buta bisa merobohkan para penjahat picisan atau golongn anak bawang dalam jumlah puluhan dengan sekali aksi dalam satu tebasan. Hanya pada para pentolan dan jagoan antagonis, ia akan mengerahkan segala kemampuan dan kesaktiannya untuk meraih kemenangan, sebelum akhirnya membebaskan warga teraniaaya dari angkara murka, serta mengembalikan keamanan dan tertib hukum yang sempat hilang.
Sayangnya sang pendekar, adalah pengembara abadi, sama dengan para cowboy dalam film-film western Amerika yang iconnya adalah John Wayne. Setelah membebaskan warga, akan pergi lagi tak kembali, entah kemana, dan tak memberi jaminan bahwa penduduk kampung tidak akan disatroni lagi oleh penjahat, atau dilanda musibah lagi. Kemarin malam, di sebuah TV swasta, saya saksikan aksi kowboy cewek Ellen, yang diperankn oleh Sharon Stone, dalam film The Quick and The Dead. Ellen yang kesaktiannya adalah menembak cepat, dan didapat entah dari mana. Setelah membunuh dan memuaskan dendamnya pada raja bandit pembunuh ayahnya, Trodge, dalam final lomba menembak sampai mati, pergi tanpa sepatah katapun, hanya melempar emblem ‘ Marshal” ayahnya kepada pendeta sadar yang juga sahabatnya, yang berdiri terbengong-bengong di tengah gelimpangan mayat-mayat dan redemption yang telah porak-poranda oleh dinamit dan permusuhan
Begitukah Pancasila? Setelah para pendukung atau pengatas namanya, membasmi habis dan tuntas sesama anak bangsa yang dianggap musuh karena mengidap ideologi anti atau non pancasila, atau dianggap mau menyelewengkan pancasila, memang ia seperti menghilang, dan bersembunyi di tempat sunyi. Tinggalnya namanya yang sering disebut-sebut dan di tulis dengan tinta emas. Dus, ia tak lagi hadir di tengah kita bak seorang pendekar sakti atau Kiay, pendeta suci yang bisa kita lihat sikap dan prilaku kesehariannya untuk dijadikan contoh dan panutan. Pancasila tak lagi bicara tentang dirinya yang penuh kebajikan dan nilai-nilai yang bisa mendorong dan menginspirasi, serta menjadi acuan dan arahan cita-cita. Ia hanya berbisik dari kejauhan, hanya lamat-lamat pesannya disampaikan oleh mereka yang justru tidak mengerti tentang dia. Dan anehnya semua orang, apalagi para petinggi bilang telah bertemu dan belajar kesaktian darinya. Mewarisi ilmu, kebajikan dan kebijaksanaannya yang abadi. Padahal jarang dari mereka yang hafal sila-sila Pancasila yang hanya ada lima butir, tapi memang sarat makna dan berat untuk disandang dan disandingkan dengan hati.
Di era orde baru, ada hasrat dan semangat untuk melaksanakan Pancasila secara murni dan konsekwen, lalu Pancasila pun dipelajari secara sistematis dan beruntun di setiap jenjang sekolah, pendidikan, dan pekerjaan. Lebih massif dan luas jangkauannya katimbang indoktrinasi Ideologi Sukarnois di masa orde lama. Bahkan semua ormas, orpol wajib menjadikan Pancasila sebagai asas tunggal. Tentu saja agar menjadi guidance dan dasar orientasi persatuan dan kesatuan bangsa, serta penuntun pembinaan budaya, nilai-nilai dan prinsip berbangsa, bernegara dan berorganisasi. Malangnya dalam perjalanannya, Pancasila dan prakteknya jauh panggang dari api. Rasanya tidak perlu saya ungkapkan lagi dimana letak salahnya sehingga begitu, kita sama taulah praktek-praktek penyelewengan Pancasila oleh oknum-oknum penyelenggara negara dan sebagian masyarakat.
Jika Pancasila kita biarkan terus terdistorsi, dan tereduksi sampai ke dasar-dasarnya, tanpa ada upaya pembinaan nilai-nilainya kembali, dan mengembalikannya ke masyarakat sejak dini tanpa niatan untuk memamfaatkan dan mengatas namakannya demi kepentingan sesaat, maka Pancasila buka saja akan tergerus, bahkan hilang kesaktiannya yang dulu membuat kita bangga disebut sebagai “ Bangsa Pancasilais”. Pancasila sakti bukan karena ia meletakkan moral pada senjata ; pedang pada pendekar, pistol pada cowboy, tapi karena ia bersesuaian dengan jiwa bangsa Indonesia yang berbudi luhur, dan kemanusiaan yang adil dan beradab, yang dilandasi kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar