Koalisi Masyarakat Sipil Anti-Korupsi dan Perempuan Indonesia Anti-Korupsi menetang terpilihnya Fadli Zon sebagai Presiden Global Conference of Parliamentarians Against Corruption (GOPAC). Di depan Hotel Royal Ambarukmo, tempat konferensi berlangsung mereka melakukan unjuk rasa. Pentolannya, Wasingatu Zakiah mengatakan, “ Fadli Zon terpilih menjadi Presiden GOPAC yang selama ini menyuarakan pemberantasan korupsi, ini berbanding terbalik dengan apa yag telah dilakukan. Dimana pelemahan-pelemahan terhadap KPK justru tidak henti-hentinya dilakukan DPR RI.”
Tentu saja kita sepakat dengan aksi dan sikap para pejuang anti korupsi tersebut, karena realitasnya memang parlemen Indonesia saat ini yang diwakil ketuai oleh Fadli Zon tidak pro pemberantasan korupsi, malahan ingin meloyokannya. Secara personal, ada memang anggota DPR kita yang gelisah dan geram terhadap korupsi yang sudah membudaya di negara ini, atau masih punya nurani dan mau melihat bangsa ini bersih dari korupsi, namun secara institusi, upaya memotong tangan dan gigi KPK oleh DPR dengan cara merevisi UU KPK, sungguh mengecewakan. Tapi ada juga yang berpendapat sebaliknya, bahwa pengangkatan itu bisa mengandung ‘ blessing in disguise’. Siapa tahu ironi tersebut bisa disadari tajamnya karena sejatinya telah menusuk nurani bangsa ini. Akan mendorong Fadli Zon berjibaku, secara all out mengajak sesama parlemennya untuk bangkit merubah diri, melakukan bersih-bersih, lalu betul-betul memperjuangkan rakyat yang diwakilinya agar terbebas dari monster-monster pembunuh harapan kesejahteraan mereka.
Bicara tentang ‘Ironi’ atau sindiran yang adalah salah satu gaya berucap di bidang sastra, tentu saja Fadli Zon akan sangat faham makna dan implikasinya, karena dia pernah jadi dewan redaksi majalah sastra Horison yang bergengsi itu. Di sana beliau duduk bersama dengan tokoh-tokoh sastra kredibel dan terkenal, seperti Taufik Ismail, Jamal D. Rahman, Agus R. Sarjono, dll. Dia punya keahlian yang mumpuni tentang sastra Rusia. Pastilah faham sepak terjang tokoh-tokoh dalam karya-karya Nikolai Gogol yang menjadi rudin dan stress di tengah bangsanya yang dekaden, terpuruk, terbelakang dan korup oleh tekanan dan kungkungan Tsar dan para penguasa.
Dalam “Inspektur Jenderal”, kita bisa membaca satire tentang para pejabat-pejabat lokal yang tidak becus dan tentu saja korup. Demi mencari muka dan selamat kepada seorang yang dikira pejabat pusat yang sedang inspeksi mendadak secara incognito, telah ditipu habis-habisan oleh seorang pemuda yang pura-pura menjadi seperti itu, dengan menyuap atau memberi apa saja agar tak dilaporkan kebobrokannya, padahal pemuda itu hanya penganguran serta berandalan. Misi Gogol jelas dalam cerita-ceritanya, ingin mengingatkan kita betapa tidak sehatnya sebuah pemerintahan sentralistik dan absolut, itu membuat pejabat bawahan atau lokal jadi ikutan tidak sehat karena merasa selalu dikontrol, tidak bebas, sehingga memungkinkan munculnya sikap-sikap dan tindakan menghalalkan cara demi mempertahankan jabatan. Dan bagi institusi yang coba-coba mengutak-atik oligarki kekuasaan akan bernafas pendek, karena pasti akan selalu diobok-obok. Pembahasan tentang tentang karya-karya sastrawan Rusia, termasuk Nikolai Gogol, dengan absurditas dan rudinitas tokoh-tokohnya pernah ditulis oleh Fadli Zon di Horison beberapa tahun lalu.
Kang Fadli pasti tahu ucapan terakhir Nikolai Gogol yang tertera di batu nisannya, “ Dan aku akan tertawa dengan tawa yang pahit,” Ini muncul karna konflik batinnya akibat menulis, “ Jiwa-jiwa Mati”. Dia pernah menetap beberapa lama di Amrik karena terpilih sebagai peserta program AFS, atau pertukaran pelajar dengan AS. Hal itu tentu telah membuka wawasannya, menjadi jiwa yang hidup, dinamis dan terbuka. Belum lama ini, bikin heboh karena kunjungannya pada kampanye calon presiden AS, Donald Trump. Jadi wajar saja jika sekarang beliau diangkat sebagai presiden sebuah lembaga international, apalagi itu dibidang yang sedang digelutinya, soal-soal parlemen. Tapi dalam hal ini, dia tidak mewakili pribadinya, tapi mewakili bangsa Indonesia yang telah, sedang dan akan diharu biru oleh korupsi yang sistemik dan menggurita.
Adalah menjadi hak pribadi Fadli Zon untuk mengambil posisi dan jabatan apapun. Tapi yang kali ini – Presiden Gopac, sejatinya hanya sekedar memberi gengsi pribadi, tapi tidak memberi mamfaat apa-apa bagi upaya pemberantasan korupsi di Indonesia, kecuali sekedar citra dan harapan-harapan. Buktinya artikel badan pemberantasan korupsi dunia yang mengatur tentang pembentukan organisasi pemberantasan korupsi negara-negara yang bersifat tetap, di Indonesia hanya menjadi sebuah komisi, bersifat ad hoc dan tidak independen. Malahan usianya mau dibatasi oleh DPR hanya sampai 12 tahun. Jangankan parlemen dunia, parlemen Indonesia sendiri dimana Fadli Zon menjadi wakil ketuanya, tidak berdaya melawan korupsi. Bisa disetir oleh koruptor atau calon koruptor untuk memasung hidup buah karyanya sendiri, KPK. Ya, KPK memang dibidani kelahirannya oleh DPR RI, bersama dengan pemerintah membentuk UU No. 30 tahun 2002 tentang KPK.
Kalau sudah begini, kayaknya negara kita sedang mengarah menjadi negri “Opera “ negeri Que sera-sera, dimana apapun mungkin terjadi, segala mimpi bisa terwujud dengan hanya melontarkan tongkat ajaib bernama Undang-undang, hukum atau peraturan. Alih-alih hormat pada hukum, taat aturan, kita malah memamfaatkannya demi kepentingan dan keinginan sesaat yang menyesatkan. Saya jadi ingat opera karya komponis besar Mozart, “ Pernikahan Figaro “ ( Le nozze di Figaro ) yang diadapatasi dari sandiwara Perancis karya Beaumarchais. Inti cerita Pernikahan Figaro adalah :
Pangeran Almavira baru menghapuskan suatu humum kuno dari wilayah pemerintahannya. Hukum itu, “ Hak Majikan” atau Droit de Seineur, dimana seorang pangeran punya hak tidur dengan hamba-hamba perempuannya sebelum mereka diizinkan untuk menikah. Pada waktu figaro akan menikah dengan Suzanna, Almavira seketika ingin agar hukum itu berlaku kembali karena ia sendiri tertarik pada Susanna yang adalah budak sang pangeran. Disinilah terjadi perjuangan Figaro dan Susanna agar niat dan rencara itu tidak berhasil. Tentu saja cerita itu banyak belokan-belokannya yang terlalu panjang untuk dibahas. Tapi yang ingin disampaikan oleh Mozart, tentu kesewenang-wenang penguasa yang menaruh hukum dikakinya, dan menendangnya kesana-kemari demi memenuhi keinginannya sendiri.
Jika Fadli Zon masih punya kepekaan hati seorang sastrawan, tentu akan mempertimbangkan realitas bahwa tak mungkin ia sendiri bisa bekerja maksimal di luar sana memberantas korupsi, jika tanpa sebuah citra bangsanya yang bersih dan bisa dipercaya. Ia hanya akan bahan ejekan atau sindiran. Akan timbul cemooh bangsa yang nanti akan disorotnya terkait korupsi, ‘ Lho, negaramu saja belum beres, kok mau mengatur kami!” Jangan sampai juga menimbulkan kesan bahwa kita adalah bangsa yang “ Rancak di labuh’ . tentu Fadli Zon faham ungkapan minang itu, karena berdarah minang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar