Kemaren tanggal 12 oktober, di sebuah media online saya membaca sebuah judul berita lucu terkait dengan program pelatihan bela negara Kementerian Pertahanan, “ Anggota DPR Sampaikan Pentingnya Bela Negara : Presiden Sering Diolok-olok.” Karena judul itu menarik, saya terus membaca dan mendapatkan kiranya yang dimaksud mengolok-olok Presiden itu adalah “ Karena terjadi degradasi moral, bagaimana Presiden menjadi bulan-bulanan, ini karena nasionalismenya tidak ada. Di Amerika Serikat mereka memanggil Mister President, tapi di Indonesia manggilnya Jokowi ( bukan Pak Jokowi).” Begitu kata sang anggota DPR.
Jadi masalah bela negara dan nasionalisme juga sampai keurusan penyebutan nama Bapak Presiden kita. Bahkan dengan tanpa menyebut sapaan ‘Pak’ pada Jokowi, telah dianggap sebagai bukti degradasi moral. Dan mengapa pula Pak Presiden Jokowi dianggap korban bulan-bulanan jika tak menyebutkan Pak pada nama beliau. Mungkin kalau di hadapan beliau hal itu terjadi, bolehlah dikategorikan, tak tahu etika, atau tatakrama kenegaraan, tak menghargai simbol negara, tak bermoral - tidak tahu mana yang baik dan mana yang buruk, tapi kalau dalam tulisan-tulisan di media massa, medsos, atau di buku-buku, orang hanya menyebut Jokowi saja, ya, masa salah dan dianggap tak bermoral, atau telah membulan-bulani Pak Jokowi. Jika begitu adanya, semua presiden kita terdahulu telah kita olok-olok dan permainkan.
Sebenarnya urusan bela negara adalah kewajiban seluruh warga negara, sesuai pasal 30 UUD, dan bentuknya tidak harus ikut aktif menjadi kader para militer atau non militer. Tapi dengan menjadi warga negara yang baik, rajin bekerja dan berusaha, taat membayar pajak, tidak mengerogoti uang negara dalam jumlah triliunan tiap tahun, itu sudah membela negara namanya. Dengan begitu akan memberi kesempatan pada tentara membangun kualitas dan kuantitas alat utama sistem persenjataannya (alutsista). Sehingga bisa setara, paling tidak mendekati kemampuan tentara negara-negara besar manapun. Di masa datang perang tentu tidak akan mengandalkan pada jumlah man power lagi, tapi pada kecanggihan teknologi persenjataan. Lihat saja Israel yang mampu berjaya di Tim-teng secara militer walau penduduknya hanya kurang dari dari sepuluh juta dengan tentara yang tentu jauh lebih sedikit dibanding Negara-negara Arab seterunya, yang penduduknya lebih dari 200 jutaan dengan jumlah tentara yang banyak sekali. Israel susah dikalahkan karena persenjataannya yang canggih, tentu saja juga karena dukungan sekutu abadinya, Amerika Serikat.
Karena perang di masa depan tidak akan menghadapi Belanda lagi yang hanya dengan sistem Pertahanan Keamanan Rakyat Semesta (Hankamrata), dengan jumlah tentara dan sukarelawan yang banyak telah lari terbirit-birit meninggalkan Irian Barat, tapi mungkin dengan negara-negara yang tampaknya berkarakter akressif dengan teknologi persenjataan yang hebat dan mentereng, seperti Australia, AS atau Tiongkok, maka pencanggihan alutsista mutlak diperlukan. Jadi dari pada mengeluarkan biaya puluhan atau ratusan triliun untuk membina kader bela negara yang diproyeksikan dalam sepuluh tahun sebanyak 100 juta itu, lebih baik uang itu dialokasikan buat beli perlengkapan alutsista.
Jika benar apa yang dikatakan oleh Menhan, Ryamizard Ryacudu, bahwa pelatihan bela negara tidak berkaitan dengan persiapan perang, tapi untuk memperkuat ketahanan nasional, maka mending melakukan program pendidikan yang berorientasi pada ketahanan komunitas atau yang lebih dikenal dengan “ Community Oriented Curriculum” dengan membina kader-kader yang kommit pada daerah serta budayanya, serta mau menjadi agen-agen pembangunan dan pembaharuan di sana, terutama di wilayah yang kepadatan penduduknya rendah. Sebab ada gejala umum yang berkaitan dengan pembangunan dan upaya merubah nasib, bahwa para pemuda terpelajar dari daerah-daerah Indonesia Timur misalnya yang penduduknya jarang, lebih suka pergi ke kota-kota besar di Indonesia Barat membina karier dan mencari penghidupan, bahkan ke banyak yang ke-luar negeri. Secara teoritis, hal ini merawankan ketahanan nasional secara keseluruhan.
Dalam hal ini Kementerian Pertahanan bisa berperan membuat SDM lokal untuk bertahan di daerahnya yang terpencil dan kekurangan penduduk, tidak nyebrang ke Jawa atau Jakarta yang sudah overloaded. Dengan mendekatkan para pemuda usia produktif dengan lingkungannya dengan memberi lebih banyak ‘muatan lokal’ yang berkaitan dengan usaha untuk mengeksplorasi faktor produksi dan sumber daya yang ada di daerah dan desa-desa. Bukankah salah satu program Nawacita Jokowi-JK, adalah membangun dari pinggiran. Tentu yang dimaksud adalah daerah-daerah di Indonesia Timur atau wilayah perbatasan. Bisa dengan mamasukkannya ke dalam kurikulum pendidikan di sekolah-sekolah umum, bisa juga dengan mendirikan sekolah-sekolah sendiri. Dengan membangun sekolah atau universitas sendiri secara khusus, jangan hanya ada di Jakarta, tentu akan lebih memberi peluang mengasah kemampuan siswa di daerah untuk memahami dan menghayati ideologi Pancasila dan Nasionalisme, sebagai bagian dari pembinaan kepribadian dan identitas bangsa. Dus, akan menjadi tangguh dan kebal dari segala macam infiltrasi, sabotase, gangguan atau pengaruh ideologi atau cara hidup yang asing dan aneh.
Dalam pelajaran kewiraan yang diberikan pada para mahasiswa di masa lalu – apakah kini masih ada?, dikatakan bahwa hakekat ketahanan nasional adalah konsepsi di dalam pengaturan dan penyelenggaraan kesejahteraan dan keamanan di dalam kehidupan nasional. Penyelenggaraan kesejahteraan memerlukan tingkat keamanan tertentu. Sebaliknya penyelenggaraan keamanan memerlukan tingkat kesejahteraan tertentu. Semua itu bisa dicapai dengan memobilisasi atau memantapkan ‘Astagatra’, yang terdiri dari aspek alamiah : posisi geografi negara, keadaan dan kekayaan sumber daya alam, keadaan dan kemampuan penduduk. Aspek sosial/kemasyarakatan ; ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya, militer/hankam.
Aspek alamiah mempunya impact terhadap kesejahteraan dan keamanan, begitu juga pengaruh ekonomi dan sosial budaya, ideologi dan politik. Jadi apa yang menjadi penopang dan pendukung ketahanan nasional, bukan saja dari aspek militer dan hankam. Malahan jika hanya aspek yang terakhir itu yang dikembangkan dalam rangka ketahanan nasional, itu bisa menimbulkan resistensi, karena berkonotasi agressif dan siap perang. Prinsip’ Civis pacem parabellum ( jika cinta perdamaian maka bersiaplah untuk perang), di era millenium ini tidak begitu populer lagi, atau paling tidak ia tak bersifat universal. Mengingat pada dampak perang yang merusak dan mengenaskan. Dua perang dunia, perang Vietnam, perang Korea, atau yang sekarang sekarang masih terus berlangsung di Tim-teng, bukanlah contoh-contoh kehidupan yang bagus. Tahun lalu seorang biksu di Jepang membakar diri karena memprotes pemerintahnya yang mau mengembangkan dan memperkuat militerismenya lagi, melampau sekedar ‘ pasukan bela diri’ Jepang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar