Jumat, 16 Oktober 2015

TUNAS-TUNAS HARAPAN YANG BERGUGURAN


Anak-anak adalah homo ludens, makhluk tukang bermain par excellence. Mereka bisa main boneka-bonekaan, perang-perangan, atau main game dari pagi sampai sore, pokoknya lupa waktu tanpa rasa was-was, prasangka, atau pamrih apapun. Dan mereka suka coklat atau permen. Itulah sebabnya banyak anak-anak yang jadi korban pelecehan kaum predator, paedofil, atau orang kurang waras dengan memanipulasi hobby utama anak-anak tersebut. Ide Rabindranath Tagore membangun sekolah Santiniketan dan semacamnya, tempat anak-anak bisa bermain, bernyanyi, atau menari sambil belajar dalam kegembiraan, agaknya di masa kini akan sangat riskan, karena banyaknya orang dewasa yang diharapkan jadi pelindung nmereka, atau anak-anak sendiri yang telah jadi nakal,jahat, dan Piktor alias punya pikiran kotor. Siapa menyangka sebuah sekolah internasional di Jakarta bisa menjadi sarang predator anak. Lantas dimana anak-anak akan bebas bermain, serta menjadi sehat dan berkembang jiwanya, apakah mereka harus ngendon di rumah saja lantas terjebak jadi penonton dunia orang dewasa, seperti televisi yang juga banyak mengandung virus perusak bagi perkembangan dan pertumbuhannya.

Boleh dikatakan bahwa era atau decade ini adalah era pelecehan dan penyangkalan anak yang luar biasa. Nyaris semua peran-peran sosial yang ada telah terlibat dalam melakukan kesalahan besar tersebut. Orang tua, ayah-ibu, ibu angkat, ibu tiri, bapak angkat, bapak tiri, kakek, saudara, paman, tante, tetangga, penguasa atau pengusaha, telah pernah terlibat dalam melecehkan anak. Bagi anak-anak seperti tak ada lagi tempat yang aman dan tenang baginya. House bukan lagi home, sekolah sudah seperti penjara, banyak kekerasan atau bulying terjadi di sana, dan lingkungan sekitar telah kehilangan keramahan bagi mereka. Banyak orang tua telah jadi monster bagi anaknya, menjadi pemarah dan pemberang. Guru tak lagi jadi pendidik, tapi bagai sosok instruktur sekolah teknik belaka, dan banyak orang-orang di jalanan tak lagi memandang mereka dengan penuh kasih, tapi penuh birahi, yang bisa sewaktu-waktu jadi predator. Anak-anak sungguh telah kehilangan kiblat dan habitatnya. Satu-satu mereka gugur direnggut binatang liar, dan merenggut diri sendiri. Mereka bukan saja telah jadi korban kejahatan dan pelecehan, tapi banyak yang jadi pelaku itu sendiri. Antara sebagai korban dan pelaku, jumlahnya nyaris sama, ini fakta objektif berdasar penelitian.

Mengapa semua itu bisa terjadi? Tentu banyak sebab dan variabelnya, tapi dengan membenahi satu saja mata rantai dari sekian banyak penyebab itu maka diharapkan bisa punya efek berantai guna menyehatkan hidup dan dunia anak. Dan rumah mereka sendirilah yang harus terlebih dulu dibersihkan dari orang tua yang pemarah dan sok sibuk, saudara dan kerabat yang tak perduli. Terutama orang tua, sebagai figur utama dalam pembentukan karakter anak. Ketika kepercayaan pada orang tua runtuh, dan berubah menjadi kebencian, maka tinggal menanti petaka lanjutan yang akan memangsa mereka di luar sana. banyak anak-anak yang sepertinya tidak lagi betah tinggal di rumah, tidak suka pergi-pergi, suka mengunci diri di kamarnya seolah rajin belajar, tapi sejatinya mereka tenggelam dalam dunia baru yang juga tak kalah berbahayanya karena efek halusnya yang menggerogoti kesehatan jiwa anak, yakni dunia cyber. Siapa yang menjamin dalam ke bete’an mereka, tidak akan mengkonsumsi atau mengakses situs-situs tak nonoh yang kelak akan menjadikan mereka alih-alih jadi seorang yang waspada, malahan suka dilecehan dan melecehkan. Rasa ingin tahu dan eksploratif mereka jangan dianggap masih rendah, dan tak berbahaya. Sikap abai dan anggap remeh kita itu adalah bom waktu yang sangat mudah meledak dan mengagetkan kita.

Apa yang mereka lihat di lingkungannya, masyarakat atau medi massa, akan menentukan tingkat kerentanan mereka terhadap hal-hal negatif yang bisa diraihnya secara instan, tinggal pencet dan tilpon saja. Bahaya ibarat berada di ujung jari saja sekarang ini.Ketika budaya intim atau pacaran terang-terangan kerap mereka lihat dari orang-orang dewasa, yang menampakkan rasa bahagia dan senang yang sangat, maka mereka juga pasti tertarik untuk mengalaminya sensasi budaya hedonis itu dengan segala derivasinya. Mereka sering kita anggap malaikat kecil yang pasti mau selalu patuh dan nurut pada sabda-sabda kita yang sok tahu dan sok kuasa sekali bak Tuhan. Padahal mereka tak tercipta dari cahaya, tapi sama saja dengan kita yang terbuat dari tanah dan lumpur. Antara menjadi orang mulia dan baik dengan orang yang seburuk-buruknya, hanya terpisah jarak yang tipis sekali. Seperti jarak antara cinta dan benci. Dulu anak-anak, bahkan remaja sekalipun, sehat-sehat secara pisik dan psikis, karena lingkungan sehat dan steril dari pengaruh-pengaruh buruk, kendati orang tua tak begitu piawai mendidik. Kini ketika lingkungan begitu buruk dan orang tua juga kian terbebani dengan berbagai tuntutan hidup dan keluarga, lalu menjadi telmi, maka jangan harap lagi anak-anak kontempo akan sesehat anak- anak jadul.

Tapi semua potensi kerusakan dan kehancuran anak akan lebih kecil manakala orang tua mau belajar untuk tidak jadi pemarah, dan mau lebih sabar dan mengerti problem anak-anaknya. Menurut W.H. Thomas, ada empat keinginan anak (four wishes) yang telah dimilikinya sejak lahir, yang menjadi sumber kejiwaan anak, dan harus diperhatikan orang-tua untuk dipenuhi, agar tumbuh menjadi anak-anak yang bahagia dan beruntung, punya rasa harga diri yang tinggi tidak bete’, lemah dan rentan, sehingga mudah terperangkap oleh kaum predator, dan menjadi predator itu sendiri. 1. Keinginan untuk keselamatan ( security). Inilah yang sekarang menggejala, dimana anak-anak sudah seperti tak lagi beroleh perlindungan yang memadai dari orang tua dan juga negara. Penemuan anak dalam kardus yang diperkosa dan dibunuh secara keji di Kali Deres, adalah sampelnya yang paling nyata. 2. Keinginan untuk mendapat penghargaan ( recognation). 3. Keinginan untuk ditanggapi (response). 4. Keinginan akan pengetahuan dan pengalaman baru ( experience). Ketiga keinginan atau kebutuhan tersebut mesti dipenuhi oleh orang tua dan guru di sekolah.

Singkatnya, agar bisa berperan sebagai sinterklas bagai ke-empat keinginan anak tersebut, maka orang tua harus menghindari 7 hal utama yang bisa menjadi racun berbisa bagi pemantapan kepribadian dan karakter anak.
1. Jangan suka memberi perintah, atau menekan anak untuk melakukan sesuatu. Hindari kalimat perintah, misalnya, “bantu ibu sekarang juga”...atau selalu bilang ‘jangan begini’ dan ‘jangan begitu’.
2. Jangan mengancam anak bila melakukan kesalahan. Misalnya dengan berkata, “ kalau kamu masih suka ngomong jorok, ibu tampar kamu!”
3. Hindari kesan memberi kotbah dalam memberi nasehat.
4. Hindari nasehat yang bersifat pemberian solusi, biarkan anak mengatasi masalahnya sendiri.
5. Jangan sok menjadi dosen di depan anak dengan memberi kuliah yang terkesan penuh logika dan analisa.
6. Jangan berpikir negatif, dengan suka mengkritik, mencela, mengejek, menyalahkan atau merendahkan anak.
7. Jangan suka memberi cap, atau julukan, misalnya dengan mengatakan ‘ kamu bodoh!”...’dasar anak malas’


Sebenarnya masih banyak hal yang harus dihindari orang tua dalam mendidik anak-anaknya, dan juga banyak sekali yang bisa dilakukan untuk menciptakan generasi yang sehat dan bahagia. Tapi yang pertama, orang tua terhadap anak mesti jadi komunikator ulung, dengan senantiasa mau menjadi pendengar yang baik dan aktif terhadap masalah-masalah anak. Jangan sampai terjadi hambatan komunikasi, dan anak merasa diabaikan,tidak dihargai, lalu bungkam tak mau bicara lagi, sehingga mencari substitusi di luar sana. Ortu harus bersikap netral, tidak main larang dan juga kelewat permissif, dan tidak terkesan menjadikan anak sebagai bangunan keinginan dan ambisinya semata. Tidak menghargai pilihan dan eksistensi anak, menjadi pemarah terhadap mereka, dan suka memaksakan sesuatu kepadanya adalah awal dari gugurnya tunas-tunas harapan tersebut, pemilik masa depan dan kejayaan bangsa kelak.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar