Tadi malam di acara Mata Najwa, dalam episode” Menolak Untuk Bungkam”, saya melihat manusia, ya beberapa manusia dalam dimensinya yang besar dan dalam perwujudannya yang ideal. Manusia yang entah dengan cara bagaimana telah kehilangan egoismenya, berhasil memaku kepentingan dan keinginan dirinya untuk tak beriak dan bergerak mencari pelampiasan. Manusia-manusia yang telah tak perduli pada nafasnya sendiri demi orang lain bisa bernafas lega. Mengambil resiko mati demi orang lain dapat hidup dan diperlakukan adil, dan dihargai hak-haknya sebagai manusia. Manusia-manusia yang penuh cinta di hatinya pada sesama manusia, pada keadilan dan kebenaran. Mereka yang tak mencari keuntungan dari pembelaannya yang total pada kemanusiaan, dan tampak sangat sederhana sekali, namun begitu, mereka kelihatan lebih besar dan kaya dari para pembesar-pembesar yang kaya di negri ini. Mereka adalah Suciwati, istri Munir yang telah dibunuh karena berjuang membela yang tertindas dan mati dilanggar hak asasinya. Mereka adalah para pegiat anti korupsi dari Bangkalan Madura yang rata-rata telah mengalami penganiayaan dan intimidasi dalam perjuangannya. Mereka para pejuang lingkungan dan hak-hak agraria rakyat dari Sumatera selatan yang juga telah dipenjara dan dianiaya karena advokasinya pada rakyat. Dan dua lagi, satu pegiat HAM yang konsisten dan satu pejuang reformasi yang kini tampak sinis dengan metode perjuangan rekan-rekannya yang berjuang secara sporadis dan berani mengambil resiko secara sendiri-sendiri tanpa menunggu apa yang disebut Machtvorming ala Sukarno, ideal pejuang reformasi itu yang kini hidup senang sebagai anggota dewan dari partai pendukung pemerintah.
Sesuai dengan namanya, istri Munir itu memang suci hatinya. Beliau dulu adalah alter egonya sang pejuang HAM itu. Bahkan mungkin lebih teguh dan tulus dari Munir itu sendiri. Seperti ceritanya sendiri, waktu Munir almarhum berkata padanya akan memimpin “KONTRAS” bersama sedikit kebimbangannya, Suciwati berkata,” Apa resiko hidup? Ya mati...orang berjuang atau tidak akan mati, jadi Bismillah saja, serahkan semuanya pada Tuhan..” Tentu kata-kata ini telah membentuk diri Munir sehingga lebih tegar dan berani berjuang. Dan Munir telah gugur dalam perjuangannya. Kita semua sudah tahu sepak terjang perjuangan Munir dan juga kisah pembunuhan terhadapnya. Dan kini kita menunggu kelanjutan dan kesinambungan dari cerita perjungan hak asasi di Indonesia ala Munir atau Kontras lewat istrinya kini.
Tentu kelompok pembunuh Munir secara tidak langsung menggunakan teori main catur, bahwa lawan akan kalah jika berhasil mengurung, menumbangkan, atau meng-Skak mat Raja. Tapi mereka keliru, dan salah perhitungan karena ba’da pembungkaman Munir, yang muncul adalah Suciwati dan putrinya yang lebih Munir, bak metamorfosa fenomena kebangkitan para ‘ Dinasty Politik’ berupa janda atau duda atau putra-putri sebagai pelanjut perjuangan, akibat pembunuhan-pembunuhan para pemimpin yang banyak terjadi di kawasan Asia. Sebut saja, Corazon Aquino di Filipina sebagai pelanjutnya dari perjuangan suaminya yang ditembak rezim Marcos, kemunculan Benasir Bhutto di Pakistan pasca kajayaan ayahnya, Ali Bhutto. Dan di dalam negeri sendiri, ada Megawati yang menjadi pelanjut dan penyambung perjuangan Sang Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Soekarno.
Seperti pohon sonokeling yang telah rontok daun-daunnya di musim kemarau, tapi di musim penghujan telah tumbuh subur lagi, Suciwati yang pasti lama menanggung derita di musim-musim berduka, kini telah bertumbuh menjadi lebih bijak dan manusiawi, serta lebih perduli pada masalah manusia dan kemanusiaan yang lebih luas dan universal. Ia telah melewati masa-masa sulit dan kesedihan secara utuh, penuh dan kreatif, dan kini muncul sebagai perempuan dewasa serta matang dengan pemikiran-pemikiran lebih bernas dan bijak. Suciwati telah mampu mengeleminir sentimen-sentimen pribadinya, merubah dendam di hati menjadi sebuah mata air kemanusiaan yang akan terus mengalir melewati jalur sempit sungai derita menuju cinta kemanusiaan seluas samudera. Dengan kata lain, Suciwati tak lagi sekedar menuntut kematian suaminya sebagai sarana balas dendam sesuai dengan salah satu tujuan hukum, tapi sebagai tumpuan untuk tuntutan yang lebih jauh dan mendalam, agar tak lagi terulang pelanggaran-pelanggaran hak asasi di negri ini dan di luar sana.
Itulah yang kita bisa tangkap dari kata-kata Suciwati sendiri serta juga dari sorot matanya yang tampak kian lembut, mengandung cinta universal dan mendalam pada kemanusiaan. Mata Suciwati tak seindah mata Najwa Shihab, tapi lebih banyak menyimpan airmata dan sinar belas kasih. Sehingga begitu, ia bisa memandang dengan penuh toleransi kepada siapapun, kepada lawan, apalagi pada teman seperjalanan. Tak ada sedikitpun pancaran cahaya politik di setiap sudut-sudut mata Suciwati, di kornea atau di retinanya. Sedangkan mata Najwa sepertinya masih menyimpan bias-bias keinginan pribadi, dan tampak masih suka bercerita tentang pemihakan pada golongan atau partai politik tertentu. Lewat mata yang saling bersitatap kedua perempuan luar biasa itu tadi malam, semoga bisa membuka mata Najwa Shihab yang sering mmbelalak indah itu, menjadi lebih rembulan dengan tanpa bias-bias keinginan pribadi dan kelompoknya di sudut kerlingnya. Jadi penerang kegelapan alam semesta di waktu malam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar