Jumat, 11 Desember 2015

REFLEKSI ATAS DUA KALINDAQDAQ YANG MARAH

Muaq meloqo sigayang
Patandaiqmo galung
Na diengei
Si pettombangan ceraq

Kalau kau mau bertikaman
Kau tentukanlah gelanggang
Yang akan ditempati
Bersimbahan darah

Nagilingangmaq gayanna
Nasangaq na maindong
Kopi loppaqu
Meakkeq di boyaqu

Digeserkannya kepadaku kerisnya
Disangkanya aku akan lari
Kopi panasku
(Ketika ) aku berangkat dari rumah

Di Mandar, ada banyak Kalindaqdaq yang senada dua kalindaqdaq di atas, yang bercerita tentang tantangan dan jawaban untuk duel, serta nilai-nilai keteguhan dan keberanian. Dan hal itu menggambarkan sejatinya karakter orang Mandar, yang kendati juga berhati lembut, dan rendah hati, tapi juga mudah tersinggung, terbakar dan marah, serta tak akan pernah lari dari tantangan apapun yang bersifat menguji kejantanan. Sayangnya tak ada penjelasan, paling tidak pada saya tentang sepasang kalindaqdaq bernada emosi yang meluap itu, apakah susastra itu berdiri sendiri, atau merupakan bagian atau dialog dalam sebuah ‘Toloq’ ( drama-cerita) atau seni pertunjukan tradional. Sebagaimana kelong-kelong I Datu Museng yang berbunyi keras pada Tomalompoa ri Juppandang ( Pembesar Belanda). Dalam buku susastra Makassar disebut dengan jelas bahwa Datu Museng adalah protagonis dalam ‘ Sinriliq” atau sastra lisan yang sering dinyanyikan serupa Kalindadaq. Salah satu sinrikiq itu berbunyi : Kuntunna anja mangalle /Padatari mallebangang / kala tulino /Allonjongi topeku. ( lebih sudi maut datang menjemput / Liang lahat menyongsong / Daripada orang lain kebahagianku).

Secara etis, agak aneh jika ada seorang pujangga Mandar yang mau secara sengaja menciptakan kalindaqdaq yang bernada keras serta mengarah pada saling bunuh itu untuk dipublikasi dan dikonsumsi oleh publik. Untaian kalimat yang emosional itu rasa-rasanya hanya bisa terlontar di dunia nyata, ketika ada pihak-pihak yang bersengketa dan bersitegang karena terkait ‘ Siri’ misalnya. Itu hanya masuk akal jika dituangkan dalam bentuk dialog pada sebuah drama atau seni pertunjukan lainnya. Collingwood yang menteorikan seni sebagai “ Art is Imaginative Expresion”, atau seni sebagai ekspresi, penuangan dari emosi sang pencipta. Menurutnya, tidak semua ekspresi perasaan bisa disebut seni. Ekspresi marah dalam keseharian bukanlah seni. Tapi dalam sandiwara orang bisa berperan sebagai orang yang sedang marah, dan ia hanya mengkhayalkan kemarahan, tidak marah beneran. Itulah yang disebut ‘ kemarahan kesenian’ ( imaginative).

Terlepas dari kebenaran analisa ini, harus juga disadari bahwa setiap seniman, sastrawan atau pujanngga pastilah punya maksud tersendiri dalam menciptakan sebuah karya. Hal ini juga yang memungkinkan bahwa seorang bisa saja menuangkan perasaannya ke dalam bentuk seni apapun lewat bentuk-bentuk yang bersifat distortif pada objek dan subjektivitasnya sendiri. Secara “ Estetika”, apapun dimungkinkan, karena ia tak bersifat prinsip sebagaimana halnya dalam masalah etika. Jadi kemungkinan bahwa dua kalindaqda di atas bersifat otonom, bukan bagian dari sebuah sandiwara, adalah besar juga. Dalam teori estetika dikenal apa yang disebut ‘ Kritik Intentional’ yang membahas “maksud seniman”, apakah ia perlu diketahui untuk menyingkap mutu sebuah seni. Beardsley mengatakan bahwa kita tidak mungkin bisa mengetahui apa maksud sesungguhnya seorang senimam dalam mencipta – apatah pula yang sudah lama berlalu. Maksud daripada sebuah karya seni adalah bersifat sangat pribadi. Jadi kita hanya bisa memberi interpretasi, berusaha mengerti dan menangkap pesan yang tersirat dan tersuruk darinya.

Jika kita menilai kadar seni kalindaqdaq di atas maka, keduanya memilki apa yang disebut bobot, isi dan makna berupa Suasana, Gagasan atau Ide, serta Anjuran atau Ibarat. Jelas ada susana marah atau moment ketegangan di sana. Ide dan gagasannya adalah bahwa seorang Mandar harus berani dan teguh dalam mempertahankan harga diri atau ‘siri’ dan jangan lari dari resiko-resikonya, walau harus menghadapi maut. Ada anjuran juga untuk tidak gentar menghadapi tantangan dan tawaran pertarungan apapun. Katakan pada bahaya bahwa itu adalah ‘kopi panasku’ atau kesukaanku, begitu anjuran kalindadaq tersebut. Ini adalah penegasan dari prinsip orang Mandar yang tetuang dalam kalindaqdaq “ Indi tia tommuane / Bannang pute sarana / Meloq dicinggaq / meloq dilango-lango. Yang maknanya sama dengan sebuah ungkapan dalam bahasa Indonesia, “ lawan tidak dicari, ketemu tidak dielakkan. Atau dengan sebuah ungkapan Betawi “ Ente jual, Ane beli”.

Dari segi bentuk, dua kalindaqdaq di atas jelas punya persyaratan estetika, ada simetri dan ritme di dalamnya ditopang oleh satu harmoni dan keseimbangan yang padu. Sejatinya kalindadaq adalah sebuah sastra lisan tradisional yang sangat menjaga unsur simetri dan irama. Dengan tetap memegang pola 8 7 5 7 dalam performance setiap larik-lariknya, maka kita tidak akan pernah disuguhi sebuah tampilan yang a simetrik dan penyimpangan irama. Simetri adalah bagian yang tak terpisahkan dari kalindaqdaq, dan ritme adalah selalu yang dijaga dan berulang dalam setiap tampilan kalindaqdaq. Simetri dan irama dalam kesenian selalu memberi rasa tenang, nyaman dan aman, begitulah suasana yang tercipta jika kita menikmati sebuah kalindadaq. Hanya saja kadang seniman memang membuat tegangan-tegangan, kejutan atau menciptakan nada-nada disonan pada bobot dan bentuk karyanya, guna mencegah kejenuhan dalam penikmatan. Justru hal-hal yang begitu yang membuat sebuah karya menjadi lebih menarik dan memaku. Nah, alasan itulah barangkali yang membuat dua kalindaqdaq gagah berani di atas menjadi ‘ Eksis’ dan sampai pada kita sebagai warisan budaya.

Setiap karya seni selalu membawa padanya nilai yang mesti sesuai dengan pandangan hidup, rasa kesusilaan, norma-norma atau moralitas sebuah masyarakat, dan itulah yang menentukan apakah sebuah karya akan diterima atau disukai. Dalam teori estetika dikenal apa yang disebut ‘Sublimasi’ atau peluhuran, sebuah mekanisme komunikasi yang membuat sebuah karya betapapun kejam, ngeri dan kerasnya akan beroleh apresiasi, dari sikap penolakan menjadi penerimaan. Tragedi, Pathos dan Komedi adalah sublimasi-sublimasi yang membuat sebuah karya, peristiwa atau teks menjadi dapat dimengerti sehingga memberi pencerahan. Perang Baratayuda adalah perang habiis-habisan, brutal serta bermandi darah dua dinasti yang bersepupu, Pandawa dan Kurawa. Di dalamnya terjadi banyak pembunuhan, kekerasan dan kekejaman, tapi apa pun yang dilakukan oleh para protagonisnya akan selalu dibenarkan atau disublimasi. Arjuna yang harus membunuh saudara-saudaranya sendiri dan ragu pada mulanya, telah dinasehati Kresna sang Avatar untuk mau teguh dan berani menjalani dharma atau tugas kemanusiaan memberantas angkara murka yang bersemayam di dada saudara-saudaranya di pihak Kurawa.

Atas nama perdamaian abadi, adalah sublimasi dari bom atom yang dijatuhkan Amerika di Jepang yang meluluh lantakkan dua kota besar Nagasaki dan Hiroshima dan membunuh ribuan penduduknya. Konon jika bom atom tidak segera dijatuhkan, perang tidak akan pernah berakhir. Demi nasib orang-orang papa dan miskin, perampokan yang dilakukan Si Pitung di Betawi dan Robin Hood di Inggeris telah disublimasi, sehingga nilai kriminalnya menurun menjadi apresiasi dan bisa diterima. Yang membaca tindakan jalang seorang PSK demi ,membiaya hidup dan sekolah anak-anaknya akan bisa mengerti, bukan membenarkan. Atau sebuah pencurian karena kelaparan akan membua kita tersenyum karena menyadari bahwa jika kita berada dalam situasi lapar itu mungkin saja bisa melakukan hal yang sama. Dan ketika kita dipermalukan atau dilanggar hak-haknya, maka kita pun mungkin bisa melakukan tindakan membabi buta atau ‘mallaopuru’ seperti yang tergambar dalam dua kalindaqdaq di atas.

Akan tetapi sastra, apalagi sastra daerah yang berbasis budaya dan tradisi lebih dari sekedar estetika dan etis belaka. Sastra yang menggunakan kata-kata sebagai wahana atau media intrinsiknya tentu tidak saja mengandung unsur fonetik atau bunyi belaka, tapi juga adalah masalah semantik yang membawa dunia pengertian dan pengertian dunia yang dikandungnya. Bahkan seorang penyair yang nekat mau membuang pengertian atau beban makna dari syair-syairnya, seperti yang dilakukan Soetadji Calzoum Bahri, tetap saja tidak bisa sekonyong-konyong menghilang dari dunia yang dipijaknya. Ia malahan telah menciptakan dunia ideal yang penuh berisi kerinduan-kerinduan atau obsesi-obsesi pada Tuhannya yang konon tak bisa diekspresikan dengan kata. Itulah sebabnya sastra bisa melenceng, bergeser dan merambah kebidang non sastra karena kata-kata atau rangkaian kata yang ada padanya sering bersifat multi interpretabel dan multi track. Kita susah membedakan antara filsafat, fakta sosial, nilai budaya, psikologi dengan puisi dalam manifestasinya. Ketika Khairil Anwar menulis, “ Aku ingin hidup Seribu Tahun lagi”, maka jangkauan dan interpretasi tentangnya sungguh telah melibatkan aspek-aspek non sastra yang banyak, serta buku yang bertumpuk-tumpuk dalam aneka bidang kehidupan.

Begitu pun dua kalindaqdaq bersahutan di atas, pada sebuah kata ‘Gayang’ saja, untuk mengungkap dan mengurai makna-maknanya serta fungsinya dalam kalindaqdaq tersebut kita terpaksa harus membuka arsip-arsip atau buku-buku yang relevan dan terkait filsafat, pandangan hidup, serta adat budaya suku Mandar. Tidak hanya di Mandar, di masa lalu, Gayang, badik, kawali, keris atau rencong bukan hanya telah menjadi simbol kejantanan dan keberanian, tapi memiliki nilai sakral yang menjadi bagian dari pusaka kerajaan, gaukang, kalompoang, atau arajang yang mengikat segenap warga dalam satu rasa kebatinan yang sama . Bahkan dari tinjauan hukum adat, menurut Ter Haar, di kalangan tuan-tuan besar di Mandar, gayang atau keris bisa berfungsi sebagai alat pengikat sebuat persetujuan atau perikatan. Seseorang bisa memberikan seorang gadis keris, jika diterima maka itu mengikat, dan bila si gadis ingin bebas dari perikatan atau merdeka, maka si gadis harus ditebus kembali dengan keris yang senilai dan senilai keris pengikat itu.

Setelah memahami kedudukan gayang dan maknanya di masyarakat Mandar, lantas mengaitkannya dengan kata-kata atau kalimat yang lain dalam dua kalindaqdaq di atas, dapatlah disimpulkan bahwa secara keseluruhan, sastra itu hanya mengungkap beberapa nilai budaya orang Mandar, yakni nilai keberanian, keteguhan serta determinasi yang tinggi terhadap masalah, atau sifat ngotot. Secara implisit juga mengekspresikan kesanggupan untuk bersaing dan berkontestasi secara fair, sesuatu yang penting dijiwai dalam era kontemporer ini. Dan secara eksplisit, tentu semua terkait dengan ‘ siri ‘, sebagai motif dan tujuan maupun dinamisator atau stabilsator sosial budaya. Jadi di sana ada ekspresi amarah, ekspresi seni dan terutama ekspresi budaya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar