Perang armumentasi, adu ide dan gagasan, kontestasi visi dan misi serta program selama berbulan-bulan dan bertahun antar para peserta pilkada di ratusan daerah hari ini akan mencapai klimak dan anti klimaks. Ambisi, dan harapan yang kadung membumbung tinggi akan ditentukan realitasnya oleh rakyat, akan ada yang bersuka, juga yang berduka. Yang akan keluar sebagai pemenang tentu hanya ada sepasang saja, sementara pasangan yang lain, yang pada kalah akan menyandarkan harapannya, lalu menuruti bukit angan-angan dan euforia. Sebenarnya hal kemenangan dan kekalahan ini bagi sementara kalangan telah diprediksi jauh hari sebelumnya. Eksposure calon di media-media, ketokohan dan wibawa lokal serta kompatibilitas program dengan kehendak rakyat adalah variabel utama peramalan, siapa nanti yang akan keluar sebagai pemenang. Tapi faktor ‘rupiah’ jugalah yang bakal menjadi causa prima bagi semua itu. Itulah sebabnya, maka hasil pilkada begitu mudah diramal dan ditentukan pemenangnya hanya dengan lewat metode ‘ Hitungan cepat’ yang memang rata-rata sama dengan hasil akhir perhitungan resmi KPUD.
Dalam masyarakat kita sekarang, di sana dan di sini, telah lama terjadi proses homogenitas sifat dan karakter sosial-budaya, ekonomi dan politik. Secara sosial mengidap penyakit materialisme, hedonis dan konsumtif, secara ekonomi sebagian besar masih berkekurangan, dan secara politik adalah ‘masa mengambang, yang memang sejak dulu telah diambangkan. Hal-hal itulah yang telah dimanipulasi dan dimamfaatkan oleh yang berkepentingan dan juga memudahkan melakukan ramalan politik tentangnya. Ketika sebuah kolam renang diduga telah tercemar limbah beracun, maka untuk menelitinya tak perlu mengambil sample yang banyak , bergalon-galon, tapi cukup dengan segelas air saja kita akan memastikan bahwa memang kolam telah tercemar secara total. Dengan kata lain lembaga survei tak perlu melakukan apa yang disebut dalam dunia riset ‘induksi komplit’ dengan meneliti semua populasi, tapi cukup dengan melakukan ‘induksi tidak komplit’ dengan sample yang sekecil mungkin. Itu karena sifat cair masyarakat yang bagai air dewasa ini. Artinya jika politik uang telah jadi budaya, maka tinggal mencari tahu siapa calon yang paling banyak uangnya serta paling kaya bos atau backing finacialnya, maka ialah yang kemungkinan besar akan jadi pemenang.
Karena faktor uang itu jugalah maka battle pilkada telah nyaris menjadi perang habis-habisan, zero sum game yang menghalalkan cara. Karena semua sudah tersandera hutang dan juga tentu saja tersandera obsesi dan ambisi pribadi. Jadi jangan harap akan terjadi seleksi kepemimpinan yang sehat dan alami. Berdasar pada azas-azas kemulyaan dan kehormatan manusia sebagai calon pemimpin. Banyak orang-orang pintar dan bijak di daerah tersingkir dari pencalonan saja hanya karena tak punya mahar. Ibarat calon suami yang telah dijauhi mertua karena nasibnya luntang-lantung kendati ia cerdik bak si Kabayan atau Abu Nawas. Mereka bahkan hanya jadi bahan tertawaan dan olok-olok, dan kepintaran serta kebijakannya menjadi angin lalu saja, tak dibutuhkan. Semua telah berpikir bahwa semua masalah bisa diselesaikan dengan uang dan ketuk palu politik.
Uang jugalah yang telah membutakan pemilih dari realitas bahwa, calon yang dipilihnya nantinya akan mengabaikan kepentingannya. Seolah-olah untuk melakukan hal yang tak terpuji dewasa ini oleh para pejabat, tiketnya adalah uang warna merah. atau yang berwarna biru. Secara tanpa sadar, kita telah merelakan negara ini dibawah kesudut gelap, hanya dengan selembar rupiah. Kita telah menjual hak-hak kenegaraan dan politik kita selama lima tahun kepada pembeli suara yang tak bertanggung jawab. Hati nurani telah keruh, sudah berbau kimia rupiah. Kita telah hidup oleh rupiah dan mati karenanya.
Batle di pilkada tak ubahnya perang antara semut merah melawan semut hitam, perang habis-habisan. deadly combat memang, tapi menurut Henry David Thoreau, “ The Ant War’ dalam Walden yang ditulisnya tahun 1854,” The was not one hereling (orang bayaran, pen) there. I have no doubt that it was a principle they fought for, as much as aur ancestors, and not to avoid a three penny tax on their tea; and the result of this battle will be as important memorable to those whom it concern as those of the battle of Bunker Hill, at least.”
Menarik apa yang dikatakan oleh Randall Jarrell seorang penyair Amerika tentang Perang Antar Semutnya Thoreau itu, “ The style of this pierce is an imitation of the heroic style of Homer’s “Iliad’, and is properly a “ mock-heroic” The intention of the author is two-fold : half seriously endowing the incidents of everyday life with epic dignity, in the belief that there is nothing mean and trivial to the poet and philosopher, and that is the man that adds dignity to the occasion, and not the occasion tha dignifies the man; half satirically treating the human events alluded to as though they were non heroic, and only fit to be appled to the events of animal life.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar