Sabtu, 05 Desember 2015

HUKUMAN KEBIRI DAN KEBIRI-BIRIAN

Di jaman baheula, pada masa-masa despotisme dan absolutisme di belahan dunia barat ataupun timur, para raja, kaisar atau kepala suku melakukan kebiri atau kastrasi terhadap para budaknya yang bekerja sebagai pengawal atau pelayan ratu, atau haremnya agar tak berpotensi menimbulkan skandal sex dan selingkuh. Karena para ‘kasim’ atau orang yang dikebiri itu sudah tak mampu melampiaskan nafsu seksualnya, tapi tentu saja dalam hal ini tak tertutup kemungkinan para ratu atau harem yang justru dimanjakan imajinasinya karena boleh dekat-dekat dan berinteraksi secara bebas dengan kasim-kasim yang secara fisk rata-rata tinggi, kekar, hitam manis dan penurut. Tentu saja dalam kesempatan tertentu sering terjadi sang ratu yang malah kesemsem dan ingin dibelai oleh sang kasim, walau tak akan ada pengalaman ereksi dan penetrasi, toch bagi sang ratu yang jatuh cinta misalnya, pasti akan merasa puas dan bahagia kendati hanya digendong di kolam renang oleh bedindenya itu. Apalagi jika sang raja telah abai karena sibuk memikirkan kekuasaan atau memang sudah TOP ; tua, ompong dan peyot alias loyo. Saya tidak tahu persis apakah ratu agung Mesir, Cleopatra yang katanya mengidap penyakit hipersex itu juga mengkebiri para pelayan suaminya, atau kekasih gelapnya, Julius Caesar atau Antonius yang pasti banyak perempuannya katimbang laki-laki.

Mengapa juga kita sekarang meributkan urusan mengkebiri para pelaku kejahatan seksual terhadap anak, jika kenyataannya secara sosial, budaya dan politik kita memang sudah dikebiri dari dulu dalam banyak hal oleh pemerintahan yang pernah ada di Nusantara ini. Sejak jaman Belanda bukankah kita telah dikebiri secara total. Dalam segala aspek, pokoknya kemerdekaan dan kebebasan kita sebagai manusia dan bangsa telah dikebiri secara sewenang-wenang, terang-terangan serta terselubung. Secara terselubung misalnya kita dianggap belum mampu untuk punya pemerintahan sendiri, dan mandiri secara ekonomi dan politik, belum bisa berpikir dan bertindak sendiri. Bukannya ini pengkebirian yang mematikan potensi kemampuan kita yang seharusnnya dibiarkan berkembang secara alamiah dalam proses trial dan error. Untuk mengkebiri kita secara paripurna, maka ditangkapilah para pahlawan dan pejuang kebangkitan dan kemerdekaan. Dan itu tidak berhenti setelah kemerdekaan, demi stabilitas dan pembangunan misalnya, rakyat telah dikebiri hak-hak politik dan demokrasinya.

Kembali ke laptop, di jaman kerajaan dan kebudayaan suku-suku, rakyat kebanyakan tidak dikebiri libido seksnya tapi dibuang sampai keakherat bagi pelanggar dan penjahatnya. Di daerah Sulselbar, jangankan melecehkan anak di bawah usia, bermain mata, ‘ si jalli-jalling’ atau si kini-kini’ dengan lawan jenis bisa mendatangkan petaka alias mati diujung badik. Bahkan di Mandar, seorang raja pernah di sembelih karena telah melarikan permaisuri raja yang lain, atas nama adat dan budaya. Banyak kisah serupa juga terjadi di pulau-pulau lain di Nusantara ini. Belum lama di Tulang Bawang, Lampung seorang suami dibantu istrinya telah membunuh seorang supir karena dianggap penanggung jawab ketidak perawanan istrinya di malam pertama. Konon saking marah dan dendamnya, kemaluan korban pun di kunyahnya, bak menyantap hati ayam. Pembunuhan itu sendiri mungkin kita anggap sebagai upaya untuk menegakkan harga diri seorang laki-laki, tapi memakan kemaluan itu lho yang kita tidak mengerti dan sesali sekali.

Adilkah hukum adat atau konvensi adat di atas, atau betulkah tindakan pembunuh dan pemakan kelamin laki-laki di atas?. Mari kita tanya pada rumput yang bergoyang. Mengapa? Karena kasusnya sangat bersifat kondisional, dan situasional. Atau tergantung cara kita memandang siapakah sosok ‘Manusia’ itu. Terutama bagaiman pandangan kita tentang keadilan dan moralitas. Apakah kita memandang segala sesuatunya secara emosional, penuh perasaan yang romantisme ataukah kita tetap dalam asupan pikiran tenang dan rasional. Siapa pun memang akan marah dan meradang melihat peri kelakuan para predator dan fedofil, dus merasa iba dan prihatin pada nasib dan masa depan korban. Tapi janganlah lantas kita berlaku sangat romantis dan berlebihan, melupakan aspek kemanusiaan - bagaimanapun mereka bukan sapi, ayam atau biri-biri, kasihan dung klo mereka jadi kebiri-birian. Menafikan aspek pembinaan masyarakat yang lebih luas dan serta berjangka panjang. Mari kita mendidik bangsa Indonesia dengan mengembangkan rasio dan intelektualitasnya, bukannya sering memanggang aspek emosional dan amarahnya.

Jika ada pelaku pedofil yang bersifat predator, hukumlah ia seberat-beratnya berdasar prinsip kesebandingan dan kepastian hukum. Jangan ada transaksi sehingga mereka bisa dihukum minimal dua puluh tahun penjara. Dan dua puluh tahun di dalam penjara bagi mereka adalah sungguh sangat menyiksa dan bisa sangat merubah struktur batin atau kejiwaan mereka. Kebanyakan orang yang beroleh hukuman berat, lama dipenjara, biasanya akan menjadi sadar, bahkan ada yang menjadi mubaligh seperti Anton Medan, Johni Indo dan banyak lagi. Recidivis atau penjahat kambuhan itu mungkin karena hukuman bagi penjahat yang bersangkutan teramat ringan, sehingga jadi tuman. Mereka berpikir, hukuman toch ringan, setahun dua tahun, apalagi bisa dibeli, bahkan bisa pergi nonton bola atau turnamen tenis selama masa penghukuman, apa salahnya kita mencuri, membunuh atau memperkosa lagi. Saya kok tidak yakin kalau ada predator atau pedofil yang dihukum di atas 15 tahun penjara yang akan mengulang lagi salah dan dosanya. Kita juga harus ingat faktor agama di sini, atau adanya unsur hidayah Allah bagi setiap ciptaanya. Tambahan lagi hukuman kebiri dalam kacamata budaya nasional atau Pancasila dan Islam Nusantara, atau hukum syariah adalah sesuatu yang asing, dus tak berakar. Atau apakah kita tak percaya lagi pada agama. pendidikan dan pembinaaan jiwa manusia? Atau takdir Allah atas nasib akhir semua hambanya yang sejatinya gaib bagi kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar