Sabtu, 03 September 2016

PENDIDIKAN KARAKTER

Dalam satu dasawarsa terakhir ini,mungkin kata-kata yang paling sering diucapkan karena dianggap mampu selesaikan aneka masalah sosial dan kehidupan adalah kata ‘ Sekolah’. Sepertinya kata-kata sekolah telah menjadi serupa mantra atau obat yang begitu mujarab, serta powerful bagi kita yang ingin cepat mnyelesaikan setiap problem, sehingga apa-apa mau disekolahin atau diajarkan kembali kepada semua siswa dan mahasiswa, bahkan orangtua. Maka muncullah istilah-istilah ; pendidikan seks, pendidikan karakter, matpel tentang bahaya narkoba, korupsi, sampai kepada merokok. Bahkan ada ungkapan dalam masyarakat kepada orang yang mulutnya suka ceplas-ceplos dan terkesan kurang sopan, “ sekolain tuh mulut!”

Sekolah pun telah menjadi kambing hitam yang paling gelap dan terbebani begitu rupa, sehingga berimplikasi bahwa sekolah diibaratkan sebuah taman atau kebun yang bisa menumbuhkan apa saja yang baik kendati dipenuhi aneka rerumputan yang tumbuh liar, daunan yang pada meranggas, serta tak punya pagar tinggi dan kuat untuk mencegah segala predator masuk menerobos, memangsa segala tanamannya.

Sejatinya apapun bisa disekolahkan untuk mencapai tahap ideal yang diinginkan. Masalahnya adakah budget untuk itu tersediakah. Sedangkan anggaran sekolah yang sudah ada dan sudah begitu digelembungkan pun masih terasa tidak cukup akibat seringnya disunat dan ditunda realisasinya, apatah pula mau lagi menyekolahkan segala hal. Lagi pula sekolah bukanlah tempat satu-satunya untuk menjadi cerdas dan trampil di masyarakat nanti. Masih banyak wahana lain untuk sampai kebulan. Biarkaan sekolah dengan tugas tradisonalnya mendidik manusia pada dataran mendasar, sementara urusan ketergantungan seksual, narkoba atau merokok serahkan saja pada masyarakat, orang-orang di rumah atau tempat ibadah untuk menggarapnya.

Hal-hal yang disebutkan itu rasanya nggak penting-penting amat untuk disekolahin. Cukup dengan mengintensifkan pendidikan karakter, segala masalah sosial itu bisa diminimalisir. Repotnya, pendidikan di jalur tersebut, masih dianggap terlalu abstrak, dan prakteknya mengawang-awang. Para stakeholder dan peserta didik secara implisit masih lebih memihak pada pendidikan intelektual sebagai sarana untuk mencapai kesuksekan hidup dan piranti pembebas dari segala keterbatasan manusia. Guru matematika dianggap lebih bergengsi dari guru agama. Jurusan IPA dianggap lebih menjanjikan dari jurusan sosial - budaya. Murid lebih demen dianggap intelelk katimbang agamis. Pemenuhan hasrat material lebih diunggulkan daripada mengejar hal-hal yang rohani atau spritual. Kurikulum kebudayaan, kesenian atau kearifan lokal dipandang sebelah mata.

Program Nawacita Jokowi yang mengisyaratkan perluasan dan pendalaman pendidikan karakter di sekolah hanya sebatas jargon dan implementasinya juga masih dikerjakan tak sepenuh hati. Ketika seorang menteri pendidikan baru menawarkan sebuah ide baru agar pendidikan karakter betul-betul menyata di sekolah, ditentang habis-habisan oleh banyak orang. Usulannya sang menteri tentang ‘sekolah sehari penuh’ yang akan menambah waktu belajar anak agar lebih menghayati pembelajaran budi pekerti atau pendidikan karakter serta moral, sejatinya gagasan bagus, paling tidak pada dataran spritnya.

Melalui kegiatan kesenian, kerohanian yang berbasis komunitas, anak didik akan lebih terbimbing dan terarah jiwanya untuk lebih mengenal diri, masyarakat, dan Tuhannya secara lebih baik. Bukannya dibiarkan berkeliarn secara sembrono, bergaul dengan lingkungannya yang bergajulan, yang sering lebih banyak memberi pengaruh negatf katimbang positif. Anak-anak didik yang masih dalam taraf pencarian identitas jangan dibiarkan berleliaran di jalan-jalan atau di warnet-warnet. Segala contoh-contoh, teladan dan konten buruk akan didapatkan di sana tanpa satu penjelasan seperlunya.

Salah satu keprihatinan orang tentang lingkungan buruk adalah tayangan film-film, sinetron televisi yang kurang mendidik, dan tak sesuai dengan usia anak. Dikesempatan itu para pakar seperti mempercayai saja kepada yang namanya orang tua dengan memberi label acara tertentu sebagi BO atau bimbingan orang tua. Diharapkan pada acara yang tak dimengerti anak dan berbahaya, orang tua akan memberi penjelasan. Ketika orang tua mampu membimbing dan punya banyak waktu untuk itu, bagus, tapi realitasnya, saya jarang melihat anak mnonton TV ditemani oleh orang-tuanya untuk memberi penjelasan, lebih sering anak dan orang tua sibuk sendiri-sendiri. Jadi lebih baik pencegahan dini pada ancaman merosotnya moralitas pupusnya bakat-bakat dan dan karakter baik anak dilakukan disekolah, katimbang di luarnya.

Celakanya sekolah sekarang ini banyak dihuni oleh guru-guru yang tidak berkarakter juga, banyak yang tidak pedulian pada perkembangan kejiwaan anak. Banyak yang tak berdedikasi dalam mengajar kecuali mengincer gaji guru yang kian meninggi. Akibat kurang didikan dan perhatian, di rumah dan di sekolah, banyak anak-anak didik lalu merasa kesepian dan kosong jiwanya. Jika sudah begini, maka setan-setanlah yang akan sukses menggoda anak didik pada segala yang buruk, karena mereka adalah penggoda yang ulet dan tekun, tak akan pernah berhenti bergentayangan di sekitar sekolah dan di luar sana mencari mangsanya dengan menyamar sebagai rokok, narkoba, dan segala yang enak punya.

Dikegersangan jiwa siswa, maka jangankan ditawari untuk merokok atau ngegele misalnya, mereka justru akan pergi mencari sendiri asap-asap setan itu. apalagi jika barang berbahaya itu murah dan mudah didapat serta aturannya pun tidak jelas dan tegas. Penggemar benda-benda aneh itu datang dari mereka yang merasa sepi dan kosong hidupnya, tak terkecuali para peserta didik. Jadi merokok , ngenarkoba, dan cabulisme adalah akiibat dari ketiadaan jiwa yang berkarakter dan penuh. Rumusannya jangan dibalik, anak-anak menjadi nakal karena merokok, tapi anak-anak merokok karena nakal. Atau anak-anak menjadi rusak karena merokok, tapi anak merokok karena telah rusak. Rusak apanya, ya mentalnya, akibat karakternya tidak dididik dan dibina dengan benar dan tepat.

Kesimpulan saya adalah, bahwa anak-anak berkarakterlah yang kelak mampu membina dirinya sendiri dan secara auto pilot mengejar kecerdasan-kecerdasan lain ; kecerdasan inteletual, kecerdasan emosional dan spiritual bahkan kecerdasan finansial daan kecerdasan kesehatan. Terkait yang terakhir ini, anak-anak berkarakter dalam arti ‘anak-anak saleh dan cerdas’ akan dengan sendirinya tahu bahaya merokok, serta malu untuk merokok di jalanan dan di lingkungann

Tidak ada komentar:

Posting Komentar