Senin, 22 Agustus 2016

MENGHIDUPKAN KATA-KATA

Pada Festival Film Internasional di Locarno, Swiss, ada sebuah film Indonesia yang beroleh apresiasi tinggi. Film yang berjudul ‘Istirahatlah Kata-Kata’ itu disutradarai oleh Yosep Anggi Noen. Dia berangkat dari riwayat penyair Wiji Thukul yang menghilang entah kemana, sejak peristiwa kerusuhan 27 Juli, 1996. Sang penyair tentu saja menghindari dari kejaran aparat, dan hingga kini nasibnya masih misterius. Kendati secara resmi ia dikabarkan telah ‘Hilang’. Tapi banyak yang meyakini bahwa ia telah mati.

Bagi saya, yang menarik dari film itu adalah judulnya, ‘Istirahatlah Kata-Kata’. Di sana akan ada muncul berbagai makna, selain makna sejatinya, yang dimaksud oleh sang pembuat film. Tapi seperti kata sepotong syair dalam lagu Stairway To Heavennya Led Zeppelin, bahwa ‘ Sometimes words have two meanings.” - sebenarnya bisa lebih, saya melhat judul film itu mirip dengan pernyataan Roland Barthes bahwa ‘ Kata-Kata sudah mati’. Apa arti semua itu?

Ya, memang dewasa ini orang beramai-ramai – tak semua orang- telah berusaha membunuh kata-kata, alih-alih menghidupkannya. Ciri umum masyarakat kita dewasa ini adalah bahwa mereka tak lagi memegang prinsip ‘ Walk the Talk’. Orang sudah pada bangkrut integritasnya. Tak lagi satu kata dan perbuatan. Apa yang dikatakan, minus pembuktian. Para pemimpin lupa, atau tidak melaksanakan janji kampanyenya, para politisi obral janji dan perang kata-kata. Para pejabat , suka bicara sesumbar dan sekenanya, tanpa dasar. Sehingga ‘Remisi’ untuk para narapidana pun dikatakan sebagai cara untuk mengurangi kesumpekan penjara yang telah overkapasitas. Orang-orang berpangkat kemaren mengatakan A, hari ini melakukan B. Katanya akan melawan setiap pelaku narkoba dikesatuannya, tau-tau dia sendiri yang mempraktekkannya. Intinya, banyak para petinggi sudah pada kehilangan integritas, serta menegaskan bahwa lidahnya memang tak bertulang, lain di bibir, lain di hati.

Repotnya, karena sejumlah dekadensi dan kebobrokan itu, telah dimulai sejak dari sekolah atau kampus. Maka pantaslah jika dikatakan bahwa di masyarakat banyak perbuatan tercela telah membudaya. Artinya segala bentuk sikap dan perbuatan anti sosial itu telah menjadi pola pikir dan merubah sikap mental sebagian besar dari kita. Misalnya ada yang disebut ‘budaya nyontek ; mental menerabas tidak mementingkan proses ; tidak mementingkan kualitas ; pengurus sekolah atau kampus hanya sibuk memoles diri jika akan ada akreditasi. Ada budaya yang suka menilep BOS, alias dikorupsi. Memark up pembelian sarana dan prasarana, hingga pengadaan alat-alat laboratorium atau perpustakaan. Pelatihan, atau seminar disunat dananya hingga tidak maksimal hasilnya. Banyak praktek mempersulit pencairan dana yang sangat dibutuhkan sekolah, bahkan dana untuk sertifikasi pun sering terlambat diberikan. Belum lagi budaya menjiplak alias mengkopas karya ilmiah sesama rekan pendidik.( lihat ‘ Budaya Orang Pendidikan; oleh Jejen Musfah, Republika, Senin, 22/8).

Tentu saja prilaku curang di alam pendidikan itu akan berlanjut kejenjang yang lebih luas. Hingga tak mengherankan jika salah satu derivasinya dalam bentuk korupsi telah lama menjadi budaya di masyarakat. Dan karuan saja semua pelaku curang itu tak ada yang mau terang-terangan mengakuinya. Semua orang membungkusnya dengan kata-kata dan silat lidah yang lihai dan cekatan. Jika ada korupsi berjamaah, maka yang ketangkap tanganlah yang akan masuk penjara. Sisanya, alias para kolaborator akan mencari kata-kata untuk menutupi keterlibatannya atau hubungannya dengan sang koruptor tertangkap. Pada korupsi dana ‘bansos’ sikap bersembunyi dibalik kata-kata ini sering terjadi.

Celakanya, tradisi korupsi dan berbohong itu juga sudah merambah jauh hingga kekehidupan rakyat kecil. Banyak pedagang warungan yang suka menaikkan harga makanannya secara semau gue. Dalam jarak yang tak terlalu jauh, sebuah warung makanan yang nakal akan memberi harga jauh lebih tinggi dibanding warung lainnya. Apa tidak aneh jika diwarung yang satu harga sepiring nasi delapan ribu rupiah, sedang di warung yang satu dengan menu yang sama, serta lokasi serta kondisi warung yang nyaris sama, dibandrol dengan nilai tiga belas ribu rupiah. Dan jika ditanyakan mengapa begitu mahal, maka jawabnya akan klise, ‘ harga-harga sudah pada naik pak’.

Banyak alumni sekolahan dan universitas yang telah jadi pakar di segala bidang, tentu sangat pandai bersilat lidah, sehingga banyak yang bisa lolos dari jeratan hukum. Orang yang mendekam dipenjara karena prilaku palsu dan bohong, tak seberapa banyak. Dibanding dengan kasus narkoba atau teroris, tak ada apa-apanya. Para pelaku korupsi ekonomi, anggaran atau politik tak lebih dari 3 persen menghuni hotel prodeo. Yang paling banyak adalah ahli hisap atau tukang suntik alias narkobais, lebih dari 70 persen penghuni penjara adalah mereka.

Jika masih ada ada keterjajahan bangsa dewasa ini yang sering kali tak dirasakan tapi nyata dan memassal, adalah bahwa belum merdekanya kita dari penjajahan kata-kata. Banyak kebohongan-kebohongan atau moment matinya kata-kata yang disiarkan setiap hari oleh stasiun-stasiun televisi, radio, atau oleh media cetak. Belum lagi di medsos-medsos. Kebohongan-demi kebohongan selalu terjadi dan dipertontonkan. Salah satu yang membuat gerah Presiden Jokowi hingga tega melakukaan reshuffle kabinet jilid dua, adalah perihal hobby para menterinya yang sering perang kata-kata di media massa dengan heboh. Dalam suatu isue yang jadi perdebatan, kan tidak semua benar, pasti salah satu pihak mesti palsu kata-katanya, alias tidak jujur dan berniat baik.

Tak perduli benar atau palsu argumennya, para neo Gramcian itu telah mencoba menguasai perebutan lahan dan kekuasaan dengan memenangkan setiap wacana dan pertandingan kata-kata. Dan rakyat kebanyakan yang kurang mampu berpikir kritislah yang paling rentan menjadi korbannya. Jika yang menang dalam debat kusir adalah penghidup kata-kata, maka rakyat akan beruntung. Tapi jika yang menang adalah para manipulator dan pemalsu kata-kata, maka sungguh nelongsolah rakyat yang kadung sudah lama bertahan dan bertahun hidup menderita dan serba kekurangan. Ya, Mereka masih dijajah oleh kata-kata. Celakanya, antar kaula cilik pun telah terjadi saling menjajah dengan kata-kata palsu. Entah dari level mana kita harus mulai gawean untuk menghidupkan lagi kata-kata yang sudah pada bergelimpangan, mati!

2 komentar:

  1. Berkunjung juga yah ke blog saya. Salam to Mandar Malaqbi.

    BalasHapus
  2. terimakasih, ya saya akan berkunjung keblognya...

    BalasHapus