Rasanya tidak salah jika dikatakan bahwa paradigma yang jadi pemuncak segala paradigma dewasa ini adalah ‘uang’ atau rupiah atau dollar. Bahkan dari segala kepemilikan materi, uang adalah yang menjadi primadona bagi penganut dunia materialisme. Dengan uang yang segudang segala bisa didapat ; harta, tahta dan wanita. Martabat dan kehormatan sebuah bangsa pun kini diukur dari seberapa besar cadangan rupiah atau dollarnya. China yang punya uang banyak telah begitu dihormati dan disegani oleh bangsa-bangsa sedunia. Negara itu, bersama AS telah mampu menjadi kekuatan dunia yang nyaris bisa berbuat semaunya. Lihat manuvernya di Laut China Selatan.
Karena alasan uang, maka para penilep uang negara yang melarikannya ke luar negeri, bisa direlatifkan kesalahan dan dosanya pada republik ini. Dengan program ‘Tax Amnesty’, para spekulator gede yang nakal malahan bisa lagi nantinya meraup untung gede lewat investasi di sektor-sektor riel negara. Dengan alasan kemiskninan, pengangguran dan kesenjangan yang tinggi, maka segala rupa investor boleh masuk ke Indonesia untuk berusaha dan menciptakan cara baru lagi untuk menguras kekayaan republik. Secara logika memang tidak akan ada investor asing yang akan berjiwa nasionalis, perduli apalagi akan mencintai negara ini, kecuali negara, perusahaan atau dirinya sendiri.
Jangankan mereka yang datang dari luar, bangsa sendiri pun jika terkait duit yang guede, akan luntur nasionalismenya, kemudian menjadi perusak bangsa sendiri. Apa yang diungkapkan Freddy Budiman tentang keterlibatan para anggota Polri, TNI atau BNN, adalah indikasi ke arah itu, bahwa banyak memang dari kita sebagai bangsa Indonesia betul-betul tidak berjiwa Pancasila dan mencintai kemerdekaan dan martabat bangsa. Jika benar pengakuan Freddy Budiman itu yang diimformasikan keluar oleh aktivis Kontras, Harri Ashar, maka malu benar kita sebagai bangsa. Bukan saja itu membuka budaya kesukaan pada uang yang keliwat, tapi juga manifestasi dari hilangnya kepekaan atau mati rasanya kaum yang terlibat itu pada nasib bangsa ke depan. Temuan terakhir PPATK bahwa ada aliran dana yang beredar terkait narkoba sebesar 3.6 triliun, kian mendekatkan pada kebenaran nyanyian FB, dan kian membuat kita ternganga dan kontan menatap nanar ke masa depan bangsa ini.
Sejatinya menjadi soal besar adalah jika benar oknum-oknum BNN juga terlibat dalam kasus memalukan itu. tentunya mereka bukan dari kalangan ‘kroco’, tapi pastilah penentu kebijakan dan pengambil keputusan. Mana ada kaum marginal yang mau digauli oleh para mafia dan bandar narkoba. Keterlibatan anggota-anggota Polri dan TNI dalam bisnis narkoba atau sebagai konsumen, sudah sering diberitakan, tapi mengalirnya dana senilai hampir setengah triliun dari FB ke BNN sungguh menghentak jiwa dan mengejutkan sekali. Bukankah BNN adalah lembaga yang berada dibawah komando langsung Presiden. Dan sang presiden, Jokowi telah berkomitmen untuk memerangi narkoba secara tegas dan berani. Kok jafi gitu lho!!
Kita berharap semoga drama ‘Pengakuan Freddy Budiman’ tidak menjadi ending yang menyedihkan, dimana benar terbukti bahwa banyak petinggi di institusi-institusi andalan kita ; Polri, TNI, BNN telah rusak dan merusak bangsanya sendiri . Dan drama menegangkan itu menjadi semacam katarsis bagi penontonnya yang consern pada lenyapnya masalah narkoba di tanah air. Tidak kemudian jadi saling menghina dn merenndahkan, dan merasa suci sendiri. Kemudian membuat generalisasi bahwa Polri, TNI dan BNN kita bobrok seluruhnya. Ini berbahaya. Jangan berprilaku seperti capres Amerika, Donald Trump yang menggeneralisasi penganut Islam sebagai jahat semua dan berpotensi melakukan terror. Lantas akan melarang setiap muslim masuk ke negaranya. Sebaliknya jangan karena prilaku seorang Donald Trump yang rasis, kita muslim lalu anti barat dan menganggap barat jahat seluruhnya.
betapapun, Polri, TNI, dan BNN masih kita harapkan tetap aktif menjaga tata tertib, keamanan dan keselamatan bangsa ini. Mari kita tunggu aksi dan langkah ‘Tim Independen’ bentukan Jokowi untuk bekerja atau berakting untuk mencari kebenaran dalam drama yang panjang dan melelahkan itu. semoga tim itu bisa membuat kita melek tentang mana protagonis dan antagonis yang sesungguhnya. Dan hal yang buruk itu sejatinya ada dimana-mana, termasuk di dalam diri kita sendiri!.
Tindakan pemberantasan narkoba sejatinya adalah tindakan defensif. Mustinya sejak dini ada tindak preventif dengan melakukan berbagai program dan pendekatan. Dalam ilmu kriminologi dikenal ada mashab ‘Spritualis yang menekankan perlunya meningkatkan keberagamaan warga dan perbaikan moralitasnya untuk mengurangi atau mengikis segala bentuk kejahatan. Antara lain konstatasi salah seorang tokoh aliran itu, De Baets, adalah, “ C’est dans la diminution de cette energie (ialah agama ).......que je veux voir ude ds grandes causes de l’effayante progression du crime.” ( Dalam berkurangnya daya itu ( agama ). Saya melihat salah satu sebab yang terpenting daripada penambahan jumlah kejahatan yang menakutkan ini).
Di barat saja banyak yang yakin pada metode spritual atau religius pada permasalahan kejahatan. Mestinya di sini yang penduduknya mayoritas bergama harus lebih yakin lagi pada pendekatan itu. dalam Islam selalu ditekankan bahwa shalat mencegah perbuatan keji dan mungkar. Dan Islam juga tak sependapat dengan pandangan atavismenya Lombroso, yang bercorak antropologis, bahwa banyak orangg yang sejak dari sononya sudah jahat. Tapi lebih dekat kepada aliran lingkungan atau sosiologis. Menurut Islam, setiap anak dilahirkan suci, orang tua atau lingkungannyalah yang membuatnya tergelincir dan terjerumus ke got atau kubangan kotor. Adagium penganut lingkungan adalah “ Dunia adalah lebih bertanggung jawab terhadap bagaimana jadinya saya, daripada diri saya sendiri.”
Yang juga harus diperhatikan dari tesis kaum lingkungan bahwa maraknya kejahatan, terutama kejahatan kerah putih yang nominalnya besar adalah karena faktor ‘nafsu ingin memiliki yang besar. Ini di push oleh budaya konsumerisme, nafsu hedonisme dan pemujaan yang kelewat pada kemewahan. Dan bisa diidap oleh kalangan apa saja, orang biasa atau yang sudah mapan sipil ataupun militer. Namun pada akhirnya menurut G. Trade, salah seorang tokoh mashab lingkungan, bahwa kejahatan bukan gejala antropologis, tapi sosiologis. Kejadian-kejadian serta perbuatan penting dalam masyarakat dikuasai oleh ‘ peniruan’. “ Tous le actes importants de la vie sociale sont executes sous l’empire de l’exemple.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar