sebuah usaha restoran dengan cara-cara atau management modern tentunya. Namun setelah beberapa hari mereka membuka restorannya, pengunjung yang datang sepi-sepi saja, bahkan kadang ada hari dimana tak satupun orang yang datang memesan makanan. Hal ini tentu saja membuat mereka gelisah dan bertanya-tanya. Kwalitas makanan cukup baik karna dimasak oleh koki yang ahli dan berpengalaman, pelayanan ramah dan tanggap, lokasi strategis, apa yang salah dengan restoran kita?, begitu gerutu mereka. Akhirnya hal tersebut dibicarakan dengan ibu sang suami. Apa kata dan saran sang ibu?. " kita harus kembali ke tradisi " kata sang ibu. Tradisi yang dimaksud adalah menabur garam, ya hanya sekedar garam di jalan depan restoran. Aneh bin ajaib, sejak ritual tabur garam itu dilakukan, restoran itu mengalami lonjakan yang tajam para pengunjung yang membuat mereka kewalahan dan seperti hidup kembali. Secara rasional hal itu tentu absurd dan membingungkan, tapi tidak bagi mereka yang percara dan meyakini kekuatan gaib dan suggestif dari sebuah tradisi. Mereka seperti dipacu adrenalinnya untuk bekerja lebih giat dan dimantapkan pengharapannya oleh ritual tabur garam tersebut. Artinya ada kesiapan atau keterbukaan batin dan pisik untuk menyambut datangnya sang Rezeki.
Di Mandar dulu dan sekarang ada juga ritual-ritual serupa yang bermaksud membuka jalan bagi datangnya sang rezeki dan keberuntungan. Dan bahan serta tata caranya lebih canggih dibanding sekedar menabur garam. Hanya saja sejauh mana keyakinan dan effek suggestifnya di hati orang Mandar, masih perlu diteliti lebih jauh. Diantaranya ritual makkuliwa yang kita semua tahu dan mungkin telah mempraktekkannya. Di sini saya akan mengangkat sebuah upacara tradisional para potangnga atau pencari ikan terbang yang menggunakan perahu Sandeq. Upacara itu bernama Mattappung Lopi, atau melumuri bedak pada dua bagian perahu, yakni, pada tempat mengikat guling, dan pada Paccong, ujung atas kepala / depan perahu ). Hal itu dimaksudkan agar nanti ketika motangnga akan banyak ikan terbang dan telurnya yang dapat diperoleh.
Apa yang hendak dikatakan disini, hendaknya kita jangan melupakan dan meninggalkan sumber-sumber kebudayaan yang telah turun temurun telah dipraktekkan nenek moyang dan secara empiris ada mamfaatnya, baik mamfaat batin maupun batin. Ketika ritual berpengharapan itu terbukti bisa mendatangkan hasil yang signifikan, ikuti saja tak usah banyak tanya dan berlogika. Mengerti sebuah tradisi tidak sama dengan menghayatinya. Setiap etnik punya cara hidup dan cara merasa yang unik dan khas. Itulah yang membedakan Mandar, Bugis, Jawa, Padang, Aceh, meski sama-sama menganut agama Islam!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar