Rabu, 20 November 2013

ABDUL HADI WM DAN HADIAH SASTRA




Ada sejumlah sastrawan Indonesia yang pernah memperoleh penghargaan Internasional, misalnya A. A. Navis pada tahun 1975 memperoleh hadiah Kincir Emas dan Radio Nederland (1975) atas cerpennya “Jodoh”, Sapardi Djoko Damono merebut hadiah Gapena dari Malaysia atas kumpulan sajaknya Perahu Kertas (1985), dan Goenawan Mohamad menerima hadiah A. Teeuw di Leiden atas karyanya Asmaradana (1992). Pada halaman ini ditampilkan para sastrawan Indonesia yang pernah memperoleh Hadiah Sastra ASEAN (S.E.A. Write Award). Hadiah sastra itu setiap tahun diberikan oleh Yayasan Hadiah Sastra ASEAN yang berpusat di Bangkok, Thailand. Untuk itu, setiap tahun setiap negara anggota ASEAN mengirimkan seorang pemenang yang mewakili negaranya untuk menerima hadiah sastra ASEAN. Mereka yang telah menerima hadiah sastra itu berturut-turut mulai tahun 1978 adalah sebagai berikut. Penerima Penghargaan Tahun Keterangan Iwan Simatupang SEA Write Award 1978 Ziarah Sutardji Calzoum Bachri SEA Write Award 1979 Putu Wijaya SEA Write Award 1980 Goenawan Mohamad SEA Write Award 1981 Mariane Katoppo SEA Write Award 1982 Raumanen Yusuf Bilyarta Mangunwijaya SEA Write Award 1983 Budi Darma SEA Write Award 1984 Abdul Hadi Wiji Muthari SEA Write Award 1985 Sapardi Djoko Damono SEA Write Award 1986 Sapardi Djoko Damono SEA Write Award 1986 Umar Kayam SEA Write Award 1987 Danarto SEA Write Award 1988 Gerson Poyk SEA Write Award 1989 Arifin C. Noor SEA Write Award 1990 Subagio Sastrowardojo SEA Write Award 1991 A.A. Navis SEA Write Award 1992 Ramadhan K.H. SEA Write Award 1993 Taufiq Ismail SEA Write Award 1994 Ahmad Tohari SEA Write Award 1995 Rendra SEA Write Award 1996 Seno Gumira Ajida SEA Write Award 1997 Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi Kuntowijoyo SEA Write Award 1999 Acep Zamzam Noor SEA Write Award 2005 Jalan Menuju Rumahmu Wisran Hadi SEA Write Award 2000 Empat Sandiwara Orang Melayu Darmanto Jatman SEA Write Award 2002 Saini K.M. SEA Write Award 2001 Sitor Situmorang SEA Write Award 2006 Suparto Brata SEA Write Award 2007 Saksi Mata Hamsad Rangkuti SEA Write Award 2008 Floribertus Rahardi SEA Write Award 2009 ( Sumber : Pusat Bahasa Kemdiknas

Cukup banyak sastrawan Indonesia yang telah beroleh hadiah sastra dari dalam negeri maupun luar negeri. Tentu saja kenyataan ini menggembirakan sekaligus menggemaskan. Pertama, karena belum ada hadiah sastra Nobel yang mampir ke-Indonesia, kedua, tidak sepenuhnya panitia mengusung objektivitas dan ketepatan dalam memberi penghargaan, itu terlihat dari absennya sastrawan yang pantas dan munculnya yang tidak pantas untuk beroleh penghargaan. Jika aspek ideal, inovasi dan kebaruan yang menjadi ukuran, maka seharusnya Panglima Puisi Mandar, Husni Jamaluddin memperoleh penghargaan tersebut di atas. Husni telah mengangkat aspek-aspek ideal dari kecendrungan sastra kontemporer untuk kembali ke akar, budaya dan agama. Puisi mantra yang diusung telah lepas dari baying-bayang Sutarji yang punya kredo menghilangkan beban makna dari kata. Sedangkan Husni justru menjadikan mantra sebagai pernyataan budaya yang sarat makna bukan sekedar ujaran yang ngelindur dan terkesan sebagai sambungan dari dunia mistis dan gaib.

Tapi sebuah hadiah atau penghargaan sastra seringkali memang menimbulkan kontroversi dan problem epistemology sebagai dasar penilaian. Leo Tolstoy sastrawan Rusia yang mendunia dan berjiwa besar, pengarang Perang dan Damai juga telah mengalami dikecewakan oleh panitia Nobel. Komite Nobel menolak hadiah bagi Tolstoy karena dinilai mengajarkan anarkisme teoritis dan Kristen mistik. Hadiah tersebut akhrnya diberikan kepada pengarang Jerman Theodore Mommsen, penulis buku sejarah Romawi yang digambarkan akademi itu sebagai “ Penulis terbesar dalam seni sejarah”

Sebaliknya, Mo Yan menerima hadiah nobel tahun 2012 dengan menyisihkan Alice Munro yang akhirnya tahun ini dapat hadiah nobel tersebut, Philip Roth, Harumi Murakami dan Assia Djebar dari Aljazair. Menurut lembaga tersebut, Mo Yan dianugrahi nobel sastra atas karya-karyanya yang dinilai mengkombinasikan “ relisme halusinasi” dengan cerita-cerita rakyat, sejarah, serta kehidupan kontemporer di negaranya

Problem yang ketiga adalah bahwa sejak dulu penghargaan sastra belum pernah diberikan kepada sastrawan yang mengusung tema ke-Islaman atau yang bercorak sufistik. Jangankan memberi penghargaan, malah peran sastra Islam tak beroleh kedudukan yang penting dalam perjalanan sejarah sastra Indonesia terutama sejak munculnya sastra modern. Tenggelam dalam hiruk pikuk sastra modern yang bercorak Humanisme Universal atau Realisme Sosial. Puluhan buku, ratusan artikel serta esai telah ditulis untuk menekan munculnya kecendrungan sastra bernafas Islam. ( Abdul Hadi WM, Islam, Cakrawal Estetik dan Budaya )

Sehubungan dengan itulah, maka penganugrahan Habibie Award 2013 bidang kebudayaan kepada pelopor genre sastra sufi Indonesia, Abdul Hadi WM adalah semacam obat penawar bagi kalangan pelaku dan penikmat sastra yang bercorak Islami.
Abdul Hadi dikenal sebagai penyair sufi yang gigih memperjungkan eksistensi sastra sufi di Indonesia. Dengan usahanya ia telah telah mendapatkan relevansi ke-Islaman dalam karya sastrawan eksistensialis Indonesai, Iwan Simatupang. Bahkan latar Islam Perang Diponegoro. Peranan para sufi dan tasawuf dalam organisasi dagang dan penyebaran Islam di Nusantara, mengangkat nama Hamzah Fanuri sabagi bapak bahasa Indonesia, peran budaya para wali dalam dakwah Islamiyah, dsb.

Abdul Hadi adalah pelanjut projek budaya rintisan kaum sufi jaman bahari, seperti Hamzah Fansuri, Sunan Bonang dll Ia dengan karya-karyanya telah melakukan kerja alokatif nilai-nilai ke Islaman dan spiritual kedalam kebudayaan Nusantara lewat buku, artilkel, esei, prosa dan puisi-puinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar