Sabtu, 04 Januari 2014

KEBUDAYAAN YANG GAMANG

Jika akan mencari definisi kebudayaan yang pas, maka itu pekerjaan yang sia-sia atau paling tidak memerlukan satu buku tebal untuk menuliskannya. Karena kebudayaan itu identik dengan totalitas kehidupan manusia, sejak lahir sampai mati. Ia akan terus berproses seiring dengan tumbuh kembang manusia. Selalu berpanta rei atau berubah kata Heraklitos. Kebudayaan ada karena fitrah manusia yang suka belajar dan sunnahnya yang gemar berkeindahan dan berpengetahuan. Jadi siapa yang melihat wajah kebudadayaan pada artepak, situs atau seni dan benda-benda seni belaka, maka ia telah menyempitkan kebudayaan ke dalam ranah konsumsi belaka, apalagi kalau telah mengagungkannya bak benda-benda sakral yang selalu dipuja-puja dan di beri pagar tinggi agar tak terkontaminasi. Pada saat begini, kebudayaan tak lagi memberi memberi inspirasi yang hidup dan menghidupi, kecuali melulu hanya libido konservasi belaka guna memuja-muja masa lalu yang hebat, besar tak tertandingi.

Kajayaan masa lalu dan kehebatan nenek moyang seharusnya tidak membuat kita mandeg dan gamang menghadapi masa kini dan yang akan tiba. Kendati kita perlu bantuan lokal genius nenek moyang kita berupa petuah-petuah, nasehat, dan panduan yang terangkum dalam nilai-nilai budaya, agama dan etika. namun kita juga harus mampu membuatnya menjadi sesuatu yang relevan dan kompatibel dengan derap dan semangat pencapaian kita sendiri yang hidup di jaman yang berbeda dengan tantangan yang berbeda. Tak semua nilai keraifan lokal bisa diadaptasi, tapi semua kiat, metode dan proses produksi budaya lama bisa kita teladani dan diterapkan. Etos kerja dan semangat untuk survive nenek moyang jelas jauh melampaui kita dalam banyak hal. Mereka adalah generasi mandiri, tidak manja, penuh dengan hambatan dan tantangan. namun toch bisa langgeng dan selamat menyeberang ke dunia sini dan melahirkan kita-kita ini, walau hanya memproduksi alat-alat sederhana jika diukur dari kecanggihan teknologi masa kini.

Apa yang mereka produksi di masa lalu telah sesuai dan berguna untuk tantangan yang dihadapi. Mana pernah mereka berpikir untuk membeli atau mengimpor alat perlengkapan atau budaya bangsa lain. Mereka membuat sendiri perahu-perahu untuk mencari ikan dan menaklukkan lautan. Di Mandar, perahu Sandeq yang bercadik, mampu membuat ikan tuna tersusul dan terjebak dan ikan terbang terpaksa reunian di buaro. Dulu jelas tak ada pasar atau mal yang menjual aneka rupa barang dan pakaian. Manusia jadul harus menenun sendiri untuk mendapatkan pakaian atau sarung kualitas tinggi, seperti lipa' sa'be. Kesenian mesti diciptakan sendiri untuk acara ritual dan hiburan, belum ada penjual seni atau industri seni.

Dan sekarang kita sebagai anak-anak cucunya serba membeli dan serba kopas. Bahkan kebanyakan tidak mau berpikir sendiri. semua solusi masalah tinggal diimpor atau dipinjam. Otak jadi mandek, inovasi jadi mati, kretifitas terpasung. Budaya bertani dan melaut nyaris punah. Ketika semua menjadi hamba konsumerisme, maka barang dan benda apapun bebas masuk ke negri ini, bahkan sebuah jarum produksi asing pun akan laku dibeli. Ketika semua sudah menjadi kebiasaan, lantas kemudian menjadi budaya, apalagi yang dapat kita kita banggakan sebagai bangsa diera digital ini. Kita sejatinya telah jadi Mal, Supermarket, atau Pekan Raya tempat menjual segala macam produk budaya. busana, bujana, dan teknologi asing!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar