Kali pertama membaca karya George Orwell alias Eric Blair, “ Shooting an Elephant, saya merasa gemas, sedikit marah pada sosok tokoh Orwell yang bisa begitu tega membunuh dengan menembak seekor gajah yang lepas kandang, padahal masih banyak cara untuk meredam kegilaan gajah milik seorang India yang tinggal di Burma tersebut. Dalam cerita yang bisa dikatakan kisah nyata kehidupan Orwell sebagai anggota polisi Inggris di Burma itu, ia telah menyimpang dari prinsip hidupnya yang sejak muda bersimpati dan perduli pada orang-orang marginal, seperti pada kaum buruh dan para pekerja. Atau paling tidak Orwell telah mengekspresikan kemunafikan dan standar ganda jiwa imperialis yang mengamankan masyarakat jajahan sekaligus merendahkannya. terkait dengan pembunuhan gajah tersebut, di alinea terakhir Orwell menulis, “ The older men said I was right, the younger men said it was a damn shame to shoot an elephant for kiliing a coolie, because an elephant was worth more than any damn Coringhee coolie. And afterwards I was very glad tha the coolie had been killed; it put me legally in the right and it gave a sufficient pretext for shooting the elephant.
Barulah dalam karya dokomenternya, “ The Road to Wigan Pier”George Orwell menunjukkan ketegasan sikap dalam pembelaannya terhadap kaum buruh yang di masanya betul-betul dieksploitasi oleh kaum majikan. Karya Orwell ini mempunyai tujuan ganda, yakni melukiskan kesulitan di kawasan industry yang menderita di Inggris utara selama akhir tahun 1930, dan menyarankan pemecahan politiknya. Di sini antara lain Orwell menulis,” It is not long since conditions in the mines were worse than they are now. There are still living a very few old woman who in their youth have worked underground, with harness round their waist and a chain that passed between their legs, crawling an all four and dragging tubs of coal. They used to go on doing this even when they were pregnant…”
Cara Orwell melukiskan derita dan kehidupan para pekerja tambang sungguh menggugah dan memprovokasi serta membuka kesadaran kita tentang adanya dunia lain dari kehidupan normal yang oleh keasyikan diri dalam kehidupan yang memadai, sehingga hal tersebut bisa kita lupakan begitu saja dan tidak penting untuk di renungkan ( we capable of forgetting it as we forget the blood in aur veins). Di tempat lain Orwell menulis, “ And even now, if coal could not be produced without pregnant woman dragging it to and fro, I fancy that we should let them do it rather than deprive ourselves of coal.”
Orwell mengingatkan kita bahwa dalam hal eksploitasi manusia atas manusia itu, kita telah bersalah karena tidak tahu berterimakasih pada apa yang sejatinya diciptakan oleh para pekerja tambang ke dalam jiwa kita. Inferioritas para pekerja di bawah tanah itu, telah melambungkan dan merawat rasa superioritas kita juga. Dengan kata lain, hidup kita yang berkualitas ini adalah berkat pekerjaan membosankan yang harus dilakukan oleh orang lain.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa orang kota yang kaya, serta hidup nyaman dan enak, berhutang pada kerja setengah mati dan menjemukan orang-orang desa atau kaum buruh dan petani. Jadi mengapa kita tak memberi hak-hak hidup mereka yang layak dengan pekerjaan dan upah memadai yang memberi harapan merubah nasib dan memanusiakan. Demo besar-besaran para buruh dan pekerja dalam rangka May Day untuk naiknya upah minimum, tentu akan sia-sia dan percuma jika berbarengan dengan itu, para pengusaha yang sudah kaya raya itu juga bersiap-siap untuk menaikkan harga-harga barang dan menyusun daftar orang-orang yang akan di PHK.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar