BLOG INI UNTUK BERBAGI RASA DAN PIKIR, LEBIH BAIK SALAH TAPI MEMBERI DARI PADA BENAR TAK MEMBERI
Minggu, 25 Mei 2014
KOLAM SUSU
Dalam Tanwir Muhammadiyah di Samarinda, Sabtu 25 Mei lalu, dua calon presiden Jokowi dan Prabowo berpidato tentang pentingnya memberi perhatian pada pembangunan sektor pertanian dan kedaulatan pangan. Jokowi mengatakan “ Selain fokus pada energi, kita juga perhatikan pangan. Infrastruktur dan sumber daya manusia mesti diarahkan ke pertanian,” Sedangkan Prabowo membuat ungkapan bagus, “ Pangan adalah senjata”
Seharusnya memang begitu. Bagaimana bangsa mau dibilang berdaulat dan mandiri kalau soal perut saja masih tergantung pada negara lain. Jadi bukan revolusi mental yang mendesak sekarang ini, tapi revolusi pertanian. Betapa tidak, masa orang-orang desa yang seharusnya produsen beras, malah dibagi-bagikan beras dari kota, bahkan dari luar negeri, beras ‘raskin’ kita impor. Hal ini saja sudah menunjukkan kegagalan kita sebagai negara yang berdaulat dan konon katanya negara agraris.
Jokowi berencana membangun waduk dan irigasi sebanyak-banyaknya. Ini rencana yang bagus, tapi juga mengenaskan. Sistem pengairan sawah Indonesia rasanya sudah cukup maju, seperti sistem ‘ Subak’ di Bali. Hanya alih fungsi lahan pertanian menjadi pabrik-pabrik dan perumahan yang telah mematikan sistem pengairan yang ada. Di Jakarta saja tempat Jokowi berpraktek sebagai Gubernur, tak kurang banyaknya kali untuk mengairi sawah sekarang menganggur dan dipenuhi sampah. Kali Sunter yang mengalir sampai ke Plumpang, dulu mengairi sawah-sawah di kiri kanannya, Sunter dan Kelapa Gading yang kini menjadi seperti ‘ China Town’
Kali Malang lebih malang lagi. Dari Halim sampai Kranji- Bekasi , mana ada lagi sawah yang dialirinya, kecuali membanjiri rumah, ruko dan pabrik-pabrik di sekitarnya setiap musim penghujan. Di Jakarta dan sekitarnya, orang membangun kanal bukan untuk mengairi sawah tapi untuk membuang air ke laut agar tak menggenangi kota.
Membangun pertanian dan kedaulatan pangan juga harus dengan membangun kedaulatan ‘petani dan orang desa’ Yang terjadi dewasa ini, orang-orang desa meninggalkan lahan pertanian mereka untuk bekerja di Kota, dan orang-orang kota yang kaya membeli sawah dan ladang mereka di desa. Belum lama ini saya pergi ke Pelabuhan Ratu, mengagumi pemandangan laut dan bukit-bukit yang mengelilinginya. Namun rasa senang itu segera sirna setelah tahu dari seorang penjaga toko, bahwa semua tanah- tanah, kebun, bahkan sawah yang tersisa di sekitar pantai Pelabuhan Ratu adalah milik orang Jakarta, bahkan ada beberapa petak sawah dimiliki orang asing.
Drajat Wibowo, salah seorang tim ekonomi Prabowo, mengatakan pihaknya akan mecetak satu juta hektar sawah. Dan salah satu yang menjadi handicapnya, adalah banyaknya lahan-lahan tidur di semua pulau yang harus dimamfaatkan. Dia mengatakan bahwa di Pulau Sulawesi lahan-lahan yang terlantar tapi dejure milik orang kota sangat banyak. Saya sendiri melihat banyak tanah absente di Mandar. Jika semua lahan yang tidak produktif di serahkan kepada orang sedesa untuk mereka olah dan garap, maka tidak mustahil kita akan terbebas dari kemiskinan dan ketergantungan pangan pada pihak asing.
Agar menjadi perhatian bersama, berikut ini pandangan Lucian W. Pye, tentang hal-hal yang bisa menghalangi capaian yang tinggi dalam bidang pertanian, “ First, in most of less develoved countries, agriculture does not have a high degree of prestige, and as a result it does not attract the attention and the energies of the more dynamic elements of the population. The bright young people who have the greatest potential to be the innovators in the society are not attracted to agriculture, in spite of its importance for national development….Second, the problem of agriculture cannot be generalized ; so its imposible to adopt the practices and procedures tha work in one area and apply them universally. Each are has its own peculiar problems that must be worked out within the context of the local setting…”
Terkait dengan pandangan yang pertama di atas, Clifton R. Wharton, Jr, telah mengatakan ‘ Many past difficulties in modernizing subsistence agriculture have been due to fallacies. These fallacies often from the basis for similarly fallacious policies and programs : (1) ‘ If you wish to become modern, you must develop industry ( which is modern) and ignore agriculture ( which is primitive).’ (2) ‘ Only industry is capable of fully exploiting the rewards of new technology because agriculture is inherently primitive.’ (3) ‘ Agriculture can never be as efficient economically as industry.’
Semoga kesadaran untuk kembali menghidupkan pedesaan tidak terlambat, karena di desalah sesungguhnya harapan bagi masa depan kita. Apasih yang ngga bisa tumbuh di desa di gunung dan di ladang kita. Dengar deh lagu Koes Plus ‘ Kolam Susu’ di Youtube, maka kita pasti akan malu sendiri, kok bisa, petani dan nelayan kita nasibnya ngga pernah berubah. Harie ginie, masih aja pada khumuh dan shusah…..
Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupinmu
Tiada badai tiada topam kau temui
Ikan dan udang menghampiri dirimu
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar