Sepertinya bangsa ini harus kembali melakukan pembacaan pada dasar-dasar dan hakekat hukumnya. Atau kembali untuk memperkuat makna dan maksud sebuah “ Negara Hukum”. Jika orang awam seperti saya saja bisa melihat betapa secara kasat mata telah terjadi pengelabuan hukum tanpa malu-malu di depan publik, bagaimana dengan mereka, para pakar dan penegak hukum yang telah mengabdi pada hukum selama bertahun-tahun. Apakah akan terus membiarkan hukum ditafsir secara semau gue dengan alasan yang tak jelas karena ingin mengakomodasi kepentingan tertentu, atau atas nama pribadi dan golongan saja. Kan sudah jelas Negara kita menganut ‘Sistem Kodifikasi” dalam melaksanakan hukum. Itu untuk menjamin prinsip kepastian hukum seperti yang diteorikan oleh Van Kann.
Dalam sitem kodifikasi yang mengisaratkan keteraturan hukum, dan keterkaitannya satu sama lain agar tercipta suatu tatanan hukum yang ajeg dan pasti, mana boleh ada hakim yang berlagak menjadi menjadi pembentuk hukum ( Judge made law). Atau mencoba mengenyampingkan atau meniadakan sebuah pasal undang-undang yang sudah jelas dan menjadi pedoman selama ini oleh para hakim dalam memeriksa dan memutus perkara “ Praperadilan “ ( pasal 77 KUHAP). Hal itu hanya bisa diterapkan di Negara-negara yang menganut system ‘Common Law” seperti di Inggeris dan Amerika Serikat.
Dalam literature hukum memang disebutkan bahwa peradilan adalah salah satu sumber hukum di samping Undang-undang, kebiasaan dan doktrin hukum. Namun itu tidak termasuk untuk membuat pasal-pasal sendiri yang bersifat umum dan menyangkut kepentingan bersama sebagai sebuah bangsa. Wewenang untuk membuat undang-undang ada di tangan anggota parlemen. Heran juga mengapa para anggota DPR tidak ada yang bersuara atas keputusan hakim Sarpin Rizaldi yang telah mengambil porsi mereka dan dianggap oleh sementara pakar telah merusak sistem hukum kita. Jika dasar pemeriksaan hakim adalah keputusan Mahkamah Agung, maka ia tetap harus memperhatikan hirarki perundang-undangan yang ada. Kep MA jelas tidak bisa meniadakan sebuah pasal dari Undang-undang yang adalah setingkat berada di bawah Undang-undang Dasar dalam hirarki perundang-perundangan kita.
Nah, hanya itulah yang saya bisa sorot kali ini, mengenai klausul yang mengatakan bahwa BG tidak melakukan korupsi, itu sudah masuk dalam ranah materi hukum yang adalah wewenang KPK untuk mempersangkakannya, tentu dengan mengemukakan minimal dua alat bukti yang sah untuk kemudian diperilsa hakim Tipikor. Saya hanya menyorot hukum acaranya. Siapapun memang harus memegang prinsip ‘ Asas praduga tak bersalah’. Sama seperti kasus yang ditimpakan pada AS dan BW yang juga belum sampai pada keputusan final untuk dijadikan alasan pemberhentian dan pemecatan.
Tapi ada perbedaan antara sangkaan terhadap BG dengan tuduhan terhadap AS dan BW. Apa yang dilakukan para ketua KPK terhadap BG sederajat dengan apa yang terjadi pada para petinggi Negara sebelumnya. Semua dalam rangka menjalankan tugas dan jabatan serta perintah undang-undang untuk memberantas korupsi. Malahan akibatnya pada petinggi yang lain lebih parah, karena mereka harus berhenti dari jabatan menteri, atau ketua dan petinggi partai. Sedangkan pada BG hanya menunda sebuah cita-cita menjadi seorang Kapolri yang tentu saja jadi idam-idaman semua polisi. Nah, apa yang menimpa AS dan BW adalah bisa disebut kasus sederhana yang sebetulnya demi kepentingan umum yang lebih besar bisa dideponir oleh jaksa. Lagi pula halnya terjadi di masa lalu. Mengapa lalu berakibat pemecatan yang menyebabkan KPK kembali stagnan dan tidak bisa terus melaksanakan tugas pemberantasan korupsi secara efektif. Sejatinya ada korelasi yang nyata antara pemimpin dengan kinerja sebuah organisasi.
Kini kita hanya bisa berdoa semoga pemecatan itu hanya bersifat sementara. Seandainya nanti AS dan BW tidak terbukti bersalah dan melawan hukum dalam kasus-kasus yang dikenakan pada mereka, tentu hakim harus bisa merehabilitasi nama baik mereka, lalu kembali untuk menduduki jabatan ketua-ketua KPK. Nah, pada momen inilah proses praperadilan beroleh maknanya yang sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar