Di usia balita, Republik Indonesia sudah punya seorang menteri negara yang juga dijuliki “ Menteri Beras” yakni DR. Soedarsono. Dalam kabinet Syahrir III, menteri beras ini diminta mengurusi bantuan beras kemanusiaan untuk India yang sedang mengalami krisis kekurangan beras dan kelaparan. Meski beras sebanyak 5 juta ton itu dibarter dengan bahan-bahan teksti yang saat itu memang dibutuhkan Indonesia, namun itu menunjukkan bahwa saat itu kita tidak ada permasalahan dengan beras atau pangan, bahkan menjadi gambaran kedaulatan bangsa yang membuat Belanda sakit gigi karena merasa masih punya kedaulatan di Indonesia.
Menurut PM Sutan Syahrir, bantuan itu murni karena kemanusiaan, tapi telah berdampak politik yang luar biasa. PM India saat itu Pandit Jawaharlal Nehru mengadakan Asia Conferensi di New Delhi di awal tahun 1949 untuk membahas agresi militer Belanda di Indonesia. Konferensi ini membuat resolusi yang akhirnya membuat PBB juga menggelontorkan sebuah Resolusi Dewan Keamanan yang menjadi awal pengakuan kedaulatn bangsa di Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun itu juga. Malahan sang menteri beras diminta untuk menjadi duta besar di India setelah penyerahan dan pengakuan kedaulatan, dan beliau sangat populer dan disenangi oleh masyarakat India.
Ternyata beras bisa menjadi bahan amunisi politik yang membantu menegakkan kedaulatan suatu bangsa sekaligus bahan konsumsi publik yang penting. Tapi faktor luar biasa dari beras itu selalu kita sepelekan dan tak pernah menjadi sebuah condisi sine que non bagi perjalanan bangsa ini demi menegakkan kedaulatannya yang sejati. Pemerintah Orde Baru sejak awalnya telah focus pada masalah ketersediaan beras dan kedaulatan pangan hingga pada tahun 1984 bisa berswasembada beras dan Suharto beroleh penghargaan dari FAO PBB. Tapi langkah itu tak diikuti oleh rezim berikutnya secara sungguh-sungguh untuk menegakkan kedaulatan pangan. Urusan beras yang maha penting dibiarkan terjun bebas mengikuti harga pasar sesuai anjuran IMF yang beraliran neo lib di masa reformasi, dan kita mau manut begitu saja. Peran bulog sebagai stabilisator harag beras dan pengatur distribusinya dipangkas begitu saja sehingga beras sering mengalami fluktuasi harga yang ekstrim dan yang paling parah mengalami kekurangan stock dalam negri sehingga kita mau tidak mau harus impor. Tentu saja ini mengurangi kedaulatan pangan kita karena ketergantungan pada asing.
Setelah presiden Megawati melakukan kebijakan putus hubungan dengan IMF , sempat terjadi stabilitas urusan pangan atau beras. Tapi di masa presiden Jokowi ini terjadi lagi gejolak harga dan akibat kekurangan stock beras yang mengkhawatirkan serta mengaburkan visi beliau, kedaulatan pangan di 2017. Upaya penyelesaikan yang ada, tampak tak bersinergi malah terjadi saling beda pendapat antara menteri perdagangan, Rachmat Gobel dengan Bulog disatu pihak, dan pemerintah vs DPR ditempa lain. Menteri mengatakan bahwa telah terjadi permainan mafia beras. Sedangkan bulog mengatakan itu akibat dihentikannnya program beras miskin, sehingga 1,5 juta warga yang tak lagi beroleh subsidi merangsek rame-rame ke pasar sehingga antara penawaran dan permintaan tidak terjadi equelibrium. Permintaan tinggi sementara stock rendah. Lucunya di sebuah kabupaten di provinsi Papua, kepala bulognya mengatakan telah menyalurkan raskin, tapi seorang warga mengatakan belum melihat ada pembagian raskin itu. Orang DPR bilang bahwa kapasitas produksi terpasang beras nasional 40 juta ton, sedang konsumsi rata-rata hanya 30 an juta ton pertahun, mestinya pemerintah surflus katanya. Pengamat mengatakan bahwa telah terjadi keterlambatan masa panen akibat anomali musim, dus, panen baru akan terjadi pada bulan-bulan mendatang. JK bilang itu masalah distribusi, ditambah munculnya wacana pemerintah yang katanya mau menghapus program raskin dan subsisdi pupuk, akhirnya semua jadi panik dan situasi serba tak menentu.
Semua alasan dan bantahan di atas terkesan merupakan politisasi belaka atau upaya penghindaran tanggung jawab dari masalah dengan memperpanjang debat kusir, sementara rakyat dibiarkan bengong dan tak tahu mau bikin apa. Stomach cannot wait, begitu kata sang perut. Jadi sekarang ya kerja, kerja dan kerja saja untuk selesaikan masalah beras sesuai anjuran Jokowi. Orang Yunani mangatakan “ Makan dulu baru berfilsafat ( primus manducare, deinde philosophare). JadI sekarang ini yang dibutuhkan rakyat adalah beras tersedia dalam jumlah yang cukup dan harga terjangkau, punya kualitas yang memadai, ngga hancur-hancuran kayak kebanyakan beras raskin, mudah didapat dan adanya kutinuitas produksi, pengadaan dan kelancaran distribusi.
Sukarno mengatakan “ jangan sekali-sekali melupakan sejarah ( jasmerah), maka mari kita baca lagi peringatan beliau tentang masalah beras yang dipidatokan pada acara peletakan batu pertama gedung Fakultas Pertanian di Bogor pada 27 April 1957 :
Mengertikah engkau, bahwa kita sekarang ini menghadapi suatu bayangan hari kemudian yang amat ngeri, bahkan satu todongan pistol “ mau hidup atau mati”, satu tekanan tugas”to be or not to be” Di dalam tahun 1960 nanti tekor kita sudah akan 6,3 milyar ton – nanti pada tahun 1970 kalau penduduk kita sudah menjadi 90 – 95 juta, dan berapa lagi dalam tahun 1980 kalau penduduk kita sudah 100 juta?
Engkau pemuda-pemudi, engkau terutama sekali harus menjawab pertanyaan itu, sebab hari kemudian adalah harimu, alam kemudian adalah alammu – bukan alam kami, kaum tua. Yang vroegt of laat akan dipanggil pulan ke rachmatullah.
....Tiap tahun zonder kecuali zonder pause, zonder ampun. Soal beras ini akan datang, - dan akan datang crescendo – makin lama makin sengit – makin lama makin ngeri – selama tambahnya penduduk yang cepat itu tidak kita imbangi dengan tambahnya persediaan bahan makanan yang cepat pula!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar