Manusia terutama para seniman doyan sekali membuat parodi kehidupan lewat seninya. Bentuk-bentuk yang sudah mapan dan menjadi kekayaan abadi ummat manusia, simbol-simbol dan ikon sejarah dan budaya sering dibuatkan penampakan yang baru dengan mendistorsi beberapa elemen dan esensinya, sehingga kehilangan sambungan pada makna penciptaan dasarnya. Manusia adalah makhluk ajaib dan penuh kemungkinan, ia senantiasa berproses dan berpantarei, makhluk becoming paripurna yang selalu mengalir bagai air mencari muara-muara baru. Manusia kontemporer, menganggap hal yang dilakukannya adalah bukti kreativitas dan prinsip kebebasan manusia dalam bereksplorasi untuk mencarai dunia keindahan baru dan orisinal. Kaum terlanjur itu menganggap dirinya, ‘ pemimpin kebebasan mental’ dan ” penemu keindahan terkubur”, serta ‘ pembebas dari ikatan tradisonal’. Maka salah seorang dari mereka, Duschamp, menaruh kumis di wajah Monalisa, sehingga tampak aneh dan menggelikan.
Salah satu Dekonstruksionisme seni yang membuat orang menganga mulutnya, adalah karya, “ The Absolutely Empty Exhibition”. Seperti yang ditulis Tiang Feng, bahwa tak ada sesuatu apapun di dalam gedunng itu, perlengkapan rumah tangga atau barang-barang yang akan dipamerkan, hanya cat biru pada jendela-jendela dan cat putih pada dinding dan langit-langit, serta seorang satpam di dekat pintu. Pameran itu sangat menggelikan, setiap pengunjung tidak memahami apapun kecuali disuguhi ekspresi-ekspresi yang kacau. Begitulah kerjaan seniman kontemporer, mereka punya credo, “ Tak masalah apapun yang akan dipamerkan, tapi konsentrasikan saja pada bagaimana memamerkannya
Bayangkan, seorang seniman Jepang, Hiroshi Koike, telah memparodikan kisah Mahabarata yang dianggap suci oleh ummat Hindu, dan mendistorsi beberapa karakter penting yang melekat kuat pada image Mahabarata. Di tangan seniman Jepang yang mbeling dan nyeleneh itu, raja Destarata menjadi bertubuh kecil kerempeng. Sedangkan Durjudana dan Bima yang kita kenal bertubuh tinggi besar dan gagah, telah diperankan oleh aktor yang kurus lagi pendek. Drupadi digambarkan tidak anggun lagi, dan sang Avatar Tuhan, Kresna, dibuat berwatak klemar-klemer. Pokoknya di tangan Koike, Mahabarata telah menjadi makhluk aneh bagi kita, orang Jawa, apalagi bagi ummat Hindu. Keinginannya untuk mengavant gardekan karya klasik Hindu itu, dengan kontemporisasi tanpa batas, menohok kesadaran kita tentang absurdnya kehidupan kekinian yang telah sampai pada titik ekstrim. Tapi semua itu mestinya menghentak kita untuk berpikir dan meninjau lagi asumsi-asumsi kebenaran kita yang memang tak pernah akan bulat dan langgeng. Semua serba relatif, apapun bisa didekonstruksi sesuai selera dan perkembangan. Maka apa pun yang bernama kepastian-kepastian harus dibaca sebagai keguyahan yang abadi, termasuk libido rasionalitas dan posivitas kita yang diturunkan oleh manusia ‘ Cogito’
Hakekatnya , para seniman kontemporer mau melawan segala kemapanan ciptaan manusia, termasuk Ilmu pasti dan pretensi ilmiah yang telah dimitoskan. Simaklah apa yang telah dikatakan seniman ‘Pasca Avangardist, Asmujo Irianto, “ Apapun boleh untuk seni”. Seni menurut dia, perlu ditulis ulang berkenan dengan gagasan mengenai tamatnya seni, pudarnya struktur meta yang selama ini ditopang oleh narasi-narasi adi, dan kesadaran akan fragmentasi identitas sang subjek itu sendiri. Asmujo, jebolan ITB itu, yakin seyakin-yakinnya bahwa seni di masa kini tidak memiliki parameter apapun, bukan lagi fenomena khas budaya tinggi yang dipercaya mengandung nilai-nilai estetik atau makna yang bisa dilembagakan, yang membedakannya dengan yang bukan seni. Seni sudah berkompromi dengan apa saja dan karena itu konfigurasinya bisa semau-mau seniman atau semau gue.
Nihilisme seni Asmujo sejatinya bukan sesuatu yang lahir dan melompat begitu saja dari kepalanya. Credonya yang tak bercredo bisa dirujuk pada tokoh-tokoh pemikir ‘post modernism atau post strukturalism, Derrida, dan terutama Karl Raul Feyerabend. Karl adalah penyeru ‘anarkisme epistemologi’ yang konsekwen dan berpengaruh. Ia mendahului Asmujo dalam soal keserba bolehan. Ia punya credo,’ Anything goes,’ yang berati membiarkan sesuatu berlangsung, berjalan tanpa banyak aturan, semua metode mempunyai keterbatasan katanya, makanya ia pun ‘anti metode’. Berdasarkan prinsip kebebasan tanpa batas ini, Feyerabend sangat anti pada kekuasaan ilmu pengetahuan yang katanya sering keluar dari tujuan utamanya. Ia melawan ilmu pengetahuan yang dikatakan oleh pemujanya lebih unggul dibanding dengan pengetahuan lain seperti sihir, magi, voodo, mitos dan sebagainya.
Pada titik inilah kita bersetuju pada segala lagak-lagu dan keyakinan seniman-seniman dan ilmuwan kontemporer, garda depan atau kaum post modernism. Para ilmuwan dan seniman konvensional; realis maupun natural, berusaha menerangkan gejala-gejala secara nalar dan mencoba menguji kesimpulan-kesimpulannya. Berbeda dengan seni dan ilmu pengetahuan, agama menyajikan kepada manusia sebuah peta dunia penuh rahasia di mana kita terbangun dalam kesadaran dan di mana kita harus menghabiskan hidup kita. Meskipun peta ini sekedar bersifat dugaan, tapi kita tidak bisa berbuat apa-apa tanpa peta itu, agama adalah kebutuhan dasar kehidupan yang membebaskan. Agama dan sistem kepercayaan yang ada lebih besar gunanya bagi manusia katimbang banyak penelitian ilmiah yang sudah diuji dan disahkan. Perkembangan ilmu dan seni terlalu berlebihan untuk dikatakan bisa mempertahankan kelangsungan hidup. Kepercayaan padanya yang berlebihan bisa berakibat pada penghancuran umat manusia oleh dirinya sendiri.
Seni yang tak dibingkai dan berdasar pada agama, mitos, atau kepercayaan, akan meluncur jatuh ke dunia nyata lalu melakukan eksperimen-eksperimen seni yang akan kian membingungkan manusia dan menjauhkannya dari hakekat kejadiannya sebagai bukti dan manifestasi kreatifitas Tuhan. Gerard Hopkins membuat kategori seni , yakni ‘intresa’ dan ‘inscape’. Bagi Hopkins, intresa adalah pengaruh yang nyata dari tangan Tuhan terhadap ciptaan kreatifnya. Sedangkan inscape adalah pemahaman, kekuatan melihat segala sesuatu dengan hati dan pikiran sebagai suatu puncak realitas dalam pola, irama, dan melodi benda-benda ciptaan berdasarkan kebenaran Tuhan.
Plato, St Agustinus dan Thomas Aquinas, dan seniman-seniman sufi muslim, mempunyai persepsi yang sama dalam memandang keindahan hubungannya dengan kebenaran. Menurut mereka, pengertian yang jelas terhadap kebenaran sejati akan membuahkan persepsi keindahan. Perkembangan selanjutnya kebenaran yang dimaksudkan dalam cipta budaya dan seni adalah kebenaran sebagai yang diwahyukan atau diwujudkan oleh Tuhan dalam ciptaannya. Setiap seni pada semua bangsa yang bersifat tradisional atau primitif art, pasti merupakan menaifestasi dari agama dan keyakinannnya, Aliya Isetbegovic mengatakan, ‘ Seni adalah anak perempuan agama’. Lihatlah lukisan-lukisan allegori yang banyak terdapat di Bali, semua adalah ekspresi transendental. Lukisan ‘Arjuna Wiwaha yang ada di musium Bali Denpasar, melukiskan adegan Arjuna menasehati dewi Supraba agar menerima lamaran raksasa Niwatakawaca untuk memata-matai kelemahan raksasa itu, karena raksasa itu akan menghancurkan sorga.
Kesenian primitif tidak dibuat atas dasar sadar artistik atau seni untuk seni, tapi dibuat karna kesadaran ‘magis’. Benda yang dibuat tidak ditujukan sama sekali untuk benda seni, tapi sebagai benda sakti. Contohnya patung-patung suku Asmat dan Komoro di Papua yang dianggap bernilai tinggi walau jauh dari ukuran kehalusan dan keindahan manusia modern atau seni klasik. Saya sendiri membawa puluhan patung Asmat dan Komoro dari Papua karena senang melihat ekspresi dan keunikannya. Orang Mesir kuno suka membuat lukisan-lukisan, relief-relief dan patung-patung yang dibuat secara indah sekali, tetapi ditempatkan untuk selamanya dalam kuburan-kuburan. Kesenian mereka disebut juga ‘ kesenian dunia-akherat’ atau kesenian alam baka yang mengabdi pada kepercayaan ( wishful painting). Dalam perspektif Islam seni jelas sebagai jalan kenaikan menuju Tuhid, lagi pula Tuhannya kaum muslim itu indah dan penyuka keindahan, “ Innallaaha jamil wa yuhibbul jamal “
Nah, Mereka yang gandrung pada perombakan total di atas, sejatinya tanpa disadari telah menjadi instrumen Tuhan untuk membuktikan bahwa, manusia itu apalah, makhluk lemah dan rentan oleh tiupan hawa nafsunya sendiri, bagai debu di tengah angin yang melayang-layang tanpa arah. Fillsuf China, Konfuchu berkata, “ Manusia jatuh dalam perangkap, karena dikendalikan nafsu untuk menang, dan tidak mencoba menahan keinginannya.” Dengan kata lain, manusia adalah makhluk fana, tak akan pernah abadi dalam bentuk dan esensi atau kodratnya, apalagi secuil ilmu yang dimilikinya. Semua kebenaran-kebenaran ciptaan manusia telah didekonstruksi oleh mereka, sebelum Tuhan sendiri yang turun tangan mengkiamatkan segalanya.
Jika manusia piawai membuat parodi, maka Tuhan pasti pembuat parodi yang paling handal dan agung. Jadi tidak ada yang aneh pada karya-karya naif, komikal, dan banalitas manusia jika dikaitkan dengan Tuhan. Semua hanya miniatur ciptaan Tuhan untuk membuka pemahaman pada realitas hidup yang lebih absurd, seperti perang antar manusi yang tak berkesudahan, korupsi oleh para petinggi yang mengaku muslim, libido kekuasaan ummat yang kelewat, politik yang jungkir-balik, hukum yang dibolak-balik, hingga keterbelakangan dan kemiskinan ummat yang ngga ketulungan serta berbagai bencana alam yang menggegerkan. Semua adalah distorsi kehidupan sekaligus pameran parodi ciptaan Tuhan untuk membuka kesadaran ummat pada realitas sungsang yang terjadi akibat ulahnya sendiri.
Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilih-Nya. Sekali-kali tidak ada pilihan bagi mereka. (QS. Al-Qashash: 68)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar