Sabtu, 30 Mei 2015

PARA SRIKANDI ITU

Presiden Jokowi telah memilih Tim Seleksi Calon Pimpinan KPK 2015 yang kesemuanya perempuan. Maka timbullah heboh dan keramaian pro-cons juga polemik di media-media, bahkan ada yang merayakannya sebagai kemenangan kaum feminisme. Tapi nanti dulu, karena bisa saja toch kenyataan itu merupakan buah keterpaksaan karena tidak adanya calon laki-laki yang serius dan ngotot menjadi timsel karena takut menanggung beban perasaan dan tanggung jawab jika KPK pilihannya akan mentok lagi, menghadapi tembok dan hukum besi kekuasaan. Atau solider pada para penggemar korupsi dari berbagai instansi yang sejatinya kurang sreg dan ikhlas dengan keberadaan lembaga anti rasua yang diberi kewenangan sangat besar itu. Tapi betapapun, para intelektual dan profesional perempuan pilihan Jokowi tersebut sudah barang tentu tak akan membuang-buang kesempatan manis untuk unjuk gigi sekaligus meraih popularitas. Dari sembilan timsel yang dipimpin Destri Damayanti itu, yang sudah populer dan punya nama besar di ranah publik baru Harkristuti Harkrisnowo saja. Bahkan tak satupun yang tercatat sebagai aktivis perempuan, pejuang kesetaraan gender.

Munculnya 9 srikandi perekrut capim KPK, yang sebagian besar datang dari negeri entah berantah itu – meminjam istilah Fahri Hamzah, bukan sesuatu yang aneh dan ahistoris. Dewasa ini, meski disana-sini masih banyak diskriminasi dan ketidak adilan gender, banyak perempuan yang telah bisa keluar dari jebakan kepompong budaya patriarki dan telah mampu mengembang dan memasuki berbagai tugas-tugas pekerjaan di segala lini kehidupan dan menegaskan kesetaraan. Semua jenis pekerjaan dan profesi telah dilakukan oleh perempuan Indonesia, dari mulai Presiden, menteri , supir busway, hingga TKW ke luar negeri, semua telah dilakoni dengan benar dan bertanggung jawab. Pokoknya nyaris tak ada lagi bidang yang tabu untuk dimasuki perempuan Indonesia yang telah teremansipasi sejak era Kartini.

Jika tim seleksi yang sudah-sudah semua bapak-bapak, mengapa yang sekarang tidak boleh semua ibu-ibu. Lagi pula pekerjaan manajemen rekruitmen atau managemen saja sejatinya adalah identik dan melekat pada pada kodrat keibuan. Dari sononya seorang ibu – mudah-mudahan semuanya srikandi itu ibu-ibu, sudah melakukan pekerjaan mengelola, mengatur, membina dan mengarahkan putra-putrinya. Kaum ibu mampu menangani konflik keluarga dengan sabar dan solutif, meluruskan dan mengarahkan prilaku keluarganya, memotivasi kelompok, biasa menetapkan tujuan-tujuan tertentu dilingkungannya, membersihkan yang buruk dan kotor dengan mencuci dan menyapu. Dan tentu saja punya kepekaan dan intuisi terhadap prilaku baik atau menyimpang anak-anaknya. Pokoknya para srikandi kali ini untuk salah pilih lebih kecil kemungkinannya dari para Arjuna-Arjuna pendahulu mereka

Sebenarnya di dalam diri perempuan ada aspek maskulinnya, disamping feminitas itu sendiri. Terutama bagi yang masih dalam usia produktif dan masih meniti karir menuju puncak. Kita bisa melihat dan merasakan bahwa perempuan sekarang walau seringkali tampil begitu sopan, kalem dan lembut juga civilise sekali, tapi pada saat tertentu bisa sangat tegas, tegar, berani, dan tanpa kompromi. Jika ada mengatakan bahwa para srikandi itu akan melulu bicara dengan bahasa cinta, hingga akan menjatuhkan pilihan tanpa logika yang kuat, serta penuh keraguan itu keliru. D.H. Lawrence, sastrawan besar dunia, yang adalah seorang pemerhati hidup dan kemanusiaan yang cermat, mengatakan, “ There are the woman who are cocksure, and the woman who are hensure. A really up to date woman is a cocksure woman, she doesn’t have a doubt nor a qualm...”

Menurut kategori D.H. Lawrence, wanita cocksure itu tipe wanita modern, punya kepercayaan diri yang tinggi, ketenangan dan kemantapan jiwa bak ayam jantan beneran. Bila ia berkokok di waktu subuh, itu karena tahu pasti fajar akan menyingsing...Ah ha! Daylihgt, of course, just as I said. Kemudian dengan gagahnya ia akan berjalan ke udara pagi yang terbuka, sambil memastikan, betinanya akan mengikutinya di belakang kemanapun ia melangkah dengan patuh dan timid-timid. Sementara yang bertipe hensure juga punya kepercayaan diri, terutama dalam kerja instinktifnya, mengerami telor dan menjaga anak-anaknya. Tapi ketenangan dan keyakinannya dirinya bersifat pisikal condition, bukan mental sureness seperti pada cocksure woman. Hensure woman sangat gampang terkejut dan ketakutan pada suatu yang datang mengancam dan menggangu.

Dapatlah dikonstatasi behwa perempuan tipe cocksure D.H. Lawrence itu, adalah tipe yang mendobrak dominasi budaya patriarki yang menciptakan dikotomi abadi di masyarakat, antara maskulin (laki-laki) dan feminim ( perempuan). Menurut aktifis perempuan Musda Mulia, maskulinitas dan feminitas itu sejatinya adalah hasil konstruksi sosial, bukan sesuatu yang bersifat kodrati. Buktinya dalam realitas sosiologis di masyarakat banyak juga laki-laki yang penakut, emosional, pemalu dan lemah lembut ( contoh pria metroseksual, pen). Sebaliknya cukup banyak perempuan kuat, berani , perkasa, pantang menyerah, rasional dan sangat tegar. Ringkasnya, menurut Musda Mulia, masyarakatlah yang membentuk laki-laki menjadi kuat dan berani, sedangkan perempuan dibentuk menjadi lemah dan penakut.

Para srikandi itu bukan saja perempuan up to date yang cerdas, berani, maju dan modern, tapi rata-rata punya kemampuan profesional dan pemikiran di atas rata-rata, dus, sudah tentu mereka sangat rasional sekali. Saya melihat mereka sebagi Athena-Athena, dewi kebijaksanaan Yunani, dewi perang dan strategi, serta dewi pelindung kota Athena. Dengan sendirinya mereka akan mampu untuk melihat dan menilai berbagai aspek kemampuan dari capim KPK untuk bisa lolos seleksi mereka. Dengan rasa dan kepekaan mereka, tentu akan bisa menetapkan mana yang pantas dan berkompeten menjadi pmpinan dan anggota KPK. Mungkin dari aspek legal skill dan intelektual, bisa dibaca dengan mudah dan secara kasat mata kemampuan calon dari track record dan konsep pemberantasan korupsi yang dipresentasikan, tapi dari segi kepribadian dan human skill, yang berdasar serta terkait dengan karakter, integritas, keberanian, ketulusan, kejujuran, rasa tanggung jawab dan human relationnya, disinilah diperlu hati seorang ibu atau kepekaan seorang perempuan untuk mendeteksinya.

Jadi sudah tepatlah Presiden kita yang baru, Jokowi dalam memilih timsel capim KPK yang kesemuanya perempuan urban yang pintar, cerdas, terpelajar, perduli, energik dan berwawasan luas serta berkebudayaan tentunya. Atribut-atribut kewanitaan pada umumnya memang selalu diidentikkan dengan keadaban dan kebudayaan, seperi sifat dan sikap bijak, sopan, lembut, halus dan peka pada norma dan nilai-nilai. Pokoknya dengan memfungsikan dan mengerahkan semua aspek maskulinitas serta feminitas yang ada di dada para Srikandi untuk memilih para komisioner KPK yang lebih baik, berani, dan jujur, maka kita bisa berharap di masa depan bangsa ini akan bebas dari prilaku korup dan serakah, minimal berkurang separohnya dan tidak merajalela seperti sekarang.



Selasa, 26 Mei 2015

KETERBUKAAN INFORMASI DAN KEGIATAN SENI BUDAYA

Tujuan negara yang utama adalah mensejahterahkan dan mencerdaskan rakyat, dalam pengertian ini meliputi juga terbebasnya rakyat dari kebutaan atau ketidak tahuan informasi yang menyangkut dan mempengaruhi hajat hidup mereka sekarang dan kedepan. Setiap kebijakan publik mulai dari perencanaan, pengorganisasian, kordinasi, hingga implementasi beserta audit anggarannya mesti melibatkan rakyat, paling tidak bisa terakses, atau bisa memberi masukan berupa gagasan dan ide-ide agar ada sense of belonging, dan rasa nikmatnya bernegara. Hal dijamin oleh UU tentang Ketebukaan Informasi Publik No. 14 Tahun 2014. Rakyat berhak tahu apa rencana besar pemerintah beserta besaran biaya dan waktu pelaksanan sampai selesainya sebuah program. Dengan begitu rakyat juga bisa merencanakan masa depannya dan merasa senang, karena tahu misalnya tahun depan atau dua tahun lagi akan ada jalan, jembatan atau infrastruktur baru di kota atau provinsinya. Atau bisa memastikan bahwa dengan sebuah program, BBM atau harga kebutuhan pokok tidak kan menari-menari atau melonjak-lonjak tidak karuan.

Point-point penting dalam UU tranparansi publik itu tsb adalah adanya kewajiban bagi setiap badan publik, eksekutif, legislatif maupun yudikatif untuk membuka akses bagi setiap pemohon informasi publik agar mendapatkan segala informasi yang perlu di ranah publik kecuali informasi yang bersifat rahasia negara dan hal-hal yang harus dilindungi demi kebaikan bersama. Termasuk melindungi hak paten seseorang dibidang Hak Kekayaan Intelektual (HAKI). Jadi ada hak warga negara untuk mengetahui dan punya aksessibilitas pada kebijakan publik yang bersifat luas dan umum, serta hak untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan publik. Tentu saja semua dalam rangka membangun penyelenggaraan dan pengelolaan negara yang baik dan bersih, efektif dan efisien serta akuntabel.

Jika negara mengklaim bahwa terjadi peningkatan investasi asing dan lokal, rakyat berhak tahu bidang apa saja, apakah menyangkut hajat hidup orang banyak seperti air, listrik, minyak, gas, batubara, emas, atau infrastruktur fisik dan sosial. Pokoknya apakah sumber daya alam tidak akan tambah tergerus dan terdegradasi. Apakah investasi lansung (Foreign Direct Investment) atau sekedar investasi saham yang rentan direpatriasi atau dilarikan. Lalu bagiamana kerja sama, atau bagi hasilnya, apakah pemerintah dan rakyat diuntungkan atau hanya sekedar penyedia fasilitas belaka yang kemudian pihak asinglah yang akan meraup keuntungan yang sebesar gunung. Jika dikatakan masalah peringkat hutang negara kelasnya dari kategori stabil menjadi positif, lalu apakah itu punya nilai significan bagi rakyat, artinya apakah ada jaminan bahwa pemerintah tidak akan berutang lagi kedepan, sehingga tidak merepotkan generasi mendatang. Jika ketahanan ekonomi meningkat, mengapa masih harus banyak mengimpor bahan kebutuhan utama hingga ketipu dengan masuknya beras plastik yang dianggap oleh salah seorang petinggi kita bukan masalah besar. Mesti ada penjelasan mengapa itu bisa terjadi, dan dimana ringannya masalah itu.
Walau telah banyak kantor pemerintah, RW atau Kelurahan yang mencantumkan aneka program dan kegiatan beserta rencana anggarannya, namun hal itu sangat minor, jika dibanding dengan masalah perlunya penjelasan secara luas dan menasional tentang mengapa para pegawai negri, TNI/Polri yang selalu harus dipikirkan kesejahteraannya dengan rencana menaikkan gaji hingga bulan 13. Sementara “colonial mentality’ belum ada tanda-tanda berubah, sehingga berimbas pada kerja-kerja pelayanan publik yang tidak smooth dan berbiaya tinggi. Dan juga bagaiman nantinya harga-harga kebutuhan pokok, apakah tidak akan semakin menggila akibat kebijakan renumerasi yang terkesan menyeruak begitu saja dari rumput alang-alang permasalah bangsa yang tumbuh subur dan meliar.

Okelah, setiap perubahan memang kadang menimbulkan ‘shock cultural’ dan perlu adaptasi, sehingga yang namanya keterbukaan itu tidak bisa langsung dipraktekkan pada segala masalah dan instansi. Tapi ada yang perlu juga digaris bawahi, bahwa pentingnya transparansi itu tidak hanya menyangkut program pemerintah an sich, tapi juga program dan kegiatan lembaga, organisasi swasta, atau masyarakat yang mendapat sponsor dan menggunakan uang negara. Pada program jenis kelamin yang begini juga harus bisa diakses oleh publik untuk dimintai keterangan dan pertanggung jawaban pelaksanaan dan penggunaan anggarannya oleh pemerintah maupun oleh masyarakat penyelenggara program dan kegiatan.

Dalam hal ini, banyak sekali pribadi, organisasi yang mengajukan proposal kepada kementerian, pemda untuk melaksanakan kegiatan di bidang sosial kemasyarakatan dan seni budaya yang tidak melaksanakan prinsip keterbukaan, hingga semua menjadi gelap bagi publik tentang hasil dan penggunaan dananya. Kebanyakan menganggap bahwa apa yang digiatkan bukan termasuk wilayah yang bisa diakses secara luas oleh masyarakat, karena berangkat dari gagasan pribadi dan kelompok, bukan pemerintah. Malah banyak yang menganggapnya sebagai usaha atau inisiatif pribadi demi kebaikan publik. Dan yang mau tahu tentang program dianggap salah kaprah, mau intervensi dan suudzon. Repotnya, pemerintah sering kali masa bodo pada realisasi kegiatan dengan tidak melakukan assesment di awal dan audit anggaran di akhir program. Pokoknya dana sudah terserap dan proyek berjalan lancar.

Dalam bidang seni budaya misalnya, banyak sekali muncul inisiatif atau passion untuk menyelenggarakan pentas seni pertunjukan, lomba kesenian, festival budaya, temu budaya atau promosi budaya, dsb, yang sejatinya rata-rata punya tujuan bagus, demi meningkatkan pengenalan, pengetahuan dan apresiasi pada kesenian, kebudayaan lokal ataupun nasional. Hanya saja dalam prakteknya, sering dilaksanakan tidak transparan pada soal relevansi dan signifikansi budaya atau bobot dan mutu seni yang ditampilkan. Secara managemen amburadul, kadang tidak terkordinasi, atau singkron dengan visi dan misi budaya pemerintah, masyarakat, atau semua stakeholder, hanya bermodal niat baik dan ambisi pribadi belaka. Sehingga semua terkesan ‘ asal jalan’ dan meriah belaka. Standar keberhasilan tak terukur, serta tak diketahuinya apa mamfaat langsung pada masyarakat dengan adanya kegiatan. Paling-paling yang muncul adalah kepuasan dan tercapainya tujuan-tujuan dan ambisi pribadi dan kelompok. Dan seringkali maksud dan orientasinya hanya berkisar pada pencapaian materi, popularitas, lebih banyak bersifat ‘ profit oriented’, bukan “ Value Oriented” atau dalam rangka mengangkat atau memperoleh suatu ‘Nilai-Nilai tertentu’ sebagai bagian yang tak tak terpisahkan dari visi, misi dan tujuan setiap program dan kegiatan seni dan budaya.

Sabtu, 16 Mei 2015

ALLAMUNGAN BATU DI LUYO DAN KONFLIK ATM

Dari dulu hingga kini, ada kecendrungan yang kuat dan luas dari berbagai komunitas, masyarakat, bangsa, kerajaan atau negara di berbagai belahan dunia untuk melakukan saling kontak, berkomunikasi, berinteraksi atau melakukan integrasi satu sama lain guna saling memperkuat dengan bekerja sama dalam bidang-bidang tertentu. Kontak bisa berupa kerja sama ekonomi dan perdagangan, dalam lapangan budaya dan kehidupan sosial, atau membuat perjanjian kerja sama pertahanan dan keamana untuk saling memperkuat. Pada jaman klasik, dan juga kontemporer, adanya aliansi, koalisi antar negara dan bangsa secara internasional, regiomal atau domestik adalah dalam rangka memelihara keamanan bersama serta menciptakan ‘Keseimbangan kekuatan ( Balance of power), sehingga tidak memungkinkan adanya kekuatan tunggal atau kolektif yang hegemonik dan imperialistik untuk memaksakan kehendak serta menguasai wilayah lain. Interdependensi antar bangsa dan negara-negara adalah conditio sine qua non di tengah ketidak pastian mondial, bahkan menunjukkan intensitasnya yang tinggi di era modern dan millenium ini. Perasaan saling tergantung dengan tujuan yang sama bersifat universal dan perlu. Sebuah integrasi akbar belum lama diperingati dan direvitalita di Jakarta dan Bandung, yakni Konferensi Asia Afrika.

Konsep ‘Integrasi’ dalam literatur digambarkan sebagai bergabungnya berbagai komunitas terbatas ke dalam komunitas yang lebih besar. Tak ada definisi yang eksak tentang konsep integrasi serta sifat sesungguhnya dari penggabungan dan kejelasan tujuannya. Juga tentang bagaimana aturan kebebasan atau kedaulatan negara-negara yang terintegrasi. Contoh integrasi di bidang kerja sama ekonomi di era modern adalah bergabungnya berbagai negara-negara Eropa ke dalam Masyarakat Ekonomi Eropa ( MEE) yang juga disebut Pasar Bersama (Common Market). Jelas bahwa tujuan bersama MEE adalah untuk memperkuat ekonomi kawasan dan mengantisipasi persaingan dengan kelompok kerja sama negara-negara lain atau negara dengan kekuatan ekonomi besar, seperti Jepang, China ataupun Amerika Serikat. Dalam lapangan militer kita kenal Pakta Pertahanan negara-negara Atlantik Utara (NATO). Sifat integrasinya lebih cair katimbang MEE. Lebih sebagai kerangka untuk negosiasi aliansi dalam rangka menghadang kemungkinan agresivitas aliansi lain. Semisal Fakta Warsawa yang beranggotakan negara-negara Eropa Timur di bawah komando Uni Soviet. Di kawasan lain kita mengenal NAFTA yang menyatukan negara Amerika Utara dan Selatan, APEC negara-negra di kawasan yang berbatasan lautan Pacific, ASEAN untuk Asia Tenggra, atau SEATO bagi negara-negara Persemakmuran ( Commonweath).

Di Mandar pada masa kerajaan juga telah terjadi berbagai integrasi, aliansi dan koalisi antar kerajaan dengan aneka tema dan tujuannya. Juga dengan nama atau istilah yang berbeda. Assitalliang Boco Tallu adalah persekutuan antara tiga kerajaan, Sendana, Alu dan Taramanuq. Integrasi itu diprakarsai oleh Puatta Disaragiang yang terjadi kira-kira di akhir abad ke 9. Rakyat tiga kerajaan berikrar sehidup semati, senasib sepenanggungan selaras dengan pinta leluhur. Ikrar Tammejarra I adalah integrasi antar enam kerajaan di Mandar minus Binuang, yakni Balanipa, Sendana, Banggae, Pamboang, Tappalang dan Mamuju. Di Tammejarra para maraqdia membuat ikrar yang antara lain bertujuan untuk saling memperkuat di bidang pertahanan dan keamanan. “ Madondong duangbongi, anna diang pole sara, na mappattumbiring litaq anna disulluqi tammala, diliqai tammala, diondongngi tammala, maqganna tomi tia tommuane, na maqosoang naung letteq ingga lekkoang, anna membereq di olona litaq ( Besok atau lusa ada bencana yang datang mengancam, yang akan menghancurkan negara, dan akan menjongkok tak akan terlalui, dilangkahi tidak bisa, dilompati tidak bisa, maka pada saat itulah sampai waktunya laki-laki patriot akan menanam kaki sampai ke lutut dan rela terkapar di pangkuan Ibu Pertiwi). Dalam teks ikrar Tammajarra I versi Sendana, ada disebutkan kerajaan Passokkorang yang dijadikan musuh bersama karena rajanya lalim dan sewenang-wenang.

Ikrar Tammejarra II yang berlangsung di abad 15, telah menyertakan kerajaan Binuang, sehingga menjadi Pitu Ba’bana Binanga atau tujuh kerajaan di hulu sungai. Dalam ikrar Tammejarra II ditegaskan bahwa ketujuh kerajaan adalah satu turunan dari Tokombong Diwura. Juga ditetapkannya bahwa bahwa Balanipa adalah ‘ Sambolangiq di Pitu Baqbana Binanga. Sambolangiq adalah sebangsa burung Elang yang tidak suka makan ayam dan selalu terbang tinggi. Sambolangiq adalah simbol Menteri Pertahanan dan Intelijen dalam sistem pemerintahan tradisional di Mandar. Misalmnya Matangnga adalah sambolangiq di Pitu Ulunna Salu. Limboro Rambu-Rambu adalah sambolangiq di kerajaan Sendana. Dipadatkan juga dengan penyebutan Amai Balanipa, Sendana jari kindoq, Banggae anaq tommuane, dan Pamboang anaq tobaine.

Di atas adalah integrasi yang bersifat ke dalam dan lebih ajeg dan panjang pengaruh dan akibatnya. Ada juga yang bersifat keluar dengan integrasi yang tidak bersifat budaya, tapi lebih bertujuan politis, pragmatis dan berjangka pendek. Assitalliang atau perjanjian di Lanrisang terjadi antara Balanipa dengan kerajaan Bone. Balanipa diwakili oleh Daeng Riosoq To Matindo di Marica, sedang Bone oleh Aru Palaka, To Malampek Gemmena. Perjanjian ini lebih merupakan perjanjian perdamaian, sekaligus pengakuan kedaulatan masing-masing. Ada juga perjanjian antara Pitu Baqbana Binanga dengan kerajaan Ajatappareng yang terdiri dari Sawitto, Alitta, Suppa, Sidenreng dan Rapang. Perjanjin ini untuk saling bekerja sama dan penegasan atas kesetaraan dan persamaan derajat dua konfederasi.

Sebagai puncak dan terbesar (Primus inter pares) dari berbagai perjanjian integrasi di Mandar adalah ‘Muktamar Luyo’ atau “ Allamungang Batu di Luyo” Pada Assitalliang ini hadir semua raja-raja PBB dan PUS yang merumuskan dan menetapkan suatu persatuan dan kerja sama yang berdimensi politik keamanan, ekonomi dan sosial budaya. Pertemuan akbar yang terjadi di tahun 1610 itu mengandung makna dan dampak yang luas serta mendalam. Sebuah koalisi permanen yang telah menjadi ‘Cetak Biru’ pembentukan provinsi baru di Nusantara ini, yakni Sulawesi Barat. Persatuan yang bermatra genealogis dan territorial yang nyata dan mempunyai akibat hukum, budaya dan politis yang kongkrit, bernilai idealis dan realistis, sekaligus pragmatis dan aplikabel. Kelemahan pada otonomi mutlak masing-masing kerajaan yang bergabung serta ancaman eskalasi kekuatan-kekuatan hegemonik kerajaan-kerajaan besar yang ada, telah disudahi dan diantisipasi dengan sebuah keputusan yang cerdas dan bijak, sehingga stabilitas intern ataupun kawasan ekstern bisa terjaga dan terawat. Di Luyo, PBB dipimpin oleh maraqdia Balanipia, Tomepayung, dan PUS dipimpin oleh Londodehata, yang biasa disapa Neneq Tomampu, raja Rantebulahan.

Allamungang Batu di Luyo telah menghasilkan sebuah monumen kesapakatan yang abadi berupa Ikrar yang berbunyi sbb : Ulu Salu memata di sawa, Baqba Binanga memata di peqarappeanna mangiwang. Sisaraqpai mata malotong anna mata mapute annaq sisaraq Pitu Ulunna Salu anna Pitu Baqbana Binanga. Sapala Tappere disolai (Pitu Ulunna Salu mengawasi musuh yang datang dari arah pegunungan, dan Pitu Baqbana Binanga mngawasi musuh yang datang dari arah laut. Nanti berpisah mata hitam dengan mata putih baru berpisah Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana Binanga. Satu tikar bersama).
Allamungan Batu di Luyo adalah manifestasi dari spirit atau etos persatuan dan kesatuan, persatuan dan demokrasi yang secara inheren tertanam di jiwa orang Mandar, di daerah PBB ataupun PUS. tdiak heran maka dalam perjanjian tersebut muncullah istilah Sipamandar atau Sipamandaq yang bermakna saling menguatkan, lalu menjelma menjadi kata “ Mandar” Allamungang Batu di Luyo adalah sebuah prestasi dan achievement genuine orang Mandar , juga sebagai pembuktian adanya peradaban tinggi masyarakat yang menjunjung perdamaian, demokrasi dan kemanusiaan. Jarang ada di Nusantara ini suatu aliansi yang mempunyai nafas panjang dan dalam, seperti perjanjian di Luyo tersebut. Monumen sejarah Mandar itu hingga era modern masih menentukan dan berpengaruh di dalam budaya dan konstellasi politik domesti maupun nasional. Ia tak bisa disepelekan apalagi dilupakan.

Seperti diketahui pada tahun 2003 sampai 2004 telah terjadi konflik di wilayah Aralle, Tabulahan dan Mambi (ATM) yang dipicu oleh masalah pembagian wilayah pasca pemekaran kabupaten Polewali Mamasa menjadi dua yakni kabupaten Polman dan Mamasa. Di sini tidak akan mengangkat fakta secara detail dan jumlah korban dan kerugian yang jatuh saat terjadi konflik komunal yang berdasar primordialisme itu, karena bersifat traumatik. Sebelum turunnya UU pemekaran, yakni UU Nomor 12 Tahun 2012, pada tahun 2001 muncul aspirasi warga masyarakat pada pemekaran kabupaten Polmas, yang menghasilkan kesepakatan bahwa nantinya Desa Bambang, dan Desa Tabang akan tetap berada di wilayah Polman. Dan kesepakatan itu telah diteruskan DPR dan pemda Provinsi Sulawesi Selatan ke pemerintah pusat. Tapi entah mengapa ketika turun UU NO. 12 ttg pemekaran, di sana diatur bahwa kedua desa tersebut masuk ke dalam willayah ATM Kabupaten Mamasa. Karena tidak sesuai dengan kesepakatan awal warga, maka konpflik berkepanjangan pun terjadi dan hampir saja merusak seluruh tatanan yang ada di wilayah PBB dan PUS.

Warga desa Bambang dan desa Tabang tidak mau masuk ke kabupatan Mamasa karena mereka masih terikat secara budaya dan psikologis dengan masyarakat dan budaya di PBB. Mereka masih merasa terikat dengan ikrar persatuan PBB dan PUS di Alamungan Batu di Luyo beserta nilai-nilainya yang terkandung alam ungkapan “ Sisaraqpai mata mapute annaq mata malotong anna mane sisaraqi Pitu Ulunna Salu anna Pitu Baqbana Binanga. Dan pranata sosial yang tercipta di masa lalu itu seperti abadi di jiwa mereka, sehingga menjelma jadi adat budaya yang mengikat untuk dipatuhi. Persatuan dan persaudaraan telah terinternalisasi dalam waktu lama, sehingga sulit untuk dimentahkan kembali atas nama efisiensi, efektivitas serta prinsip span of control managemen pemerintahan. Walau akhirnya permasalahan budaya tersebut telah bisa diatasi dengan pendekatan budaya dan kesejahteraan oleh aparat keamanan dan pemda setempat, namun hendaknya pemerintah pusat belajar dari kasus tersebut, akan pentingnya memperhatikan kearifan dan kekhasann serta aspirasi masyarakat lokal untuk tidak diabaikan begitu saja.

Membuat UU pemekaran atau apapun itu, hendaknya betul-betul adil dan tidak diskriminatif, serta memperhatikan aspirasi masyarakat adat seminim apapun bentuk dan suaranya. Ketika masyarakat Pro Mamasa atau yang Kontra telah sepakat pada pemekaran yang berdasar pada peta historis,sosial dan religi, dengan saling menghargai pilihan masing-masing, pemerintah malah menerbitkan UU NO, 12 Tahun 2002 yang tidak aspiratif dan sesuai dengan keinginan warga, maka terjadilah konflik SARA di ATM yang bersifat traumatik tersebut. Semoga tak terulang lagi kasus serupa di masa depan.



Senin, 11 Mei 2015

KEBUDAYAAN GALI LOBANG TUTUP LOBANG

Agaknya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa prosesi dan konfigurasi kebudayaan manusia di era millenium ini adalah intensifikasi dan diversifikasi kebiasaan “Gali lobang Tutup Lobang” manusia sepanjang masa. Sebuah manifestasi tipikal manusia yang suka petualangan, coba-coba dalam perilaku trial and error, merusak dan memperbaiki. Budaya tutup lubang gali lubang sepertinya bersifat genetik pada manusia. Dalam sejarah kebudayaan dunia diketahui kerap terjadi silih bergantinya pembangunan dan penghancuran kebudayaan akibat perang, suksesi dan rotasi kekuasaan secara intern atau dipaksaan dari luar. Perilaku vandalism kerap diperagakan sebuah rezim zalim pada sebuah bangunan kebudayaan yang luhur dan tinggi, lalu dibangun kembali oleh yang lain. Roma yang Agung pernah dibakar oleh kaisarnya sendiri yang berkarakter narsis, Nero. Padahal sebelumnya ia telah membangun kebudayaan dengan menggalakkan teater dan atletik. Para penakluk dan penjarah dari padang-padang gersang Asia Tengah, tentara mongol pimpinan Hulagu Khan meluluh lantakkan Baghdad hingga rata dengan tanah dan tak menyisakan artefak kebudayaan yang utuh, semua porak poranda. Tapi anak keturunan mereka berhasil membangun dinasti Moghul dengan ikonnya kaisar Akbar dan Taj Mahal, sebuah makan penanda cinta yang agung, besar dan tentu saja mahal.

Vandalisme kebudayaan sangat banyak bila diurut, sebanyak pembangunan peradaban dan kemanusiaan. Tegaknya eksistensi agama-agama monoteis di Timur Tengah di atas kepunahan kebudayaan Mani atau Zoroaster, adalah indikasinya yang nyata. Perambahan new frontier dengan mengabaikan batas-batas wilayah; border atau boundary oleh bangsa kulit putih, telah melenyapkan eksistensi kebudayaan tinggi Maya dan astec, serta kebudayaan Indian lainnya di sekujur Amerika. Di India, bangsa Aria membangun peradaban Hindu dan Budha setelah mengusir bangsa Dravida ke pojok selatan dengan meninggalkan bangunan kebudayaannya yang tak kalah tinggi di kota Mohenjo daro dan Harappa. Granada dan Alhambra kini tak berbekas di atas kebudayaan bola spanyol yang kini mendunia oleh dua ikonnya, Real Madrid dan Barcelona. Kebudayaan abad pertengahan yang agamis, emotif dan trancenden dijungkir balikkan oleh kebudayaan sekuler yang rasional imanentis.

Hanya di Indonesia kita bisa sedikit bernafas lega karena sirkulasi dan suksesi kekuasaan dalam sejarahnya tidak terlalu ganas dan menimbulkan dendam penghancuran kebudayaan. Buktinya, di antara ribuan Masjid yang ada di Nusantara, Candi Borobudur atau Prambanan tetap berdiri dengan megah. Istiqlal dan Gereja Katedral bisa berdiri saling berhadapan seolah selalu bersalaman dan bekerja sama membina para pemeluk teguh. Hanya Sutan Takdir Alisyahbana yang pernah mencoba teori diskontinuitas kebudayaan dengan menafikan kebudayaan Hindu dan merayakan kebudayaan Indonesia abad 20 sebagai titik tolak nasionalisme Indonesia. Belanda yang datang ke sini adalah para pedagang yang tak punya emosi dan selera budaya memadai, kecuali sedikit kalangan intelektualnya. Sehingga banyak khasanah budaya bangsa yang tak diobok-obok, sehingga terselamatkan. Para saudagar Belanda hanya berminat pada rempah-rempah dan komoditas yang laku di pasar Eropa saat itu. Bahkan Inggeris yang dianggap oleh Napoleon sebagai “Nation of Shopkeepers” lewat Gubernur jenderalnya telah membuat buku ‘ The History of Java’ dan meninggalakan kreasi sebuah kebun yang raya di Kota Bogor, sekitar istananya dulu.

Vandalisme Hulagu telah dilupakan dan telah dilakukan restorasi pada hasil kebrutalan mereka. Namun tentara Amerika yang melabrak Baghdad pada tahun 2003 telah melakukan pengrusakan lagi dengan menjarah benda-benda budaya di musium yang ditemuinya. Prilaku mereka yang seperti bangsa barbar sejatinya bukan buah dari kebijakan Amerika yang seolah tak perduli kebudayaan. Tapi itu adalah konsekwensi dari perang yang buta. Dari dulu sampai bad 20, perang pasti menyisakan penjarahan dan kebrutalan karena karakter perang yang keras dan meluapkan emosi chauvinistis atau etnosenrisme. Dua perang dunia, militerisme Jepang, perang Korea dan Vietnam telah meninggalkan tragedi kemanusiaan yang tiada tara akibat kebijaksanaan yang minus tilikan budaya dan kemanusiaan.

Perang sepanjang sejarah kemanusiaan adalah manifestasi libido kepahlawanan dan kekerasan di jiwa manusia. Jika perang dijalankan secara kolektive serta wujud penegakan martabat sebuah bangsa, dan itu sering tidak bisa dihindari karena kita tak bisa mengontrol faktor eksternal secara penuh. Maka maraknya kekerasan – fisik, simbolis dan sex- intern bangsa yang dilakukan orang tua, para remaja serta anak-anak adalah akibat kesalahan dan kelengahan policy pemerintah belaka yang seperti cuek pada keruntuhan moral serta nilai-nilai luhur sebuah bangsa. Kita tidak melihat bahwa kekerasan seksual oleh para pelindung anak-anak – Guru, orang tua, paman, saudara- adalah bukti sifat kebinatangan yang meluas dan tak terkendali. Apa yang dilakukan pemerintah dalam upaya menurunkan intensitas variable utama penyebab maraknya budaya kekerasan tampaknya masih setengah-setengan serta bersifat ‘ tutup lobang gali lobang’ Tak ada komitment yang kuat untuk mau menutup lobang-lobang kejatuhan secara sinambung dan permanen. Kebijakan tambal sulam dan tak tersosialisasi dengan baik tidak banyak untuk berpengaruh pada penurunan kasus aneka kekerasan di masyarakat, yang ada telah dianggap cukup memadai untuk itu. Maka kekerasan terus berkelap-kelip di ruang penglihatan nan merisaukan.

Bukti bahwa pemerintah tidak ‘ngeh’ pada kemorosotan moral tersebut adalah minimnya regulasi dan implementasi yang membatasi penayangan media cetak dan elekronik serta internet yang mengeksposure dan mengekspose kekerasan, pornographi dan prilaku tak nonoh lainnya secara bebas dan terang-terangan. Seorang pakar budaya Cyber, Rulli Nasrullah mengutip Carter and Weafer, telah mengidentifikasi empat karakter kekerasan yang tampil di media masa secara bebas, utamanya di televisi. Unpunished violence; kekerasan yang tidak mendapat ganjaran, seperti perilaku para geng motor yang senantiasa diulang-ulang dan tanpa sadar telah mengendap dibenak kaula muda akan absahnya prilaku tersebut. Painless Violence ; adalah kekerasan yang melihat faktor korban yang menderita akibat kekerasan para hero dan idola pemirsa. Dalam hal ini kekerasan dalm segala bentuknya telah ditoleransi oleh publik. Dalam film action, perang, Cowboy atau kisah pendekar lokal, para protagonis dilihat sebagai pahlawan yang absah untuk melakukan kekerasan dan pembunuhan dengan berbagai modus terhadap para penjahat. Tak perduli berapa jiwa manusia yang ditebas, ditembak atau dibakar sang hero, asal para antagonis kalah maka penonton akan bersorak sorai menunjukkn kepuasan pada kekerasan tersebut. Hukuman mati pada para penjahat beroleh legitimasi dan dukungan sosial. Dan kekerasan adalah sesuatu yang inheren dalam kehidupan jika ingin selamat. Makanya terhadap para istri yang dianggap jahat dan kasar, KDRT adalah sah.

Happy Violence adalah kekerasan yang menjadi sumber kesenangan, lucu dan menghibur. Anak-anak atau orang orang dewasa akan terpingkal-terpingkal melihat lagak-lagu Tom and Jerry yang saling jegal dan mengerasi satu sama lain. Pemirsa juga sering disuguhi oleh kekerasan dan kevulgaran para pelawak dalam berbagai cara dan gaya, verbal maupun dalam aksi. Pelawak yang disiram air dan lumuri wajhnya dengan tepung atau yang terjatuh karena didorong atau kesakita karena dipukul beneran semakin membuat asyik pemirsa lalu tertawa terbahak-bahak. Sedangkan Heroic Violence adalah kekerasan yang dibenarkan karena heroisme seorang protagonis. Good guy selalu benar, meski telah menempuh aneka kekerasan dalam menumpas para penjahat. Oleh effek psikologis dan emosional yang tercipta dari film-film atau sinetron yang penuh kekerasan, sering timbul keinginan dibenak penonton untuk ikut memasuki adegan lalu menghajar sang penjahat.

Para pengritik atas penomena kekerasan yang merebak itu umumnya menghubungkannnya dengan pengaruh kebudayaan asing, dalam hal ini barat. Proses globalisasi selalu jadi kambing hitam. Dalam hal tertentu mereka tidak salah, apalagi jika mendasari pandangannya pada banyaknya film action dan cowboy dari barat atau Amerika yang beredar di Indonesia. Dalam hal ini kita telah bersikap tidak adil pada kebudayaan luar dan bersikap mencari kesalahan orang lain saja. Ini tidak menyelesaikan masalah. Apalagi ada banyak produk budaya yang dipasarkan di sini adalah ‘garbage’ di negara asalnya. Tapi kita selalu beranggapan bahwa apa yang datang dari luar buruk dari budaya sendiri itu selalu baik dan tak perlu dikritik.

Jika kita jeli menonton film-film barat dan mencari hal tersirat dan tersuruk, di sana juga ada penolakan yang nyata pada kebiasaan-kebiasaan negatif. Bahkan dalam film cowboy Bonanza yang dulu sangat populer di negri ini, kita bisa saksikan karakter-karakter yang baik dari keluarga Lorne Greene. misalnya putranya, cowboy yang tidak suka minum alkohol, si Hoss Dan Blocker yang memesan kopi dalam bar yang penuh asap rokok dan aroma minuman keras. Bahkan ketika diikat ditengah padang pasir tandus yang membuat orang kehausan, ia digambarkan tak mau minum alkohol seperti temannya Charli yang sama-sama menjadi tawanan dan diikat oleh penjahat bersamanya. Kesetia kawanan cowboy sadar, Gary Cooper dalam High Noon yang mencari pembunuh sahabatnya yang dilinchyng, yang berkata pada ganster di bar “ When you call me that – smile - . Tapi dalam kembaranya untuk menuntut balas, tak lagi tertarik pada ‘ drama of combat serta duel satau lawan satu melawan ganster seperti pada masa dia di film The Virginian. Atau sifat bertanggung jawab John Wayne dalam Teror in Texas yang berhenti menjadi sherif karena tak bisa melindungi sahabatnya yang dibunuh penjahat.

Namun di sisi kebaikan serta sifat manusiawi para cowboy di film-film western, toch pemerintah Amerika Serikat di era presiden Kennedy, menganggap film-film tersebut adalah salah satu faktor perusak citra kebudayaan Amerika, terutama yang tayang di televisi. Newton Minow, ketua Federal Communications Commisions ( FCC ), -Komisi Penyiaran Amerika, pendahulu KPI di Indonesia - di era Kennedy, ketika berpidato di depan para broadcaster Amerika mengatakan, “ ...What will the people of other countries think of us when they see our western bad men and good men punching each other in the jaw in between the soothing? What will the latin American or African child learn of America from our great communications industry? We cannot permit television in its present form to be our voice overseas......I can suggest same words that should serve to guide you : “ Television and all who participate in it are jointly accountable to the American public for resfect for the special needs of children, for community responsiblity, for the advancement of education and culture, for the acceptability of the program material chosen, for decency and decorum in production, and for propriety in advertising..... Program materials should enlarge the horizons of the viewer, provide him with wholesome entertainment, afford helpul stimulation, and remind him of the responsibilities which the citizen has toward his society.”

Kesimpulannya adalah tak satu pun negara di dunia, dulu dan sekarang, lewat formal pemerintahnnya yang mentolerir segala bentuk kekerasan dan perusakan kesehatan sosial melalui media komunikasi dan informasinya atau media penyiarannya. Hanya kepentingan bisnislah sejatinya yang telah mendirtorsi citra positif media masa yang ada, berganti citranya yang negatif melulu. Demi rating, dus demi menggelembungnya pundi-pundi pemilik media dan para pebisnis, apapun kini bebas mengada di sana. Tenggelamlah fungsi edukasi, hiburan dan informasi media-media tersebut. Ketika pemerintah tak konsisten, adil serta objektif di bidang regulasi, tidak berani tegas pada pemilik media yang memang rata-rata politisi berpengaruh, maka media elekronik akan berpotensi besar menjadi penggali lobang kubur kematian kebudayaan, dan entah kapan bisa direstorasi lagi dan pulih.

Kita bisa menulis panjang efek negatif siaran televisi serta internet, disamping akibat positifnya, tapi untuk apa, karena sudah ratusan orang dan tulisan yang membahasnya di internet, koran dan majalah. Lebih baik saya angkat pengalaman seorang penulis naskah sandiwara, penulis dan novelis Amerika, Gore Vidal. Ia berhenti menjadi penulis naskah televisi karena melihat ekonomisme di sana telah begitu mengeksploitasi pemirsanya pada sesuatu yang palsu. Katanya, “ The advertisers make more money with junks; and since the right to exploit others in the interest of making money is the only right the average American would lay down his life, there will be little change in television,” Gore Vidal melihat iklan di televisi yang tidak sesui dengan kenyataan dan penuh rekayasa untuk menjebak konsumen, telah merebakkan karakter palsu secara meluas, yang disebutnya ‘ nasional tolerance of falsehood,’

Dengan iklan di media yang selalu mengusung ‘ heperrealitas’ atau realitas palsu, yang pertama kali dipelajari anak-anak tentang realitas sosialnya adalah “ kepalsuan” Mereka akan menganggap siapapun yang tampil di televisi, tak perduli ketulusan dan kejujurannya, sebagai suatu kepalsuan dan mereka tentu akan kehilangan sosok panutan secara permanen yang bisa tampil pada ‘ public scene’ Tentang hal ini Gore Vidal mengatakan, “ More often, once the children realize that the great industry is based on falsity, he will take it for granted that everyone and everything – at least on television- is just as false, and when the president of the united states succseds a commercial misrepresenting soap, he will take it for granted that the President is lyng too, in the interest of selling some political soap.

Kamis, 07 Mei 2015

KERJA SAMPINGAN PARA PROFESSOR

Sebagai seorang awam, dalam taraf tertentu penggemar musik dan pengamat seni budaya, lama saya mempersepsi sosok seorang professor dan aktivitasnya sebagai sosok dan kerja yang teramat serius, penuh disiplin, zakelijk, dan penuh totalitas. Juga melihat professor sebagai pribadi yang punya tradisi keilmuawan yang ketat dan etos kerja yang mumpuni. Dengan sendirinya berpikir juga bahwa pada hal-hal yang cair mengalir, tidak ketat dan dekat kepada seni atau entertainment, seorang professor akan cenderung emoh bahkan alergi untuk melakoninya. Terutama bila seorang professor itu dari bidang kedokteran atau seorang dokter yang dari sononya telah mendapatkan streotipe di masyarakat lumrah sebagai profesi yang serius dan dihindari; banyak orang yang takut ke dokter karena mengidentikkan dokter dengan jarum suntik, bau obat dan aroma rumah sakit yang tajam dan membuat pening atau mual.

Ternyata setelah sekian lama bergaul dengan para professor dan aktif mengikuti organisasi informal mereka, apa yang saya persepsikan selama ini salah, setidaknya melenceng jauh dari perkiraan semula. Dalam “ Altuser”, komunitas alumni FKUI tahun 1971, di mana tergabung para dokter yang rata-rata telah jadi professor, saya menyaksikan sendiri mereka juga menyenangi hiburan, gaya hidup relax dan santai, bahkan mengidolakan artis penyanyi lokal maupun dunia yang cocok dengan selera mereka masing-masing. Bernyanyi dan berdansa, bahkan dangdutan mereka lakoni dengan tidak main-main, malah cenderung menguasai pakem-pakemnya melebihi pemahaman entertainer beneran. Secara konsepsional, mereka tahu bagaiman bernyanyi yang benar, berdansa dan dangdutan yang menarik, tidak vulgar dan banal. Oleh kesungguhan mereka mengakrabi cultur pop tersebut, saya kini beranggapn bahwa para professor memandangnya sebagai ‘ Side Job’ atau kerja sampingan yang juga memerlukan perhatian ekstra dan melakoninya dengan bertanggung jawab. Dalam arti, mereka bermusik atau berkesenian secara “ amatir” bukan menjadi profesi yang banyak mendatangkan uang dan popularistas.

Pengetahuan para professos tentang lagu-lagu dan maknanya, jauh melampaui penyanyi-penyanyi beneran. Sejauh yang saya amati, jarang penyanyi atau mungkin tidak ada yang melagukan karya Claude Debusy, ‘ La Mer’ dalam bahasa aslinya, Perancis. Paling hanya tahu dalam versi Inggeris dengan judul ‘ Somewhere Beyond The Sea’ Dan Professor Zubairi Djoerban yang telah kerap melantunkan La Mer dengan penuh penghayatan dan apresiasi. Saya juga jarang mendengar penyanyi membawakan lagu Innamoratanya Dean Martin dengan baik dan paripurna, hanya prof. Endang Basuki yang mampu melakukannya dengan penjiwaan yang total dan tuntas.

Sebagai pemusik dan pemain band, saya tahu persis, jarang ada group band, apalagi band kontemporer yang tahu dan bisa menyanyikan dengan benar serta pener lagu ‘Homburg’ dari Procol Harun, atau ‘ Gone are The Song of Yesterday’ dari group lokal ternama, The Rollies. Dan dokter Soleh yang juga seorang komodor udara, mampu melantunkannya secara piawai, mendekati aslinya dalam artikulasi, penghayatan dan kualitas suara yang mumpuni. Mendengar dokter Soleh membawakan dua lagu legendaris tersebut, kita seperti dibawah terbang kejaman kejayaan kedua band raksasa itu dan membuka kenangan tentang suatu masa masa indah yang penuh romatisme dikala muda.

Jangan sekali-kali menyanyikan atau memainkan lagu-lagu standar secara salah dan tak mengikuti intro, interlude dan codanya secara tepat di hadapan Dr.Rodjak, pemilik RS dan Universitas Husni Thamrin, anda akan dikritik secara bertanggung jawab, karena beliau bisa memberi contoh melakoni hal-hal tersebut dengan gaya seorang virtuoso. Suatu kali saya memainkan lagu ‘The Way it Use to be’ Engelbert Hunperdink dengan coda plus backing vocal. Beliau mengkritik saya dengan mengatakan coda lagu tersebut tak menyertakan vocal tapi orkestrasi dengan penonjolan bunyi string, dan beliau benar.

Salah seorang anggota Altuser yang juga anggota The Professor Band pimpinan Gumilar Sumantri adalah prof Ikramsyah. Beliau ini paling suka lagu-lagu rock n roll utamanya I saw her Standing Therenya The Beatles. Lagu ini juga pernah dibawakan oleh beliau di acara ulang tahun Indosiar tahun 2009. Jika prof Ikramsyah melantunkan lagu-lagu rock n roll maka para altuser akan segera menjelma “ The Old Boys Society “ dan kembali terjun bebas kedunia lawas dan indah mereka di kampus, the Golden Times yang sepertinya tak pernah bisa diakhiri.

Lantas apakah dengan begitu mereka akan disebut kebarat-baratan dan pro seni pop yang dikarbit dan dibesarkan dunia industri. Mereka jauh dari pandangan ideologis, sempit dan sektarian tersebut. Kenyataannya mereka juga suka pada musik daerah atau etnik, keroncong bahkan dangdut. Setiap ada pertemuan atau perhelatan, mereka pasti juga menyertakan repertoire unik yang berdasar pada budaya sendiri. Professor Suparmanto, ketua komunitas ‘Altuser’ paling suka menyanyikan lagu-lagu keroncong atau langgam, bahkan pernah menjadi anggota sebuah group keroncong sebagai pemetik bas betot. Prof Zubairi kerap menyanyikan Sekumtum Mawar Merahnya Elvie Sukaisih dan juga Kisah Kasih di Sekolah versi dangdut ciptaan Obbie Mesakh.

Jika anda melihat sendiri cara dokter Soleh melantunkan Sisa-Sisa Cintanya Ona Sutra, maka pasti tidak bisa membedakan antara dokter Soleh sebagai dokter dengan penyanyi dangdut. Cengkok-cengkok serta emosi dangdut yang penuh rasa kecewa dan rasa mengasihani diri sendiri hadir di sana. Sering mata dokter Soleh pun meram-melek seperti dangduters asli yang menghayati rasa sakit kaum marginal yang melampias dalam setiap lagu dangdut. Hanya pada lagu Sakitnya tuh di sini Cita Citata, para dokter yang menyanyikannya secara keroyokan, kesan menderita itu hilang, karena dinyanyikan dengan gaya guyon serta main-main. Sekedar wujud dari rasa solidaritas pada dunia perdangdutan dan juga media untuk menyalurkan beban ruitinitas kerja mereka yang tidak sembarangan seriusnya, sekaligus membina keakraban antara sesama komunitas dalam lagu dan bergoyang.

Jacques Barzum, seorang musicology pernah mengatakan “ What makes music and painting populer avocations today is that they are not the apanage of a group, class or profession “ Hal ini dikatakan Barzum melihat realitas di jamannya di mana amatirisme di bidang seni begitu luas dan merebak, yang disimbolkan dengan kenyataan dua presiden Amerika Serikat adalah seorang pelukis dan pemain piano yang bagus. Dan kini di Indonesia juga mengalami era di mana beberapa presidennya adalah seniman atau budayawan. Gus Dur adalah seorang penulis dan pengamat seni budaya yang handal, pernah menjadi Ketua Akademi Jakarta, presiden SBY adalah mantan pemain band, penyair dan pengarang lagu yang piawai. Sedangkan Jokowi adalah penggemar berat musik metal atau rock, terutama, Metalica.

Morris Weitz yang mengusung konsep terbuka tentang seni mengatakan bahwa rumusan-rumusan apapun tentang seni sudah tidak memuaskan lagi. Credo kaum romantik yang menganggap kesenian sebagai “ penuangan emosi manusia yang sedalam-dalamnya” dengan ciri yang sangat individualis tidak cocok lagi dengan selera manusia kontemporer yang pernah mengalami trauma dua perang dunia yang menghancurkan. Dalam pandangan Weitz , individualisme dan prinsip “ Seni untuk seni” telah membuat seniman sombong dan tak perduli pada sesama dan lingkungan. Seni menjadi ekslusif dan senimannya memisahkan diri dri masyrakat lantas mondok di menara gading serta menjauhkan diri dari masalah-masalah sosial. Singkatnya seni tidak lagi bisa dibatasi dengan kriteria-kriteria yang maunya mentotalisasi dan bersifat universal. Seni adalah ‘ruang terbuka luas’ yang memberi kedamaian, kesejukan dan keindahan kepada siapapun tanpa keculi.

Keculai bagi komunitas dan agama tertentu, seni juga tidak lagi dikaitkan dengan dewa-dewi. Seperti dalam konsepsi Jawa Kuno yang menghadirkan dewi keindahan dalam aneka perwujudan; Kama, Saraswati, Girnatha atau Parwata Rajadewa. Bahkan bagi kaum realistis, musik juga tak ada hubungannya dengan iblisi bernama Lucifer yang dikaruniai Tuhan dengan talenta besar bermusik tapi menyalahgunakannya dengan mengajak orang menjadi penghujat Tuhan. Konon setelah lucifer diusir Tuhan dari surga, dia telah menghasut banyak manusia untuk berbuat dosa dan melupakan Tuhan. Salah seorang musisi pengikut Lucifer adalah Marilyn Manson yang berguru pada pendiri Gereja Satan, Anton Lavey. Lirik-lirik lagunya rata-rata menghujat Tuhan serta rajin mengajak jiwa-jiwa ke pondok iblis, terutama dari kalangan pemusik dan penggila musik rock ; rock n roll, hard rock, underground, metal, trash metal, dsb.

Harus dipahami bahwa yang disampaikan ini adalah sebuah sudut pandang saja, yang berbeda dari dari pilsafat seni untuk seni, seni sebagai ekspresi individual, atau seni sebagai perwujudan ke-Maha Indahan Tuhan. Kenyataan merebaknya amatirisme seni secara meluas kini adalah bagian dari perubahan cara pandang pada seni pada umumnya yang terjadi akibat ekonomisme atau kecendrungan populisme para petinggi atau elite masyarakat. Bahkan para seniman betulan juga sudah pada ragu untuk tetap bertahan pada pandangan bahwa seni adalah sesuatu yang agung, idealis, dan hanya milik kaum berbakat dan terpilih belaka. Batas-batas seni tinggi atau yang bukan sudah nyaris jebol. Yang tersisa adalah bahwa seni atau musik adalah bagian dari ekspresi kemanusiaan, persahabatan dan dan cinta, sepeti semangat lagu yang professor Ganesha Harimurti sering nyanyikan, “ Looking Trough The Eyes of Love”.

Sabtu, 02 Mei 2015

TRAGEDI HUKUM DAN HUBUNGAN KPK - POLRI


Membaca artikel budayawan Jacob Sumardjo di Kompas Sabtu, 2 Mei 2015, yang berjudul ‘ Badak-badak’ terasa sungguh menggelikan sekaligus mengharukan. Betapa tidak, banyak manusia sekarang diibaratkan bak sekumpulan badak yang punya libido nafsu kekuasaan yang besar, kuat tak terbatas serta cenderung merangsek, menyerang sekeliling dengan membuta tuli, tegak lurus, kaku dan berkacamata kuda yang hanya punya pandangan satu arah. Jacob Sumarjo mengembangkan ide Eugene Ionesco dari dramanya ‘ Rhinoceros’ yang menggambarkan tentara Nazi-Hitler yang telah memporak-porandakan Eropa karena prilaku predatornya yang menyeruduk kesana-kemari pada yang mencoba melawannya, bak sekumpulan badak liar yang mengamuk.

Lebih lanjut Jacob Sumardjo bertanya dan menjawabnya sendiri,” Mengapa manusia bertransformasi menjadi badak? Karena cara berpikirnya, dan karena filosofinya. Kalau mau tetap hidup, manusia harus kuat, tidak boleh lemah. Hukum kasih sayang dan harmoni itu membuat manusia lembek seperti ayam sayur. Manusia harus kuat seperti badak. Badak adalah hewan terbesar kedua setelah gajah. Gajah meskipun besar, tapi gak lembek. Badak adalah segalanya untuk menjadi manusia penguasa. Kulitnya tebal dn keras seperti tank baja. Wajahnya juga tebal maka tanpa emosi.

Transformasi manusia menjadi badak sejatinya telah divisulisasi oleh Nietzsche, pemikir mbeling Eropa yang pernah mengatakan ‘ Tuhan telah mati’ Dengan munculnya nihilism dan alienasi pada manusia, ia lalu bermetamorfosis menjadi manusia ‘ Superman’ akibat perasaan insignifican dan directionless yang dirasakannya dalam menghadapi kekuatan-kekuatan sosial politik yang tak bisa dihadapi dan ditanggulangi lagi dengan pikiran waras dan hati bening. Dan itu bermanifestasi pada sosok Hitler dan Nazisme yang narsis, rasial dan super agressive.

Usai perang dunia pertama, Jerman memang harus menanggung malu dan harus membayar hutang yang sangat besar sebagai konsekwensi sebuah bangsa yang kalah perang. Apa yang bisa diperbuat jika industri dan perekonomianpun telah hancur dan luluh lantak karena perang. Maka muncullah Hitler yang memanipulasi keadaan sengsara itu dengan pidato-pidatonya yang dahsyat agar rakyat Jerman yang terpuruk mau kembali percaya diri dan menjadi bangsa besar dan berkuasa di Eropa dan dunia. Dengan retorikanya yang hebat dan ampuh, Hitler menghasut bangsanya untuk memproklamirkan diri sebagai bangsa atau ras termurni di Eropa sebagai ‘Aria yang agung’. Bangsa Jerman harus menjadi supreme dan superior di atas bangsa-bangsa lain, ‘Deutchland Uber Alles’. Lantas berubahlah bangsa yang punya rasional dan budaya tinggi itu menjadi badak-badak ( Rhinoceros) kemudian melakukan ‘Blitzkrieg’ keseluruh penjuru Eropa, serta melakukan pembasmian bangsa Yahudi (holocaust). Karena ulah Hitler dan Nazisme yang membabi buta seperti badak itu, lagi-lagi mereka mengalami kekalahan dan kehancuran.

Dalam hal ini Hitler dan Nazisme telah menjadi makhluk-makhluk Prometheus yang membangkang para dewa Yunani untuk membuktikan otonomi, kebebasan dan martabat mereka, tapi gagal total. Konon Hitler mati bunuh diri sebelum ketangkap. Inilah yang disebut oleh Arthur Miller sebagai ‘Tragedy’, “ ....tragic feeling is evoked in us when we are in the presence of a character who is to lay down his life, if need be, to secure our thing- his sense of personal dignity....From Orestes to Hamlet, Medea to Machbet, the underlyng struggle is that of the individual attempting to gain his ‘ rightful’ position in his society...sometimes he is one who had been displaced from it, sometimes one who seeks to attain it for the first time, but the fateful wound from which the inevitable events spiral is the wound of indignity, and its dominant force of indignation. Tragedy, then, is the consequense of man’s total compulsion to eveluate himself justly”

Arthur miller sendiri membuat sebuah drama tragedi yang melibatkan orang-orang biasa dalam kehidupan. Bukan perseteruan hidup mati yang penuh pertentangan dan kesedihan antara para hero melawan penguasa, manusia setengah dewa versus dewa- dewa seperti dalam tragedi-tragedi Yunani yang berdasar pada mitologi. Dalam karyanya ‘ The death of a Salesman’ Arthur Miller menceritakan seorang ayah yang ngotot membentuk kehidupan dan karir anak-anaknya, tapi tak satupun yang mau atau berhasil menjadi seperti yang dinginkan oleh sang Ayah. Tak satu dari dua anaknya yang berkehendak jadi salesman atau usahawan sukses yang bergelimang harta dan kekuasaan sebagaimana yang menjadi mimpi orang-orang Amerika atau ‘ Amerikan Dream’

Mimpi sang salesman yang ngga kesampaiaan itu karena anak-anak yang menentang plot kehidupan sang ayah bagi mereka, akhirnya membuat sang salesman bunuh diri dalam kecewa dan kesedihan yang sangat. Sang ayah lupa bahwa anak-anaknya juga punya mimpi yang lain, yakni menggapai cita-cita dan ideal hidup mereka sendiri berdasar pada kebebasan dan individualitas. Sebuah mimpi Amerika yang lain dan baru seperti yang dirumuskan oleh William Faulkner, “ A dream simutaneous among the separate individuals of men so asunder and scattered as to have no contact to match dreams and hopes among the old nation of the old world which existed as nation not on citizenship but subjectship, which endured only on the premise of size and docility of the subject mass; the individual men and woman who said as with one simultaneous voice; ‘ We will establish a new land where man can assume tha every individual man – not the mass of men but individual men- has in alienable right to individual dignity and freedom within a fabrie of individual courage and honorable work and mutual responsibility.”

Dalam hubungan KPK-Polri yang terus saja bermasalah dan menimbulkan berbagai tragedi kemanusiaan di negeri ini; persangkaan, penangkapan, pemecatan atau kriminalisasi, saya tidak tahu siapakah yang telah berperan sebagai Dewa, siapakah yang lebih mirip manusia Prometheus yang mencuri kotak pandora. Harusnya institusi Kepolisian yang menjadi dewa karena ia lebih dulu hadir di republik ini sebagai lembaga penegak hukum katimbang KPK , dan juga polisi kan punya anggota dan perlengkapan seabreg-seabreg, sehingga menjadi powerful dan maha kuasa seperti dewa. Tapi dalam kasus-kasus yang terjadi, justru polisi dan para pendukungnya yang telah menganggap orang-orang di KPK sebagai makhluk setengah dewa, sebuah lembaga super body yang nyaris menjadi monster atau dewa perusak kepentingan dan mimpi mereka.

Dalam hal ini, saya tak akan memandang sepenuhnya, perseteruan KPK-POLRI sebagai sebuah ‘tragedy’ ala Arthur Miller, tapi akan melihatnya sebagai sebuah ‘Puisi’ kehidupan yang menyiratkan pesimisme dan optimisme sekaligus. Dan sebuah puisi yang bagus tidak akan mendikte pembacanya dengan banyak penjelasan tentang moral, action dan makna yang terkandung dalam puisi, karena itu akan menurunkan integritas puisi itu sendiri. Biarkan puisi itu menjelaskan dirinya sendiri dengan menyimak semua action yang terkandung di dalamnya. Penangkapan Abraham Samad, Bambang Widjoyanto, dan kini Novel Baswedan dengan persangkaan yang terjadi di masa lalu, sebagai imbas dari ditetapkannya Budi Gunawan sebagai tersangka kasus korupsi oleh KPK, Sejatinya tela berbicara banyak tentang apa makna dibalik semua itu. Apalagi dengan komentar tajam dan terbuka Presiden Jokowi agar polisi tidak nelakukan kontroversi di tengah masyarakat, dan agar proses hukum penangkapan Novel dilaksanakan secara adil dan transparan.

Tapi tragedi sesungguhnya yang terjadi di negri ini menimpa hukum itu sendiri yang telah sekian lama berada dalam ketidak pastian akibat putusan hakim Sarpin. Kini, setelah turunnya putusan Mahkamah Konstitusi yang membuat norma hukum baru bahwa penetapan tersangka bisa dipraperadilankan, maka peran hukum sebagai penegak ketertiban, keadilan dan kepastian di masyarakat telah mati suri. Mahkamah Konstitusi harusnya membatalkan produk hukum yang tidak sesuai dengan konstitusi atau Undang-undang Dasar 45, dimana dikatakan dengan tegas setelah amandemen bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, bukan sekedar berdasar pada hukum. Apakah pasal 77 KUHAP menyalahi UUD? Atau jika ingin dirubah, mengapa terkesan mendukung atau ingin mengakomodasi mereka yang telah dan akan meminta mempradilankan persangkaan tindak pidana atas dirinya.

Maka benarlah apa yang pernah dikatakan oleh mantan ketua MK, Mahfud MD bahwa dalam kenyataan justru sangat banyak kasus di mana hukum sangat bergantung dan ditentukan oleh kekuasaan. Lasalle malahan berpandangan bahwa konstitusi suatu negara bukanlah UUD yang sebenarnya hanya merupakan secarik kertas, melainkan merupakan hubungan kekuasaan yang nyata, orang kecil bisa menjadi bagian dari konstitusi hanya kekecualian dan dalam keadaan luar biasa, yaitu pada waktu revolusi. Dalam konteks Indonesia, tentu yang dimaksud pada waktu revolusi kemerdekaan.

Nah, tragedi kematian hukum yang terjadi di negri ini, berpotensi menyebabkan munculnya tragedi-tragedi kemanusiaan, korupsi merebak, penyelewengan dan kejahatan berkecambah. Munculnya manusia-manusia badak adalah akibat ketiadaan hukum. Nihilisme adalah kata lain dari ketidak bertujuan yang muncul dari pengingkaran terhadap hukum. Anarkisme yag terjadi dibanyak tempat negara ini adalah imbas dari ketidak berwibawaan hukum. Tragedi Trisakti, Sampit, Ketapang, Ambon dan Poso adalah produk dari ketidak pastian dan kemerosotan hukum serta legitimasi pemerintah yang lemah.
Shakespeare mengatakan bahwa dunia adalah panggung sandiwara ( the word is a stage). Untuk mencegah agar drama kehidupan tidak tenggelam dalam aneka tragedi yang menyedihkan maka hukum tidak boleh mati atau mengalami tragedi. Hukum harus abadi, tak berubah-ubah dan sesuai akal sehat atau rasional. Abadi artinya bahwa alat pemerintahan tidak sewenang-wenang membatalkan hukum yang telah terbukti bermamfaat, atau menambah hukum yang tidak perlu. Tidak berubah-ubah artinya tidak berubah dari hari ke hari, tempat ke tempat. Rasional artinya dapat diramalkan ( predictable) dan sesuai kenyataan, keadilan dan kebenaran.