Selama ini pemahaman kita sebagai muslim awam tentang puasa dan idul fitri adalah bersifat linear dalam konteks sebab akibat. Jika kita berpuasa berdasar pada iman yang teguh dan secara isitiqomah memegang syarat-syarat sah dan diterimanya (qabul al amal ) puasa, dan dlaksanakan sesuai syariat (ashwabuha) dan dilakukan dengan ikhlas (akhlasuha), maka di ujung ritual wajib itu kita akan sampai pada diri yang fitri, yang sejati, pada makam awal kehidupan, sebagai makhluk suci bak bayi baru dilahirkan. Dengan berjuang menahan hawa nafsu lahir maupun batin, maka diharapkan kita akan jadi pemenang, arti merdeka dari penjajahan setan dan kecendrungan diri yang yang rendah. Bukankah itu adalah sifat dan kondiri anak bayi yang putih bersih bak kertas belum ditulisi, belum berkalang dalam lumpur salah dan dosa. Dan Tuhan telah berjanji untuk membalas secara setimpal kepada sang pemenang.
Tapi salah satu makna baku yang telah berurat-berakar di benak milyaran muslim itu kini menghadapi serbuan makna lain. Beberapa pakar mengatakan bahwa tak mungkin manusia akan tertebus dosanya dengan cara apapun, pun dengan jalan berpuasa yang sah dan berserah. Bahkan ada yang mengatakan bahwa pemahaman muslim akan kembali kekesucian di ujung puasa adalah ‘salah’. Di alur pemikiran ini dikatakan bahwa jika idulfitri maknanya begitu, maka merupakan justifikasi teologis bagi para pelaku korupsi dan jahat oleh banyak muslim di negara ini. Lantas si pakar yang bernama Sukidi yang sedang belajar di Amrik itu menyarankan untuk menelaah kembali makna sublim idul fitri yang telah banyak memberi harapan muslim keblinger akan adanya Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, lagi Pemaaf ( Kompas, 5 Juli 2016, Sukidi dalam ‘ Merenungkan Kembali Makna Idul Fitri.
Tentu saja sabagai muslim awam, saya tak tahu persis perihal mana makna sejati dari puasa dan idul fitri. Kebanyakan orang juga hanya bersifat ‘sami’na wa atha’na’ kepada para mujahid dan pakar Islam selama berabad. Lagian memang agak riskan untuk terlampau PD menyangka diri sendiri telah suci. Kendati saya tak menguasai bahasa Arab, apalagi kalam Tuhan dalam Al Qur’an. Namun saya faham kecendrungan budaya dari agama-agama. Sejatinya apa yang dikatakan benar dalam agama oleh para mujahid sekalipun, adalah kebenaran tentatif belaka. Jika Tuhan telah memberi kata putus dan makna final dalam masalah duniawi dan ukhrawi, maka untuk apa Tuhan menyuruh manusia memakai otaknya, memutar kepala dan senantiasa ‘ Iqra’. Bukankah dalam Qur’an sendiri ada ayat-ayat bermakna pasti dan jelas ( Muhkamat) dan ada yang samar-samar ( Muhtasyabihat).
Betul bahwa kaum sebelum Islam juga berpuasa yakni kaum Yahudi dan Nasrani. Seperti yang dikutip Sukidi, bahwa menurut Arthur Jeffery ‘id berasal dari bahasa Suriah. Ida bermakna ‘Hari Raya’ dan lebih spesifik dalam tradisi Kristen, sebagai ‘hari raya liturgi’. Pokoknya Id di jaman sebelum Islam bermakna Hari Raya. Dan wa bil khusus, oleh Sukidi dengan mengutip Ali Mustafa Ya’qub, idul fitri telah dimaknai sebagai ‘ Hari Raya Makan’, karena makna al-fitr itu sendiri adalah makanan.
Jika semua pengertian dalam agama atau non agama selalu dikembalikan pada arti harafiah atau bahasanya, maka kita pasti akan repot memikirkan terus semua istilah-istilah yang telah dianggap baku di sana. Orang Islam dan Kristen sama-sama menyembah zat yang bernama sama, Allah Sang Maha Pencipta. Tapi tentu saja Allah bagi muslim beda dengan Allah atau Alah bagi kaum Nasrani secara substansial. Konon kata Allah dalam bahasa arab sekerabat dengan bahasa Semit. Orang Aram menyebutnya Elah. Orang Kanaan El, sedang orang Ibrani bilang Elohim. Tentu maknanya akan saling berbeda satu sama lain. Bagi kita kaum muslimin, Allah adalah yang Maha Esa dan mutlak adanya, dan senantiasa harus berpegang teguh pada Tauhid. Sedang bagi kaum kristiani ada yang membagi Allah sebagi bapak, putra dan roh kudus.
Saya tak tahu apakah Sukidi atau buya Syafii maarif benar atau keliru, yang juga berpandangan senada, dan menganggap makna kembali suci adalah rancu. Bisa saja secara ilmiah kebahasaan idul fitri bermakna ‘ perayaan berbuka puasa’. Akan tetapi di sini saya akan mengutip kata seorang Karen Armstrong “ Salah satu alasan mengapa agama tampak tidak relevan pada masa sekarang adalah karena banyak diantara kita tidak lagi memiliki rasa bahwa kita dikelilingi oleh yang gaib. Kultur ilmiah kita telah mendidik kita untuk memutuskan perhatian hanya kepada dunia fisik dan material yang hadir dihadapan kita. Metode menyelidiki dunia seperti ini memang telah membawa banyak hasil. Akan tetapi, salah satu akibatnya adalah kita, sebagaimana yang telah terjadi, kehilangan kepekaan tentang yang spritual atau suci.....”.
Memang sejatinya pengalaman kerohanian puasa dan idul fitri telah lama hilang dilubuk jiwa banyak muslim. Sehingga mereka menyambut dua momen ibadah sublim itu dengan membayangkan makan enak di waktu berbuka dan pada hari raya Idul fitri. Pantas aja harga daging membumbung trus setiap mau puasa dan lebaran. Dan mal-mal atau KFC dan yang sejenis dipenuhi oleh nak muda atau rang tua muda hanya untuk sekedar melampiaskan nafsu makan dan konsumtifnya atau hasrat pamernya yang menggebu dalam soal materi dan kemampuan. Padahal semua itu harus kita sambut dengan sikap Tasyakur dan Tafakkur.
Jika idul fitri dimaknai hanya sekedar sebuah festival of fast breaking, untuk apa muslim bercapek-capek melakukan puasa selama sebulan penuh yang disertai dengan segala teraweh setiap malam dan tadarusan, atau mengeluarkan infak dan sedekah serta zakat yang tidak sedikit. Paling tidak muslim telah mencoba melatih dirinya untuk mencapai tujuan-tujuan positif keduniawian, andai toch tujuan kesucian atau ketaqwaan itu meleset. Dengan berpuasa yang berujung pada idul fitri, seorang muslim telah dilatih Allah menjadi seorang yang peka, pedulian, terutama pada nasib kaum miskin yang kerap tidak makan berhari-hari, dan menjadi penguasa atas perutnya sendiri yang jika dimanjakan bisa menjadi sumber aneka penyakit.
Dan jika toch idul fitri oleh sementara muslim dimaknai sebagai hari raya makan atau pesta makan, maka tentu segala ketupat, buras, ayam daging, dan kue-kue yang dibuat dan dihidangkan di sana bukan untuk disantap dan gembul sendiri, tapi untuk para tetamu yang datang bersilaturahmi, terutama para kaum duafa. Salah dong jika justru orang berpunya yang diberi hidangan enak. Buras dan lauknya untuk mereka, sementara tetangga atau kerabat yang miskin hanya dihidangkan kacang, kue nastar dan minuman kemasan plus angpau uang recehan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar