Minggu, 19 Januari 2014

CINTA DAN BENCI

Sejak masih di sorga manusia telah dilanda oleh gelombang pertarungan cinta dan benci atau cemburu. Cinta Tuhan pada Adam yang memuliakan martabat dan tempatnya di firdaus, sebuah pemukimam mewah, nyaman, indah dengan fasilitas lengkap dan gratis, membuat syaitan cemburu. dalam hatinya dipenuhi rasa benci. Takdirnya yang berdiam diwilayah kumuh secara spiritual, menempa tekadnya untuk menjerumuskan Adam dan Hawa dengan lantunan bujuk rayu yang membuai dan membius sehingga Adam mau mengkonsumsi buah yang telah diwanti-wanti Tuhan untuk tak didekati, apalagi di mangsa.
Akhirnya Tuhan pun menggelandang pasangan asyik masyuk itu untuk turba ke dunia asing dan gersang, di bumi, tepatnya di padang arafah. Di pembuangan ini bakat rasa cinta dan benci Adam juga Hawa yang terinternalisasi sejak di sorga justru kian berkembang dan menjadi-jadi lantas menitis pada keturunannya. Peristiwa terbunuhnya Habil oleh Qabil adalah episode lanjutan yang mempertontonkan teater cinta dan benci yang berseteru. Habil tak boleh terus hidup dengan rasa cinta saudara perempuannya yang cantik, karena kasih tulus habil yang dibuktikan dengan kesungguhannya memberi korban yang benar dan baik. Qabil yang mengubur mayat Habil karena inspirasi burung, mungkin adalah simbol atau genesis pertarungan jagoan versus bandit yang diawal-awal cerita dimenangkan bandit, kemudian dengan datangnya para Jagoan, sebagai personifikasi dari kebaikan, telah membuat para bandit dengan segala sifat buruknya yang dibeli dari syaitan, mulai memberi ruang bagi kebaikan dan mau turut dalam arena perlombaan adu lari dengannya, di mana mereka itu saling susul, kadang kebaikan di depan, dan kadang di belakang keburukan. Begitu seterusnya sampai akhir zaman, karena menusia sejatinya ada diantara dua jemari Tuhan, Kemulyaan dan Kemurkaan-Nya.
Sejarah penaklukan antar ras dan bangsa yang tak berkesudahan sejak jaman paling baheula, adalah sejarah persaingan rasa Cinta dan Benci. Oleh sifat xhenobia, chauvisnistis yang dipicu oleh rasa iri, cemburu, benci dan dendam Hitler pada kelebihan bangsa Yahudi dan separuh dunia yang menghukum bangsanya karena sifat agresornya sendiri, Hitler dengan sembotan “ Deutchland Uber Alles,” sebagai buah rasa superioritas bangsa Aria, tega membunuh lebih dari 20 juta anak manusia secara langsung maupun tidak langsung. Belum lagi riwayat Stalin yang dengan mengeksploitasi dan mengatas namakan rasa benci kaum proletar terhadap kaum kapitalis, telah membuang dan membunuh jutaan anak manusia ke kepulauan gulag, kamp-kamp konsentrasi di Siberia.
Langkah perubahan sejarah sesungguhnya bisa beredar disekitar rasa cita dan benci. Kita bisa berasumsi bahwa penaklukan Mesir oleh Romawi dengan segala romantikanya tak bisa dilepaskan dari kisah cinta Julius Caesar dengan ratu Mesir, Cleoptara. Hal ini pulalah yang mungkin membuat Brutus iri dan benci kepada Caesar, lalu mefitnah dan membunuhnya. Latar terang realitas ini dapat dibaca dalam drama karya William Shakespeare, “ Julius Caesar” Pasca aneksasi dan penaklukan Roma atas Mesir, mengalirlah semua aspek kebudayaan Mesir ke Roma. Saat itu mereka seperti mengabaikan mitologi mereka lalu berselingkuh dengan Dewa-dewi Mesir. Isis dan Osiris. Bahkan menjadi mode dan teladan bagi warga Roma, terutama kaum wanita. Kuil-kuil dan patung-patung berhala untuk memuja Isis dewa musik, didirikan. Di pusat-pusat kota Roma, orang berkeliling, dalam prosesi karnaval sambil mengumandangkan dan menggemakan musik Mesir yang didominasi oleh seruling atau Sistra, mengiringi lagu-lagu keagamaan serta lagu-lagu rakyat Mesir.
Sayang khasanah kebudayaan yang kaya yang diboyong atau diimpor dari Mesir itu, tak membuat bangsa Romawi beranjak dari peringkat tinggi bangsa suka perang sepanjang masa. Kesibukan bangsa itu untuk berperang dan mempertahankan imperiumnya, tidak sempat membuat mereka menghayati dan menciptakan karya-karya bermutu dalam bidang kesenian. Mereka memang punya Virgilius serta Horatius. Tapi tak bisa menandingi kebesaran serta kualitas seniman dan pujangga-pujangga Yunani, seperti Homeros, Aeschylos atau Sophokles. Apalagi di bidang filsafat, mereka tak punya filsuf sekelas Socrates, Aristoteles dan Plato. Sedang Plato adalah pemuja dan pembelajar kebudayaan Mesir yang fanatik, lantas menuliskan kekagumannya itu dalam buku, “ Republik” yang berisi penghargaan pada system pemerintahan di Mesir. Kegemaran dan penghargaan pada seni di Romawi lebih karena terobsesi pada kecantikan para biduan dan penari, persis kelakuan para petinggi RI yang suka membayar penyanyi setinggi langit lalu memacarinya. Petingginya adalah snobis dan bersifat diletan (amatiran), diantaranya kaisar Nero. Yang satu ini jika sedang memainkan musik dalam teater, tak satupun yang boleh keluar dari ruangan, dan harus selalu memberi applaus, dan puja puji, sampai ada yang tak tahan lalu membuat keributan, agar bisa menyelinap keluar atau memanjat tembok lalu kabur.
Di puncak ketinggian kebudayaan dan peradaban Islam, di masa daulah Abbasiyyah, yang ditandai dengan masa keemasan buku, ilmu,sastra dan filsafat. Pada periode ini telah lahir para filsuf, ilmuwan dan sastrawan yang mempengaruhi perkembangan peradaban dunia, seperti Ibu Sina, Al Farabi, Ibnu Rusyd, Al Kindi, Ibnu Haytzam, Al Kawarizmi dll. Datang serbuan kebencian dan kemarahan bangsa Mongol yang berkilatan di mata pedang yang memenggal peradaban Islam sampai punah dan tercerai berai, lalu berdiaspora ke seluruh penjuru dunia, termasuk ke Nusantara. Kekejaman dan kekejian bangsa Mongol yang meluluh lantakkan Baghdad itu, dipimpin oleh Jengis Khan alias Temujin. Seorang saksi menulis, saat itu para musisi dan penyanyi dipanggil untuk bernyanyi dengan gembira, sementara para bangsawan disuruh merawat kuda-kuda mereka. Qur’an di injak-injak dan dilemparkan. Yuwayni menulis : “ Mereka datang merusak, menghancurkan, membunuh, memperkosa wanita muda dan tua, menjarah harta, dan akhirnya pergi dengan tenang dan puas hati.”
Sebab utama permusuhan dan peperangan antara bangsa Mongol versus Negri-negri Islam adalah bermula ketika tiga orang saudagar Bukhara dan rombongannya masuk wilayah Mongol dan tiba di ibukota Karakorum, mereka dirampok dan disiksa oleh orang Mongol. Tidak lama setelah peristiwa itu, Jengis Khan mengirim missi dagang ke Bukhara. Namun atas perintah Amir Bukhara, Gayur Khan, mereka ditangkap dan di hukum mati. Nah, pasal dendam dan kebencian inilah yang menyebabkan Jengis Khan marah lalu merancang penyerbuan ke kenegri-negeri Islam. Tapi berkat kekuasaan Allah, keturunan penakluk dari padang padang steppa Asia Tengah ini, musuh dan seteru sengit orang Islam, pada akhirnya tunduk pada kepercayaan penduduk negeri yang mereka taklukkan. Konon tidak lama setelah kajatuhan kota Baghdad, banyak bangsawan dan pemimpin mongol yang secara diam-diam memeluk Islam, lalu kemudian mendirikan dynasty Moghul di India. Tentu saja peristiwa muskil ini diinisiasi oleh kecintaan pada kebudayaan dan masyarakat Islam.
Apa yang dibahas di atas dimana cinta dan benci menjadi salah satu factor penggerak dan perubahan sejarah, oleh filsuf Inggris, Bertrand Russell disebut, “ Trivial occurrences which happened to have a great effects.” Pandangan Russell ini telah dikutip oleh Sidney Hook dalam esainya,” Bertrand Russell’s Philosophy of History.” Selanjutnya Russell menulis, “ that if Henry VIII had not fallen in love with Anney Boleyn, the United States would not now exist. For it was owing to this event that England broke with Papacy, and therefore did not acknowledge the Pope’s gift of the Americas to Spain and Portugal, If England had remained Catholic, it is probable the what is now the United States would have been part of Spanish America.”
Dalam sejarah Mandar, tercatat ada seorang raja yang dimakzulkan akibat terjebak dalam tarikan rasa cinta dan benci. Beliau adalah Daeng Mallariq. Berawal dari kesepakatan ( allewuang) antara beliau dengan para Hadat untuk membantu Sultan Hasanuddin melawan penjajah Belanda, berangkatlah beliau ke Goa bersama pasukannya. Namun di tengah perjalanan, dihadang oleh Aru Palakka, Raja Bone. Maraqdia diminta dan dibujuk untuk membatalkan niatnya lalu membantu proyek perang Aru Palakka, bersama Belanda memerangi Sultan Hasanuddin I Malombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape’. Dan tanpa pikir panjang dan memandang allewuang yang telah dibuat bersama Hadat, beliau berubah niat, balik mencintai Aru Palakka membenci Hasanuddin. Akibatnya adalah, Daeng Mallariq pun diminta lengser oleh para yang Hadat kecewa dan marah pada sifat maraqdia yang plin plan itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar