Minggu, 19 Januari 2014

THOMAS JEFFERSON

“ Tak pernah saya dapat membayangkan, bagaimana suatu makhluk yang berakal budi dapat menawarkan kebahagiaan bagi dirinya sendiri dari kekuasaan yang dipakainya atas orang lain.” Begitu Jefferson menulis di tahun 1811, dua tahun setelah ia lengser dari kursi presiden Amerika Serikat. Meski berpeluang besar untuk dipilih lagi yang ketiga kalinya, penulis kunci Declaration of Independence itu lebih memilih lengser dan pulang kampung. Mungkin beliau telah merasa sesak dengan lingkungan kekuasaan yang tak cocok dengan nuraninya. Atau tak tahan lagi dituduh macam-macam, antara lain dituduh sebagai seorang penganut agama Islam.
Denise A. Spelberg dalam bukunya,”Thomas Jefferson’s Qur’an: Islam and the Founders. “ telah mengungkapkan, “ Owing to his superior perception to Islam and Muslims, he was often misunderstood by others American leaders. Jefferson had disagreed with John Adam since about the best response to piracy. Five years later, their difference in this and other political matters had become more pronounced. When the rift became public, Islam became not only a subject for dispute but a means of personal and political insult. He was first accused of being a Muslim as a result of words he wrote in 1791 in praise of his friend Thomas Paine’s tract, The Right of Man. “
Dalam politik, pembunuhan karakter dengan mengangkat issue kepemelukan agama tertentu adalah biasa dan sering terjadi. Jangankan di masa Jefferson, ketika fanatisme agama terjadi di mana-mana, di era millenium ini saja, agama masih sering dijadikan ukuran bagi penerimaan dan elektabilitas seorang pemimpin, atau menyingkirkan dan membunuh sebuah kelompok agama, ormas, parpol yang berpotensi jadi saingan berat. Dulu, Megawati pernah jadi sasaran tembak terus-menerus terkait agama yang dipeluknya, bahkan seorang tokoh politik telah menuduhnya sebagai pemeluk agama Hindu, dus tak pantas jadi presiden RI, yang kontan membuat orang-orang Bali meradang. Raja dangdut kita, H. Rhoma Irama juga pernah bermain-main dengan issue yang peka itu waktu pemilukada Jakarta yang dimenangkan Jokowi dan Ahok.
Terlepas dari benar atau tidaknya ke-Islaman Thomas Jefferson , memang sejak masih mahasiswa hukum, beliau telah tertarik dan akrab dengan Al Qur’an, yang tentu saja telah mempengaruhi dan membentuk jiwa idelaismenya. Bahkan setelah pensiun dan pulang ke rumahnya di Monticello, ia membuat tempat khusus di perpustakaan pribadinya bagi teks-teks Arab dan Qur’an. Di samping itu beliau juga mempelajari bahasa Arab yang mungkin telah membuatnya lebih memahami Islam dan berkomitment pada kemerdekaan agama.
Namun sebagai seorang yang kritis, Jefferson juga punya pandangan yang salah kaprah terhadap Islam, seperti persepsinya pada Kristen dan Yahudi yang dianggap sebagai agama-agama yang tak kompatibel dengan perkembangan Ilmu pengetahuan. Konon dalam hal ini, ia telah terakses pada pemikiran penuh prasangka Eropa dengan Voltaire sebagai protagonisnya. Filsuf Perancis yang satu ini memang punya pandangan yang muram terhadap semua agama, menghujat Gereja yang dianggapnya benteng kefanatikan, lalu berseru, Ecraze l’imfame!
Tapi pandangann ala weberian itu tak mengurangi respek kita kepada Thomas Jefferson yang dengan spririt ke-Islamannya yang banyak dituangkan dalam deklarasi kemerdekaan Amerika - dalam asumsi kita -, telah menginspirasi revolusi-revolusi kemerdekaan di seluruh dunia, termasuk revolusi Perancis dan revolusi kemerdekaan kita sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar