Minggu, 19 Januari 2014

SIRIQ DALAM DUA KALINDAQDAQ


Muaq meloqo sigayang /Pattandaimoq galung /Na niengei /Sipatombangang ceraq ( kalau engkau mau baku tikam / kau tentukanlah gelanggang / yang akan ditempati / bersimbahan darah.
Kindoq saqbaroqo naung / mapparuq lameayu /ande to tuna/ande to kasi-asi ( wahai ibu, sabarlah /memarut ubi kayu /makanan orang hina / makanan orang miskin.
Dua kalindaqdaq di atas mewakili dua sifat kontras orang Mandar, yakni keras, emosional, dan berani di satu pihak, sabar, lembut, rendah hati di saat yang lain. Karakter yang pertama biasanya dinisbahkan pada laki-laki, sedang yang kedua adalah sifat-sifat yang dimiliki perempuan Mandar pada umumnya.
Dua karakter yang saling beroposisi secara dikotomis itu ( oposisi binner) adalah langue atau fakta social yang merupakan identitas atau basic personality orang Mandar. Andai ada laki-laki Mandar yang tampak bersifat kemayu atau mirip-mirip olga, presenter beken dahsyat itu maka hal tersebuat adalah bersifat individual atau merupakan parole dalam perspektif strukturalisme Saussure. Atau jika ada wanita yang tampak begitu over confident, lalu jumawa, apalagi tomboy alias macca’muane, maka itu adalah penyimpangan atau kekecualian.
menurut Ferdinand De Sauussure, bahasa adalah fakta sosial, realitas internal, bentukan sosial yang merupakan kaidah yang menentukan sebuah tuturan atau parole. Sementara Emile Duhrkeim mengatakan, bahwa fakta sosial bukan merupakan phenomena psikologis, karena ia tak dalam Kontrol sadar seorang individu. Meskipun ia tercipta oleh akal budi manusia. Ia ada sebelum kelahiran dan sesudah kematian seseorang. Menentukan impuls-impuls dasar jiwa seseorang dan juga mengatur prilakunya agar sesuai dengan standar sosial. Jadi ada kesadaran kolektif dan ada kesadaran individual.
Walaupun kalindaqdaq yang pertama bersifat individual alias sebuah parole, tapi ia juga adalah bahasa dan menggunakan bahasa Mandar sebagai bahannya. Jadi ia adalah fakta sosial atau budaya yang mengandung struktur dalam atau mentalitas orang Mandar. Mungkin saja kalindaqdaq pertama diciptakan oleh seorang pujangga Mandar yang sedang marah dan emosi, tapi ia tak bisa lari dari takdir bahasa yang mewakili kesan dan tanggapan jiwanya terhadap realitas sosial yang dihadapinya. Dengan kata lain amarah dan kenekatannya adalah manifestasi dari sifat dan karakter orang Mandar yang keras dan suka nekat dan mengamuk. Jika dikatakan bahwa orang Mandar itu suka mengamuk karena dimotivasi oleh factor siri’ atau harga diri, maka makna atau tema utama dari kalindaqdaq tersebut adalah “ SIRI”, meski tak diucapkan di sana.
Begitu juga dengan kalindaqdaq yang kedua, terlepas dari diksi, imaji, sense atau tone dasarnya, ia adalah tampilan sifat malaqbi perempuan Mandar yang senantiasa mengedepankan kesabaran dan kerendah hatian dalam setiap situasi kehidupannya. Temanya juga tentang siri’ yang dicoba dinetralisir dengan prilaku mulia, tak komfrontatif seperti dengan kalindqdaq yang pertama. Orang Mandar itu memandang kemiskinan sebagi siri’ yang harus ditutupi dan tak terbuka bagi orang lain. Namun reaksi terhadapnya bisa berbeda, effek siri’ tak akan sama pada setiap orang, dan juga cara meresponnya. Ada yang berlebihan seperti pada kalindaqdaq yang pertama, ada yang justru memacu diri untuk kerja keras seperti pada kalindaqdaq yang kedua. Mapparu’ lameayu adalah simbol keterjagaan dan justru adalah respon positif terhadap siri’. Jadi kata “ tuna” di situ pada dasarnya adalah kemuliaan yang tak disadari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar