Rabu, 12 Februari 2014

HUBUNGAN MANDAR DAN JAWA


Jika benar bahwa nenek moyang bangsa Indonesia yang disebut proto atau deutro melayu, berasal dari wilayah China Selatan, Annam dan sekitarnya dan dalam migrasinya membawa bersamanya budaya agraria atau bercocok tanam padi di sawah, maka hubungan antara suku-suku di Indonesia satu sama lain berdasar pada konsep-konsep, filasafat dan kebiasaan dapat lebih mudah dikonstruksi. Kali ini saya mencoba mengkaitkan Jawa dan Mandar dalam hubungan primordial “ Pra Hindunya ” yang tampak memiliki banyak prinsip dan konsep yang nyaris sama.

Sering dikatakan bahwa masyarakat dan kerajaan-kerajaan di Jawa, Mandar atau yang lain di nusantara, banyak mengambil konsep-konsep kebudayaan Hindu-Budha dalam menata negara dan institusinya, bahkan pada hal sangat mendasar yang bersifat ultimate, bangsa Indonesia telah mengadopsi pilosofi Hindu terkait dengan keberadaan raja , asal usul, sifat dan kedudukannya ditengah rakyatnya. Bahkan seorang budayawan senior di Sulselbar, Mattulada meyakini itu dengan mengatakan dalam sebuah makalahnya bahwa La galigo atau kepercayaan rakyat yang lain dekat dengan kebudayaaan Hindu, itu karena nama-nama sriwijaya ( senrijala), mojopahit ( mancapai) disebut-sebut dalam epos La galigo.

Tentang kehindu-hinduannya kebudayaan di Sulserbar, saya juga lebih meyakininya setelah membaca kertas kerja S. Supomo yang berjudul,” Beberapa Aspek Keratuan Jawa Kuno,” dimana ada kutipan ‘prasasti Canggal ‘ yang membandingkan seorang raja dengan sosok ‘ Manu, raja mitologis India Purba. Mungkin konsep tomanurung ini diambil dari kata ‘manu’ itu. Juga tentang keberadaan dunia yang berduka cita tanpa pelindung setelah’ Sana ‘, raja yang bersifat Manu pulang ke sorga. Kemudian kembali tentram dan berkeadilan setelah munculnya raja yang bernama Sri Sanjaya yang dianggap mulia dan terhormat. Jadi ada periode berduka cita bagi dunia yang sama dengan periode “ sianre bale tauwwe” dalam epos galigo. Namun setelah turunnya tomanurung, di Mandar, Bone, Makassar, dll, dunia kembali tentram dan damai.

Namun Jangankan sejarah Mandar, kaitannya dengan budaya India, sejarah Jawapun masih menyisakan lubang hitam kegelapan tentang bagaimana, kapan dan dengan cara apa kebudayaan dan agama Hindu bisa dipraktekkan oleh kerajaan-kerajaan di Jawa. Para ahli hanya tahu bahwa antara abad 5 sampai abad ke 15 di Nusantara telah ada apa yang disebut “ Indianized State” yang dimulai di Kutai Kaltim. Sriwijaya di Sumsel atau Tarumanegara di Jawa Barat. Oleh Professor Boch, proses Indianisasi itu disebut proses fecundation yang masih sangat kabur, dan diliputi oleh kabut sejarah yang tebal. Namun hasil dari proses itu dapat diketahui dengan jelas, yakni,” suatu kehidupan baru yang ditakdirkan untuk berkembang menjadi suatu organism yang bebas di mana unsur-unsur asing dan pribumi bergabung merupakan satuan yang tak dapat dipisahkan lagi.”

Supomo menjelaskan dalam kertas kerjanya bahwa dalam prasasti-prasasti di Jawa Tengah, dulu di Jawa, desa disebut “ Wanua” ( bandingkan dengan banua di Mandar ) dan pemimpin desa disebut Rama, mungkin ini di Mandar disebut Mara’dia. Dalam perkembangannya setelah wanua-wanua itu bertambah besar, akan dipilihlah seorang Raka yang berarti kakak, - sama dengan tomakaka di Mandar-, diantara para rama yang ada. Nah, dari Raka inilah raja-raja Jawa berasal. Di dalam prasasti-prasasti berbahasa Jawa kuno terdapat kata-kata Jawa asli yang berarti raja, yaitu ratu atau haji, disamping adanya sejumlah besar kata-kata untuk menunjuk gelar pejabat-pejabat wanua dan kerajaan. Hal ini membuktikan telah adanya negara monarkis dan biroktatis yang teratur, jauh sebelum penerimaan azas-azas keratuan dan pemerintahan India.

Dalam prasati Canggal juga disebutkan bahwa raja Sanna adalah keturunan dan keluarga yang sangat mulia yang memerintah rakyatnya dengan selayaknya, seperti seorang ‘ Bapak ‘ ( memelihara ) anaknya semenjak lahir, karena cintanya, dan setelah menundukkan musuh-musuhnya, melindungi dunia dengan adil seperti Manu. Bandingkan dengan konsep Bapak yang dinisbahkan pada “ Balanipa’’ dan anak tommuane pada Banggae, dan anak tobaine pada Pamboang di Mandar.

Melihat kemiripan konsep-konsep dan filosofi yang ada, kita bisa mengansusikan bahwa masyarakat Mandar dan Jawa pra hindu itu sangat erat hubungannya secara sosial dan budaya. Dan dalam perkembangannya kemudian setelah masing-masing mengadopasi system pemerintahan dan mitologi Hindu-Budha secara unik dan khas, pada titik inilah muncul-muncul istilah-istilah atau konsep-konsep yang kian merenggangkan hubungan sosio-religus antara suku-suku tersebut. Apalagi kebudayaan Jawa sangat rajin melakukan sinkretisme budaya, sehingga kian mengaburkan budaya asli mereka, yakni budaya Jawa Kuno.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar