Rabu, 12 Maret 2014

PORNOGRAFI

Masalah pornografi yang merebak mengancam daya tahan dan kelangsungan hidup bangsa adalah persoalan moralitas, makanya juga harus ditanggulangi dengan pendekatan moral. Jika kita melihat bahwa yang paing banyak berpeluang menyebarluasakan pornografi adalah tekhnologi dengan industrinya, maka mestimya kita harus memaksanya untuk mengikuti hukum-hukum moral, ia tak boleh bersikap netral dan berkilah bahwa ia hanya produk yang dimamfaatkan dan melayani manusia demi kebutuhan manusia yang sekarang ini cenderung mendewakan materi dan kesenangan. Dengan membiarkan apologia semacam ini maka kita akan terus berkutat di kubangan lumpur kebodohan dan pikiran kotor.

Rasionalisasi dan justifikasi pada hal-hal buruk harus disudahi kalau ingin melihat bangsa dan masyarakat ini sehat dan baik ke depan. Mistifikasi persoalan menjadi sekedar permasalahan teknis harus segera diamputasi dengan mengatakan bahwa semua itu hanya selubung yang menutup masalah sebenarnya, yakni moral yang telah diinjak-injak demi sang dewa manusia modern, uang dan materi. Ketika menkominfo mengakui bahwa sukar mengatasi merebaknya penyebaran situs porno di internet karena ibarat mati satu tumbuh seribu, juga adalah mistifikasi soal tekhnis, yang menafikan aspek moralitas. Memang situs porno tumbuh sepeti deret ukur dan kemampuan untuk memblokirnya tumbuh hanya sederet hitung, tapi itu tak harus membuat kita seperti putus asa dan berhenti untuk terus berupaya menyelamatkan moralitas bangsa, terutama generasi muda.

Ngga usahlah menempuh cara yang ditempuh China atau Korea Selatan yang mampu mengawasi semua akun dan laman sosial warganya, lalu memblokir search engine goggle dan membuat mesin pencari sendiri yang bisa dikontrol sedemikian rupa, bernama ‘baidu’. Kita kan negara demokratis bukan totaliter. Jalan satu-satunya yang bisa ditempuh adalah dengan melakukan kampanye dan gerakan anti pornografi secara besar-besaran untuk meminimalisir dan memarginalkan perilaku ngeres dan porno dari masyarakat, dengan menjadikannya sebagai perbuatan terkutuk dan harus dibuang ke laut. Tentu saja untuk menjadikan pornografi sebagai musuh bersama, harus dimulai dari rumah tangga dan sekolah. Harus ditanamkan di benak dan jiwa anak manusia bahwa melakukan sex bebas dan melihat orang begelut tanpa ikatan sah adalah perbuatan terkutuk dan dibenci Tuhan dan bisa merusak ikatan keluarga, masyarakat dan eksistensi bangsa.

Ajarkan kepada anak dan murid bahwa pornografi atau sex bebas sebagai perusak bagi semua nilai-nilai kebaikan ( bukan sex legal dalam perkawinan ). Dan juga jadikan ia menjadi sesuatu yang menjijikkan untuk dibicarakan. Saya tak setuju dengan pandangan Baby Jim Aditya yang justru mau memperbanyak pendidikan sex di sekolah-sekolah dan masyarakat. Atau tawaran pendidikan sex bagi orang dewasa yang dilakukan oleh Dr. Boyke atau Naek L. Tobing yang dulu masuk ke mal-mal memberikan pendidikan sex katanya. Semua ini adalah rasionalisasi atas nama kebebasan manusia yang katanya mampu membedakan yang baik dan yang buruk. Sedangkan para pejabat saja yang rata-rata tinggi pendidikannya atau pengalaman moralnya bisa kecemplung untuk maksiat seperti korupsi atau selingkuh, apalagi anak-anak dan murid yang jiwanya masih rentan dan sedang mencari identitas dan pengakuan. Pendidikan sex kepada mereka justru akan membuat mereka punya kemampuan untuk menghindari akibat negatifnya, lalu coba-coba untuk mengalami dengan semangat avonturir anak muda. Tapi kebanyakan anak, murid, dan remaja tidak tahu dan perduli akibat buruk dari tindakannya. Pendidikan sex hanya menambah bahan imaginasi dalam benaknya yang sewaktu-waktu bisa disalurkan manakala mengalamai tekanan dan permasalahan hidup.

Kita tak boleh memukul rata tingkat ketercerahan yang ada di masyarakat. Sebuah sekolah atau komunitas bisa efektif mengatasi permasalahan pornografi dengan pendekatan Baby Jim Aditya, tapi di tempat lain belum tentu. Semua tergantung pada kohesifitas dan kesehatan relasi antar warga, orang tua-anak, guru-murid. Pejabat dan warganya. Jika di sana relasi itu buruk dan pecah, mana mungkin mengharap akan terjadi transfer ide dan kebaikan secara baik dan efektif. Yang ada adalah pembangkangan dan penolakan pada setiap yang bernama otoritas. Kita tak boleh mengasumsikan semua masyarakt adalah ‘ sane society’ yang bisa dengan mudah diarahkan dan didikte. Pada masyarakat kesukuan tertentu, atau pada komunitas yang masih bergelut dengan soal-soal hidup mati, pendidikan pada semua tingkatnya, apalagi pendidikan sex akan mentah dan dicibirkan atau diminati sensasinya. Tapi jika kita mengatakan bahwa sex bebas dan pornografi adalah sampar dan jalan terkutuk, maka mereka pasti akan takut dan menghindar jauh-jauh darinya.

Sex adalah sesuatu yang nikmat dan cenderung dicintai atau diminati, secara alami tak ada maunusia yang mudah menjauh dan lepas darinya . Sejatinya ia adalah perbuatan yang baik dan sah jika ada dalam ikatan sah. Dan ia menjadi sesuatu yang buruk dan terkutuk manakala dilakukan di luar jalur sah, yang mengancam keutuhan keluarga dan masyarakat, dan pornografi adalah jalan masuk ke jalur ini. Machiavelli mengatakan bahwa seorang raja lebih baik ditakuti dari pada dicintai. Karena rakyat tak akan berani macam-macam dan kurang ajar pada raja. Ini adalah pandangan yang dianggap kuno, tapi mungkin bisa sangat modern dan menjadi sebuah terapi yang tepat untuk mengatasi penyimpangan sex dan pornografi yang kian menjadi-jadi dan menakutkan dewasa ini. Jika kita takut pada dosa perbuatan sex dan akibatnya, maka kita pasti akan berpikir sejuta kali untuk mendekati apalagi melakukannya. “ La taqrabu zina”

Harus ada revolusi mental atau shifting paradigma pada pandangan terhapap pornografi dan penyebarannya. Jangan atas nama budaya dan sastra, Serat Centhini yang berisi narasi sex bebas dibiarkan memasyarakat. Saya pernah melihat di Balai Pustaka dua mahasiswi membolak-balik buku bersejarah itu sambil cekikikan. Mungikn saja mereka sedang melakukan riset. Tapi apa nilai ilmu yang didapatnya jika akan menjadikannya budak nafsu. Sedikit banyak vulgaritas sex yang ada di buku itu akan mempengaruhi kejiwaan dan imaginasi mereka. Karya-karya penulis perempuan yang mengeksploitasi sahwat rendah ngga usah dimistifikasi sebagai sebuah buah kreatifitas atau imajinasi manusia. Semua itu tak ada kontribusinya pada perkembangan sastra atau kemajuan bangsa kecuali hanya semacam kutukan kebebasan seperti yang dikatakan Jean Paul Sartre. Manusia dengan kebebasannya harus membuat pilihan-pilihan bagi dirinya secara otentik guna peneguhan eksistensi sambil mengutuk orang lain atau masyarakat ‘ hell is others’ . bagi Sartre dan pemuja kebebasan total, masyarakat dengan dengan segala masalah dan keprihatinannya adalah sebuah anathema bagi realisasi diri, sebagaimana Sartre tegaskan “ the other is the hidden death of my possibilities”
Lalu apakah kita bisa selamat jika masyarakat sudah rusak dan kacau.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar