Rabu, 21 Mei 2014

DAVID BOWIE, INGGRIS DAN EROPA

Tahun lalu Rick Moody, novelis, penulis dan musisi asal New York, mengirim e-mail kepada David Bowie, penyanyi flamboyant era tahun 70 an, meminta penjelasan tentang grafis alur pembuatan album baru Bowie yang dirilis dan melejit di posisi teratas tangga lagu di Inggris, The Man Who Sold The World. Bowie membalasnya, namun isinya bukan skema pembuatan album, ia hanya menulis daftar 42 kata, antara lain kata-kata itu; Indulgences, Anarchist, Violence, Intimdation, Pantheon, Hostage, Transference, Identity,Interface, Isolation, Revenge, Osmosis, Crasade Tyrant, dll.

Gejala apa itu? Yang pasti bukan extravagansaisme, atau sekedar umbar kata-kata mubasir, tapi sebuah penanda absurditas dan pesimisme terhadap kejiwaan dan pilosofi manusia modern yang bergumul dengan tekhnologi tinggi, kapitalisme, ekonomi pasar bebas atau problem eksistensi manusia yang kian samar-samar di tengah hempasan ideologi ultra kiri dan kanan yang sama-sama menekan nurani dan membuat pengap jiwa. Lihat saja ulah partai-partai kanan Eropa sekarang, seperti Front Nasional di Perancis yang dipimpin Marine Le Pen, Partai PW besutan Gerts Wilders di Belanda, atau Golden Dawn di Yunani. Mereka seperti punya kesejajaran dalam rona ketakutan pada kehadiran dan kebangkitan kaum imigrant yang telah memperbanyak Masjid dan restoran Kebab di seantero Eropa.

Memang Eropa telah membangun pandangan pokok dan harapannya dari aliran abad pertengahan yang keras. Tak perduli bahwa jaman sudah berubah dan kemajuan material yang kini dinikmati Eropa, pengalaman masa kanak-kanak itu tidak pernah lepas sepenuhnya dari alam pikiran orang-orang Eropa. Baik yang religius maupun yang sekuler. Eropa akan selalu berpikir dalam alternative-alternatif Kristiani ; entah kerajaan Tuhan, entah kerajaan Bumi. Eropa akan selalu berada di satu dari dua ujung, habis-habisan menolak ilmu atau menolak agama. Tak satu gerakan religious pun di Eropa yang akan mampu mengadopsi suatu program sosial. Di Eropa, baik agama maupun ateismenya memiliki watak yang radikal dan eksklusif.

Berbeda dengan Inggris dan dalam batas-batas tertentu, dunia Anglo-Saxon, di sana kata pengantar untuk Injil terjemahan bahasa Inggris pertama yang resmi dimulai dengan kata-kata : “ Kebijakan Gereja Anglikan sejak liturgi publiknya yang sangat awal adalah untuk mengikuti jalan tengah antara dua ekstrem.” Spengler dalam ‘ The Decline of The West’ telah memparalelkan Muhammad dan Cronwell, dua kepribadian yang dalam visinya mengenai sejarah dunia, tampak sezaman. Penyatuan gereja dan Negara di Inggris, juga kekuasaan Inggris di dunia, dimulai oleh Cromwell. Penyatuan agama dan negara Islam, juga kekuasaan Islam di dunia, dimulai dengan Muhammad. Kedua pribadi besar tersebut adalah orang-orang beriman yang puritan, dan keduanya adalah pendiri kekaisaran-kekaisaran besar.

Bukan kebetulan jika David Bowie, penyanyi konseptual yang dengan karyanya ‘ Space Oddity’ telah menginspirasi pendaratan manusia pertama di bulan, lahir di London, Inggris, kota yang sejak jaman Ratu Elizabeth atau era Shakespeare telah menjadi penanda kebangkitan Eropa yang sebenarnya. Era itu telah digambarkan oleh Nathaniel Harris dengan tepat dan bagus dalam bukunya ‘ Tha Age of Shakespeare’ yang antara lain menulis, “ When the cautious, pacific Elizabeth came to throne in 1588, a moderate, undemanding Protestantism was established as the national religion, and for a time it seemed that England might escape the wars and religious fanaticism tearing Europe apart.” Di tempat lain Harris mengatakan “ Despite their medieval curriculum, England’s two universities came under the spell of Renaissance thougth. Extra-curricular study and discussion were the most important influences on students. ‘ Machiavelli a great man: Castiglioni of no small reputation: Petrarch and Boccacio in every man mouth…”

Inklusivisme dan moderasi Inggris telah melahirkan pemimpin sekelas Antony Eden, Winston Churchill, atau Ratu Elizabeth. Sedangkan Eropa yang ekslusif, jumud dan fanatik, telah melahirkan pemimpin-peminpin yang nyaris menenggelamkan atau membahayakan dunia, seperti Mussolini dan Adolf Hitler dengan semboyannya ‘ Deuchtland Uber Alles’ yang memposisikan bangsa Jerman sebagai bangsa pilihan dan ras Aria sebagai ras paling murni. Meski Inggris dahulu juga termasuk bangsa penjajah dan imperialis, namun ia cepat belajar dan meninggalkan fanatisme agama dan ras abad pertengahan yang dipenuhi dengan inquisisi dan excommunication dari dan oleh pusat kekuasaan agama.

Voltaire yang telah mengatakan bahwa” fanatisme adalah penyakit segala abad”, telah menjadi saksi betapa di abad 18, Kota Toulouse di Perancis, tempat orang Katolik berkuasa, kita takkan menemui seorang Protestan pun jadi advocate, atau dokter, atau pemilik rumah obat, pedagang kelontong atau tukang cetak. Syahdan, di tahun 1748 pernah seorang wanita didenda 3000 francs karena mengenakan paraji yang beragama protestan.

Fanatisme ada di mana-mana, di setiap agama, dan di setiap ras dan bangsa, kita telah mencatat semuanya, dan kita harus menghapusnya dari halaman buku peradaban, paling tidak dari diri kita sendiri dulu, ‘ Ifdah Binafsik’





Tidak ada komentar:

Posting Komentar