Senin, 19 Mei 2014

WARNA-WARNI DEKLARASI CAPRES DAN CAWAPRES


Seandainya dua petinju legendaris dan dianggap sebagai dua yang terbaik dalam sejarah tinju dunia, Muhammad Ali dan Mike Tyson, bertemu dan bertanding, maka kita pasti akan bingung dibuatnya untuk menentukan siapa yang kira-kira akan jadi pemenang. Muhammada Ali yang terkenal dengan kelincahan dan strateginya yang selalu jitu serta Mike Tyson dengan kecepatan dan kekuatan pukulannya tentu akan sangat berperan dalam pertandingan. Tapi Ali tak akan mudah kesambar gledek oleh pukulan jab, hook atau swing Mike Tyson karena kepiawainnya mengelak dan berlari-lari serta menari lincah. Sedangkan Mike Tyson tidak bisa dibuat terus merunduk maju tanpa hasil, karena ia punya kejelian dan spontanitas pukulan yang mematikan. Dengan kecerdasan dan strateginya yang ampuh, Ali mampu mengkanvaskan George Foreman di ronde ke delapan pada tahun 1974 di Kinghasa Zaire. Padahal Foreman tinggi besar dan setipe dengan Tyson sebagai fighter. Dan telah membuat Joe Frazier- jagal yang lain- jatuh bangun di Tokyo pada ronde pertama sebelum akhirnya terkapar diam dan tak mampu bangun lagi. Sedangkan Tyson bisa membuat Mark Sphinx yang setipe Ali melayang jatuh pada ronde ke dua. Dan banyak lagi petinju-petinju sangar yang dibuat tak berkutik lantas KO atau TKO oleh Tyson pada awal-awal ronde.

Dalam dunia politik Indonesia sekarang ini, kita segera akan melihat pertandingan atau pertarungan dua pasang capres dan cawapres, Jokowi-JK vs Prabowo-Hatta. Saya melihat pasangan pertama jika berdwi-tunggal akal punya kemampuan seperti Ali yang bermodalkan kemampuan, kelincahan, kecerdasan dan terutama kharisma yang besar. Pasangan kedua jelas punya power dan kecepatan yang mumpuni, lihat saja bagaimana menukiknya perolehan suara partai Gerindra yang dipimpin Probowo dalam pileg lalu. Namun tentang siapa yang menang nantinya, kita serahkan saja kepada wasit utama, seluruh rakyat Indonesia. Bukan kapasitas saya untuk menilai siapa yang akan menang dalam pertandingan, semua punya peluang karena punya kekuatan dan kelebihan masing-masing di samping kelemahan-kelemahan yang ada. Tapi yang pasti, siapapun yang punya rencana dan gagasan pertandingan Yang baik serta sejalan dengan harapan dan cita-cita rakyat, itulah yang akan menjadi pemenang.

Saya lebih tertarik membahas hal-hal yang lucu dan menarik dalam deklarasi kedua pasangan capres dan cawapres yang berlangsung di dua tempat yang berbeda. Banyak yang mengatakan lewat media-media sosial bahwa Jokowi seperti kurang enjoy pada deklarasi kemaren, seperti kurang sreg berpasangan dengan JK. Tapi menurut Eva Kusuma Sundari, jubir PDIP dalam sebuah wawancara, penyebab suasana yang kurang manis kemaren adalah karena tidak adanya kordinasi dan komando yang jelas pada acara deklarasi di Gedung Joang 45 tersebut. Tidak ada panitia deklarasi, semua diserahkan pada inisiatif para relawan, sehingga jadwal dan tetek bengek deklarasi jadi semrawut dan tak beraturan. Para relawan yang berasal dari berbagai warna dan latar belakang saling berebut mengajukan ide dan gagasan sebagai bagian dari loyalitas dan euphoria kegembiraan. Semua serba mendadak dan terburu-buru, tidak tertata. Yang satu bilang ini, yang lain bilang itu, si A mau begini, si B maunya begono, pokoknya kekacauan itu tampak jelas pada wajah Jokowi yang seperti kecewa, sedangkan JK sebagaimana biasanya, santai dan enjoy saja.

Sebaliknya, Rumah Polonia di Jalan Cipinang Cempedak, tempat deklarasi pasangan Prabowo-Hatta, tampak semua tertata rapih dan seperti telah dipersiapkan dengan rapi sebelumnya. DI semua sisi ruangan telah dipenuhi foto-foto Prabowo dan Hatta serta berbagai ornamen-ornamen yang terkait lainnya. Ada sebuah kain merah-putih memajang di tembok tempat pintu utama. Acara juga berlangsung teratur dengan jadwal yang sudah tersusun rapi. Tapi dari kedua realitas yang disebutkan, ada segi yang menarik dari fakta tentang gedung-gedung tempat deklarasi berlangsung.

Konon kedua pasang capres dan cawapres memilih gedung tempat deklarasi , Gedung Joang dan Rumah Polonia karena kedua banguan itu punya keterkaitan erat dengan kehidupan, semangat dan jiwa Bung Karno, seperti yang telah dikatakan oleh Jokowi dan Dradjat Wibowo salah seorang tokoh PAN. Namun JJ Rizal, sejarawan dari UI menilai bahwa Gedung Joang 45 tidak identik dengan perjuangan Soekarno untuk memujudkan Indonesia merdeka, karena Gedung Joang lebih identik dengan markas pemuda ‘ Musyawarah Rakyat Banyak’ ( Murba) yang dalan sejarah selalu beroposisi terhadap Soekarno.

Tentang Rumah Polonia, Rizal mengatakan bahwa itu juga tidak bisa dianggap sebagai rumah Soekarno, layaknya rumah di Pegangsaan Timur. Pasalnya, Rumah Polonia itu dulu adalah berfungsi sebagai rumah istri Soekarno yang kedelapan, Yurike Sanger yang masih anak SMA.

Wah, jika menglkuti logika JJ Rizal itu, maka Istana Merdeka yang dulu dibangun oleh Gubernur Jendral J.W. van Lansberge tahun 1873, tidak pantas dong disebut sebagai simbol negara dan menjadi Istana tempat berdiam para Presiden RI serta tempat merayakan detik-detik proklamasi setiap tahun.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar