Senin, 31 Oktober 2016

RELASI AGAMA DAN FILSAFAT

Secara sederhana agama adalah jalan Tuhan untuk menuju kebaikan dan keteraturan kodrat manusia. jadi agama ada untuk menghindari kemungkaran dan menciptakan keteraturan insani dengan jalan ibadah dan beramal saleh. Sedangkan filsafat adalah perangkat kemanusiaan untuk mencari kebenaran atau hikmah dengan cara berpikir radikal dan konfrehensif. Agama dan filsafat bisa saling mendukung. Agama mengangkat derajat filsafat, sedangkan filsafat bisa menjadi hujjah bagi agama sekaligus menegaskan marwah dan kharismanya. Jika agama menetapkan standar daan tolok ukur prilaku, maka filsafat menggaris bawahinya atau memberinya tanda kurung, mengafirmasi atau bahkan menafikannya sebelum pada akhirny jatuh tersungkur. Betapa banyak kaum atheis atau ilmuwan besar yang terbukti diam-diam mengakui hal kebenaran ajaran agama. Stalin, mbahnya kaum atheis dikabarkan menjelang ajalnya minta dibacakan Kitab Suci. Bukankah Einstein telah mengatakan bahwa ‘ Ilmu tanpa agama adalah buta, Agama tanpa ilmu akan lumpuh’.

Namun dalam sejarh peradaban manusia agama dan filsafat sering saling bertentangan dan berselisih satu sama lain. Dalam agama Islam ada polemik antara Al- Gazali vs Ibnu Rusyd. Sejatinya agama pastilah akan mengkritik isme-isme yang merusak semua potensi manusia untuk menjadi hamba Allah yang taat dan konsisten. Ia jelas bersimpangan dengan paham kaum eksistensialis yang lebih percaya pada kemampuan orang per orang katimbang kuasa Ilahi. Terutama pada mereka yang mengatakan bahwa ‘Eksistensi mendahului esensi dimana yang terakhir harus dikejar dan ditetapkan sendiri bebas dari tuntunan dan tuntutan Tuhan. Mereka berprinsip “ manusia tak punya kodrat yang sudah given”. Ia adalah makhluk yang ‘becoming’. Agama juga akan melawan mereka yang senantiasa mengandalkan kekuatan akal pikiran atau rasio manusia. Tak akan setuju pada kata-kata Hegel bahwa ‘ Yang nyata adalah rasional. Dan yang rasional itu nyata’.

Pun takkan ada seorang agamawan sejati yang akan percaya pada pandangan bahwa segala sesuatu di hidup ini ditentukan oleh materi belaka, seperti yang diyakini oleh Karl Marx. Padahal ketika Karl Marx mengatakan ‘keberadaan menentukan kesadaran bukan sebaliknya’, apakah ia tidak ‘menyadari’ adagiumnya itu. bukankah ketika ia mengatakan itu hidupnya dalam keadaan kebelangsak atau susah secara materi, dan hidupnya hanya ditopang oleh sahabat ideologisnya, Engel. Lantas dari mana kesadaran itu. mengapa ia mengatakan dengan tandas bahwa agama itu adalah candu masyarakat, aliias tiidak benar adanya. Kaum positivisme beranggapan bahwa segala sesuatu yang tidak bisa dibuktikan secara empiris adalah palsu. Hidup ini terikat pada hal-hal yang eksak atau pasti. Jadi secala macam pemikiran teologi atau yang metafisik adalah mustahil atau tidak benar. Tentu saja agama menolak klaim ini, karna sering kali kenyatan yang empiris juga menipu.

Agama juga tentulah merasa aneh pada anggapan Sigmund Freud bahwa fenomena keagamaan itu bisa dijelaskan secara psikoliogis. Menurutnya agama itu ada sebagai perpanjangan dari sindrom ‘oedipus kompleks’. Dan juga sangat terkait dengan hasrat libido seks manusia. Menurutnya segala sesuatu yang diciptakan manusia melulu berputar disekitar hasrat libido belaka, astaga!. Yang aneh adalah pandangan kaum Skeptis utamanya David Hume. Pemikir mbeling ini malahan tidak percaya pada rasio manusia, bahkan pada prinsip empirisme. Dia berpendapat, bahwa pada hujan yang turun mengguyur bumi, tak ada hubungannya sama sekali dengan keberadaan awan mendung yang gelayutan di bawah langit, atau peristiwa air yang menguap k udara. Hujan adalah satu hal, sedang awan atau penguapan air adalah hal yang lain lagi. Dalam pandangan Islam hujan turun Karena Tuhan telah membuyarkan awan.

Tuhan pasti telah mengantisipasi fenomena saling menegasikan antar agama versus para filsuf, pemikir dan orang-orang pintar yang keblinger itu, yang hanya menimbukan kemungkaran dan kekacauan dalam sejarah manusia. Itulah sebanya sejak periode filsuf-filsuf Yunani, Tuhan telah menurunkan kesadaran Tuhan atau prinsip Monoteisme pada manusia. itu diinisiasi oleh Socrates yang percaya pada adanya ‘Ide kebaikan’. Bahwa manusia akan menjadi baik jika ia telah memahami dan mengetahui apa yang ‘ baik’ dalam kehidupan ini. Dimulailah destruksi atau dekonstruksi terhadap epistemologi kaum politeism atau filsuf alam seperti Thales, Empedokles atau Anaksimandros, dll. Yunani mulai menggugat eksistensi para dewa yang dipimpiin Dewa Zeus, serta alam sebagai pencipta bagi dirinya sendiri. Kotak dewi pandora perlahan terkuak yang memunculkan aneka kepalsuan satu demi satu. Secara ontologis, Plato meyakini keberadaan ‘ Ide mutlak’ atau ide absolut, yang adalah sumber dari segala ada. Bahwa dunia dan segala isinya hanyalah copy dari ide-ide yang sudah eksis di dunia sana.

Pada titik ini Tuhan mulai mempertegas ada-Nya. Kedua filsuf yang tercerahkan itu hanyalah instrumen awal untuk memulai pemahaman manusia tentang Tuhan yang sejati. Hanya saja gagasan awal kaum idealis itu belum berbaju agama. Itu hanya pandangan sepkulatif-metafisik yang pasti telah terilhami oleh realitas ke-Esaan Tuhan’. Bukankah filsafat tentang kebaikan dan tentang ada yang absolut yang bisa mengejawantah pada manusia di abad pertengahan telah menjadi penguat keyakinan kaum Kristiani pada kedatangan Jesus sebagai putra Tuhan Bapa. Maka dalam konteks ini, masuk akallah apa yang diteorikan oleh Ibnu Arabi dalam teori wujudiahnya yang mengutip sebuah Hadis Qudsi ‘ Ana kanzun makhfiyun, fa uridu an urofah, fa khalaqtul khalqa, fa bi arafuni ‘ ( Aku adalah khasanah yang tersembunyi, Aku ingin dikenal, maka kuciptakan makhluk, dan dengan perantaraan makhluk itu mereka mengenalku ).

Intinya adalah bahwa filsafat tidak boleh alergi pada agama, dan agama tak boleh mengharamkan filsafat. Banyak jalan menuju Tuhan. Agama dan filsafat sama-sama mencari kebenaran dan kebahagian, hanya saja banyak yang keblinger. Ada agamawan yang kacau, dan banyak filsuf yang lupa diri dan asal-usul. Jika agama dianalogikan sebagai wali suci yang tak mau menerima dan bersentuhan dengan seorang pelacur yang analoginya adalah seorang filsuf, maka menurut keyakinan agama yang benar, justru sorga akan banyak dihuni para filsuf. Sedang kaum agamawan yang berprilaku seperti wali suci itu, yang sombong dan merasa suci seolah mau menyamai Tuhan, maka nerakalah tempatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar