Sabtu, 29 Oktober 2016

ORKESTRA 1928


Mengapa sebuah simponi orkestra anak muda Indonesia yang diperdengrkan di tahun 1928 hingga kini masih terdengar merdu dan mengharukan. Tetap menggugah dan membangkitkan rasa patriotisme dan kebangsaan, keindahan dan kebenaran, harmoni dan persatuan. Itu karena simponi yang berjudul ‘ Sumpah Pemuda’ itu sungguh-sungguh menyuarakan jiwa dan semangat hidup yang selaras dengan sabda alam, rasa kemanusiaan dan Code Tuhan. Nada-nada Persatuan dan Kesatuan yang berbunyi, adalah mimpi-mimpi manusia sepanjang masa. Hasrat alam yang nyata dan Keinginan Tuhan yang pasti. Ia adalah ‘Ukhuwah’ yang tak bisa dibunuh oleh kecanggihan ‘devide et impera’ dan siasat cogito dalam segala bentuknya. Karena ia adalah air yang tak akan putus oleh tikaman apapun. Atau tubuh cicak yang senantiasa menyatu kembali setelah terpenggal.

Anak-anak muda yang datang dari segenap penjuru nusantara itu, membawa alat musiknya masing-masing dengan aneka perbedaan dalam sikap, dan selera. Setelah berinteraksi dan berkomunikasi secukupnya, seketika melihat keindahan yang nyata dan lebih bila mereka bersatu, menciptakan sebuah musik orkestra yang mempersatukan. Kesadaran itu timbul setelah sekian lama merasakan betapa tidak bagus jika masing-masing berbunyi secara sendiri-sendiri. Sejatinya memang, sebagus apapun melodi dan harmoni jika ia egois dan bernyanyi sendiri tak akan memiliki daya tawar tinggi dan dihormati. Lihat saja pengamen yang bermain secara door to door atau melakukan Showbis alias ngamen di atas bus. Mereka hanya akan dapat uang recehan jika beruntung, tapi yang lebih sering dicuekin, bahkan ada yang dihina dan diusir.

Mereka yang bagai terbangun dari tidurnya itu lantas menyodorkan piranti musik mereka masing-masing untuk ditata oleh seorang diregen yang kompeten kemudian memimpin pagelarannya. Si Ambon membawa ukulele, yang dari Menado menyodorkan kolintang, Padang beri saluang, orang Jawa memperkenalkan gong atau kennong, orang Sunda angklung, Batak dengan taganingnya, orang Kalimantan dngan kecapinya yang unik, orang Sulselbar dengan pui-pui, kanjilo atau gonggag lima,serta orang Flores dengan sasandonya. Betawi tentu dengan tanjidor atau gambang kromongnya.

Betapa terkejutnya dunia waktu mendengar orkestra baru itu. terlebih penjajah Belanda yang terbiasa menanggap tanjidor atau keroncong di istana atau villanya. Mereka tak menyangka bunyi-bunyian tradisi kaum pribumi itu begitu sangat indah dan memukau, memberi pencerahan dan memupuk semangat pembebasan. Tentu saja dalam kagum yang diam-diam itu, mereka cepat-cepat menutup kuping dan jendela hatinya. Mereka takut orkestra itu akan menumbuhkan keinginan atau mimpi untuk kebebasan abadi. Terlebih pada liriknya, mereka merasa sangat terganggu ketika membacanya. Sumpah untuk berbangsa satu, berbahasa satu dan bertanah air satu adalah absurd bagi mereka dan harus dihentikan sebisa mungkin.

Dan segala daya upaya pun dilakukan untuk mencegah aspirasi pada kebebasan dan kemerdekaan kian meluas. Salah satu caranya dengan menangkapi tokoh-pemuda pemuda dan pejuang kemerdekaan. Tapi bagi pemuda yang sempat dipenjara akan memandang kemerdekaan itu ‘immanent’,dapat ditunggu walau pun ia serupa ‘Godot’ dalam drama Samuel Beckett. Atau serupa Sisipus dalam dama karya Albert Camus, yang harus jatuh dan jatuh lagi demi menggapai puncak bukit. Kemerdekaan bukanlah sesuatu yang trancendent yang nun jauh di sana yang tak mungkin bisa diraih. Ya, mereka melihat kemerdekaan adalah ‘Patrick’ atau bintang laut yang ada di pantai,bukan bintang yang mengambang di angkasa sangat tinggi, butuh milyaran tahun untuk mencapainya.

Kaum penjajah lupa bahwa orkestra yang telah menyuarakan dambaan jiwa manusia dan hasrat segala bangsa untuk bersatu padu merapatkan barisan dan mengarahkan tindakan itu telah direkan oleh alam, dan pasti ‘mestakung, alias semesta mendukung. Dan di atas sana Tuhan tersenyum karena sebuah takdirnya telah terkuak, sebelum takdirnya yang lalin datang menyongsong dan menjadi nyata , yang bernama ‘ Kemerdekaan Indonesia’.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar