Sabtu, 29 Oktober 2016

HAPARAN PADA REKTOR

Guru manusia itu banyak, ada yang berkiprah di masyarakat, sekolah atau perguruan tinggI. Namun yang dianggap niscaya mengembang misi propetik adalah para ‘Rektor ; sosok dosen sekaligus pimpinan perguruan tinggi. Seorang rektor oleh masyarakat sudah terlanjur dianggap manusia setengah dewa, atau paling tidak bak seorang Begawan., Imam atau pendeta. Dengan demikian seorang rektor otomatis dianggap punya kapasitas keilmuan yang prima, sekaligus memiliki moralitas tak tercela. Dalam diri seorang rektor sudah tentu memiliki potensi keulamaan dan keumarahan. Ulama disini berarti seorang intelektual sekaligus spritualiis. Dengan posisinya yang penting itu, maka maju mundurnya suatu negara sangat tergantung juga pada kiprahnya, bagaimana ia mengelola institusinya, mendrive orang-orangnya, memotivasi para dosen dan mahasiswa untuk mencapai tinggkat penguasaan dan pengembangan sience, ilmu dan teknologi yang mumpuni, yang pada gilirannya akan mendorong kejayaan bangsa

Malangnya, dewasa ini, segala predikat istimewa para rektor sudah nyaris pada berontokan dari hakekat keberadaannya. Dalam bacaan kaum essensialis, sosok rektor telah kehilangan esensinya yang dikejar sendiri. dan dilekatkan padanya oleh masyarakat selama ini. Sedangkan dari sudut pandang eksistensialisme, Ia bagaikan ‘dassein’ yang tiba-tiba saja terlempar begitu saja kesebuah dunia asing dan aneh, menurut tilikan Heidegger, dimana ia paham betul tentang dirinya, cara ia berada, tapi seolah tak mau memahami dassein yang lain. Lalu kemudian menyingkapkan dirinya secara mengejutkan , dimana ia lebih memilih menjadi ‘ homo economicus’ katimbang menjadi ‘ homo sapiens’. Dengan demikian ia telah bereksistensi secara tidak otentik. Potensinya sebagai filsuf yang mencntai kebenaran dan kebijaksanaan dimatikan sendiri sehingga jatuh pada stadium rendah, menjadi sekedar pengrajin, artisan atu pedagang. Sehingga dalam kacamata Plato itu ia harusnya tak berkompeten lagi menjadi pimpinan suatu lembaga suci seperti perguruan tinggi. Namun untuk menjadi seorang bupati, gubernur atau presiden, bisa saja terjadi. Jadi betapa mulianya menjadi seorang rektor.

Memang sejatinya jika jabatannya sebagai rektor didapat lewat cara-cara transaksional, maka ia sama saja telah memotong lehernya sendiri, kehilangan kepala tempat persemaian akal budi dan kebijaksanaan..Tinggal hanya torso yang melulu terdiri dari denyut libido dan ambisi belaka yang berdenyar-denyar disekitar hati dan bawah pusar. Akan tetapi Blaise Pascal pernah mengatakan ; Le couer a ses raison ne connait point (Hati mempunyai alasan-alasan yang tidak dimengerti oleh rasio). Dengan pernyataan ini Pascal tidak bermaksud menunjukkan bahwa rasio dan hati itu bertentangan. Hanya saja menurut Pascal, rasio atau akal manusia tidak akan sanggup untuk memahami semua hal. Baginya "hati" (Le couer) manusia adalah jauh lebih penting. Hati yang dimaksudkan oleh Paskal tidak semata-mata berarti emosi. Dan kaum Perennial percaya bahwa hati adalah intelectus, pusat kesadaran Ilahiyah yang sejati.Jadi beruntunglah para rektor jika belum kehilangan hati, dengan kata lain masih punya hati yang hidup. Maka rasakan dan hayati betapa para pencari ilmu dan kebijaksanaan di kampus atau pendamba keteldanan di masyarakat masih ingin melihat dan mengharap peran kalian untuk mencerdaskan dan memampukan mereka.

Semua kalangan berharap agar bapak-bapak rektor mau kembali ke habitat semula, dan menegaskan kembali otonomi dan kebebasan mimbar yang telah dirampok oleh politik. Anda disebut rektor bukan karena anda kaya, dan berkuasa, tapi karena anda cendekia dan bermoral serta mulia. Dus, jika anda sudah nekat nyetor kepada oknum pejabat tertentu demi jabatan anda itu, maka tak ada yang bisa menjamin bahwa anda juga tak akan meminta setoran kepada calon-calon ‘Dekan’ yang berada di bawah kendali anda. Jika anda sudah memandang ‘uang’ sebagai bapak semua hal, maka anda tidak sedang membangun peradaban, tapi menciptakan peradangan.

Jika dunia kampus sudah meradang pada setiap sudutnya, maka konsekwensi logisnya adalah masyarakat dan negara juga akan meradang di setiap organnya. Jika ilmu adalah cahaya, dan kampus adalah pusat transmisi cahaya, - sumber cahaya adalah Tuhan, maka ketika kampus menjadi gelap , maka alam sekitarnya juga akan ikutan gelap. dalam hal ini akal budi dan jiwa manusia. Kalau sudah begitu, projeck listrik 35 ribu watt oleh Jokowi-JK . tidak ada faedahnya lagi. Karena sejuta watt pun cahaya listrik takkan mampu menerangi kegelapan hati manusia. Masuk akal bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar