Kamis, 26 Desember 2013

TUJUAN PERKAWINAN ADAT


Dalam setiap kebudayaan, ada konsepsi tentang nilai budaya yang merupakan aspek ideal dan sublim dari kebudayaan tersebut. Ia menjadi dasar dan rujukan bagi bentuk budaya yang lain, sistem sosial dan budaya material. Semisal sebuah etnik menghargai dan menilai tinggi pentingnya sebuah perkawinan dengan semua tujuan dan bentuk idealnya, maka ritual dan upacara perkawinan akan memanifestasikannya dalam berbagai ragan cara dan keunikannya. Lalu akan muncul benda-benda atau perlengkapan perkawinan seperti pelaminan, pakaian penganten, ragam hias dan pernak-pernik lainnya.
Salah satu aspek ideal dari sebuah perkawinan adat adalah tujuan dari perkawinan itu sendiri. Pada hal ini kita akan lihat adanya nuansa perbedaan dan tekanan pada tiap etnik dalam merumuskan apa yang menjadi tujuan perkawinan itu. Meski secara universal diakui bahwa semua perkawinan bertujuan untuk membina cinta dan kasih sayang atau guna melangsungkan keturunan dan beroleh anak cucu. Dan juga untuk memperlua s dan mempererat hubungan kekeluargaan antar masyarakat.
Dalam tulisan ini, akan diambil tujuan perkawinan adat suku-suku di Sulawesi Selatan Barat yang secara kultur punya banyak kesamaan. Itu karena konon mereka sama bernenek moyang To Manurung, atau orang yang turun dari langit dan mengawini perempuan yang muncul dari dasar laut. Apakah tujuan perkawinanan masih dihayati dan diamalkan secara nyata dalam masyarakat kontemporer, itu soal lain yang tentu perlu beroleh perhatian tersendiri.
Tujuan perkawinan pada masyarakat Bugis-Makassar hampir sama, hanya perumusannya dalam kata-kata yang berbeda. Orang Makassar mengatakan,” Tenapa nagunna se’re tau punna tenapa na situtu’ ulunna salangganna.” ( Seseorang belum sempurna jikalau kepalanya belum berhubungan dengan bahunya). Jadi menurut orang Makassar, bahwa manusia baru bisa disebut “ manusai sempurna” atau “ Tau” jika ia sudah kawin. Seseorang yang belum kawin diumpamakan belum mempunyai tubuh yang lengkap karena kepala dan selangkanya ( tubuh)belum berhubungan. Suami dianggap sebagai kepala, istri badan yang harus dihubungkan agar menjadi manusi yang sempurna. Suami dam istri atau kepala dan badan harus saling melengkapi satu sama lain.
Orang-orang tua yang akan mengawinkan anaknya disamping akan berkata, “ Lanipattumi ulunna. La ni pajari taumi.” juga akan mengatakan “ nisungkemmi bongonna” artinya selubungnya sudah dibuka oleh anaknya. Sebab sesorang yang punya anak belum kawin, seolah-olah ia terselubung, menutupi sesuatu yang dijaga ( kehormatan) dan dikhawatirkan. Itu sebabnya setiap orang tua yang mengawinkan anaknya akan berusaha melaksanakan semeriah mungkin sebegai manifestasi rasa syukur dan kegembiraan.
Seperti yang telah disebut di atas, tujuan perkawinan dalam masyarakat Bugis sama dengan orang Makassar. Jika orang Makassar mengatakan terhadap orang yang mau dikawinkan. “ Lanipattu’mi ulunna salanggana” maka orang Bugis akan mengatakan, “ Elokni ri pakkalepu’” maksudnya akan diutuhkan, menjadi manusia utuh, orang yang belum kawin dianggap belumlah manusia yang seutuhnya.
Tujuan perkawinan pada orang Toraja, sejauh yang penulis ingat ditekankan pada dua hal, yakni untuk mengembangkan keturunan, dan untuk mengumpulkan harta benda. Upacara perkawinan di Toraja tidak sepenting dengan upacara kematian. Bagi orang Toraja, perkawinan terjadi oleh orang yang belum punya apa-apa, sejoyanya dilaksanakan secara sederhana, nantilah setelah menikah, mereka akan all out mencari nafkah dan kekayaan untuk persiapan menyambut kematian yang harus dirayakan semeriah mungkin, ini yang disebut oleh mereka ‘ siri mate”. Pantang atau aib bagi mereka bila meninggal tidak memotong hewan kerbau atau babi yang banyak. Konon jika yang meninggal tidak punya apa-apa atau miskin, akan dikubur malam-malam di sebuah tempat tersembunyi, agar tak menjadi siri’ atau memalukan keluarga.
Di Mandar lain lagi, tujuan perkawinan adalah dalam rangka menguatkan prinsip nilai budaya yang telah terpatri dalam di jiwa setiap insan Mandar, yakni nilai-nilai Sibali parri, si rondo-rondoi, atau si ammasei. Yang menjadi idam-idaman para kelurga di Mandar, adalah jika terjadi perkawinan yang saling menguatkan satu sama lain, saling bekerja sama, saling membantu, baik yang bersifat material maupun spiritual. Jadi dalam membina rumah tangga, diharapkan agar terjadi prinsip gotong royong dalam mengerjakan pekerjaan berat maupun ringan.
Dan tentu harus si ama-amasei, atau saling kasih mengasihi dan saling sayang-menyayangi. Gembira sama genbira, susah sama susah. Dari kesemuanya, tujuan utama, dasar atau alasan dalam meminang seorang wanita di Mandar, ialah jika wanita itu dan seluruh keluarganya akan dapat hidup “ Si Bali Parri’ dengan suami dan seluruh keluarganya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar