Jumat, 08 Agustus 2014

BERUQ-BERUQ MANDAR


Dalam highlight sejarah dunia, sejak jaman kuno hingga era supermodern dewasa ini, di segala tempat atau kawasan, selalu muncul wanita-wanita tangguh dan perkasa yang mampu menghitam-putihkan keadaan sosial poiltik kenegaraan. Cleopatra, ratu Mesir telah membuat dua kaisar Roma, Julius Caezar dan Antonius berseteru satu sama lain demi merebut cinta dan restu sang ratu untuk menjadi kaisar yang sesungguhnya, berkuasa atas imperium Romawi, terutama di kawasan mediteranian yang disebut oleh para sejarawan sebagai wilayah ‘Oikemene atau ‘tempat buaian peradaban ( The Craddle of Civilisation).

Dari tulisan Bertrand Russell, saya ketahui bahwa karena cinta Raja Inggris Henry ke VIII kepada Anne Boleyn, seorang wanita Amerika, maka lahirlah negara Amerika-Serikat. Akan panjang jika menyebut wanita-wanita hebat yang menjadi bintang di langit sejarah dunia. Sebut saja diantaranya yang sempat menjadi penguasa, presiden atau perdana menteri ; Margaret Thacher, Benazir Buto, Indira Gandhi, Corazon Aquino, Megawati Sukarno Putri. Dll

Di Mandar, muncul wanita hebat yang juga adalah mara’dia Mandar di era modern, Ibu Depu alias Ibu Agung. Beliau bukan saja ‘Beruq-Beruq Mandar” tapi juga sorang “ Kesuma Bangsa” oleh perjuangannya di masa revolusi fisik, dan kerelaannya mati demi membela merah-putih yang telah berkibar dan hendak diturunkan lagi oleh Belanda dan sekutunya. Perjuangan dan kontribusi Ibu Agung, bukan saja nyata di bidang poilitik dan perjuangan bangsa, tapi juga di bidang kesenian dan kebudayaan daerah Mandar. Ini dakui oleh para sejarawan dan budayawan, sehingga lengkaplah keagungan dan keanggungan Ibu Depu.

Saat ini ada sebuah organisasi atau komunitas kewanitaan Mandar yang menamakan dirinya “ Beruq-Beruq Mandar” yang anggota-anggotanya sepertinya mau mengikuti jejak langkah Ibu Agung tersebut. yang gemar membuat kumpulan tulisan para anggotanya ( analekta) kemudian membedah dan mendiskusikannya. Jadi masih bergerak di ranah intelektual, atau estetika. Saya pribadi tidak pernah berinteraksi dan melihat secara langsung kegiatan-kegiatan organisasi tersebut, kecuali mendengar secara samar-samar dari salah seorang anggotanya, Alvi Yanita, atau membaca visi, misi serta program kongkritnya ke depan, tapi saya yakin komunitas yang dipimpin seorang wanita bergelar Doktor itu, akan beranjak lebih jauh untuk memamfaatkan antusiasme para anggotanya, namun tersebar di beberapa daerah, untuk melakukan langkah yang lebih taktis dan strategis yang berdimensi jangka panjang.

Yang saya maksud dengan langkah taktis dan strategis itu, adalah perlunya beruq-beruq Mandar sekarang ini untuk memahami realitas yang sesungguhnya dari prikehidupan masyarakat Mandar pada semua aspeknya. Penting untuk mengidentifikasi masalah riil yang hidup di kalangan rakyat biasa. Lalu mencari solusinya yang pas. Misalnya saja dalam hal kegemaran membaca para pelajar, mahasiswa dan rakyat pada umumnya. Apakah adanya cukup memadai untuk melancarkan tradisi menulis yang kadang begitu menggebu di hati para inteletual dan budayawan. Yang jadi masalah di negri kita ini, adalah “terlalu banyak penulis tapi terlalu sedikit pembacanya”. Kan sayang kalau tulisan yang bagus-bagus dari analekta hanya dibaca oleh kalangan terbatas, padahal pesan dan misinya pasti sangat bermamfaat juga bagi kalangan luas. Jadi dalam hal ini, disamping melakukan kegiatan menulis, membedah dan mendiskusikannya, perlu juga terus diupayakan peningkatan minat baca masyarakat, terurama di Mandar. Saya pikir kita semua menyadari masalah yang mendasar ini.

Agar semua keinginan dan cita-cita yang baik dan ikhlas para beruq-beruq bisa lebih menyata dan beroleh jalan, maka langkah strategisnya adalah bagaimana memperjuangkan kesetaraan gender, dalam arti, upaya penguatan peran perempuan Mandar dalam proses pengambilan keputusan pada ranah publik. Para beruq-beruq ke depan jangan hanya melulu bisa berpartisipasi atau beremansipasi dalam penentuan policy dengan memberi pandangan dan rekomendasi belaka, tapi juga bisa menjadi penentu kebijakan publik. Saya pikir dengan tetap memperkokoh persatuan dan memperkuat tekad perjuangan, peran penting itu akan didapatkan oleh para beruq-beruq kelak. Tradisi ‘Sibali Parri’ yang adalah landmark kesetaraan gender di Mandar akan menjadi betul-betul menyata dan berdampak luas, tidak hanya menjadi tradisi kaum nelayan dan marginal, tapi bisa diaktualisasikan atau dipraxiskan pada ranah politik dan pemerintahan.

Pada ranah global, sejak beberapa tahun lalu, telah meluas kesadaran bersama akan pentingnya berjuang untuk keluar dari perangkap ‘ maskulinisasi budaya’ yang lebih memberi angin pada pemenuhan kepentingan laki-laki. Dalam ranah sosial kenegaraan, terjadi apa yang disinyalir oleh Mila Stivens, proses “ penggenderan negara” ( Syamsul Arifin, Aura Wanita di Tengah Dominasi Euphoria Politik Kaum Maskulin). Dengan instrumen Ideological state apparatus yang dimilikinya, negara ikut menopang kokohnya tatanan patriarki. Sehingga tidak mengherankan apabila mekanisme rekruitmen elit beserta kebijakan yang dilahirkan tidak banyak menguntungkan kaum perempuan.

Walaupun telah banyak muncul LSM, para akademisi dari perguruang tinggi dan pusat-pusat studi wanita yang memperjuangkan kesetaraan gender dan pemberdayaan kaum perempuan, namun karena di Indonesia persoalan antropo-sosiologis demikain kompleks, permasalahan gender agaknya masih butuh perjuangan panjang dan determinasi tinggi. Beruntunglah di Mandar infrastruktur sosialnya, yakni konsep ‘ Sibali Parri’ telah lama tersedia, tinggal running dan dibuatkan action plannyanya saja. Salam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar