Selasa, 03 Desember 2013

SIRI' SEBAGAI KONSEP DIRI ORANG MANDAR




Sejak dulu Baharuddin Lopa telah mengatakan bahwa siri’ telah mengalami erosi makna, di mana hanya karena persoalan sepele orang mau saling berbunuhan. Mattulada bahkan mengatakan manifestasi dari siri’ hanya tinggal tersisa pada institusi warik, bagian dari pangaddereng ( sisitem sosial dan budaya orang Sulselbar ) yang mengatur masalah perkawinan dan kesusilaan. Tapi sepertinya siri’ yang terkait dengan warikpun di era digital ini sudah nyaris tinggal nama dan menjadi macam ompong. Terutama bila dikaitkan dengan besarnya kasus perselingkuhan, kumpul kebo dan perceraian yang terjadi di Sulselbar.

Mengapa hal tersebut bisa terjadi? Pastilah karena kita tidak lagi merawat dan membinanya. Siri’ sepertinya kita terima secara “ taken for granted” tanpa menyadari bahwa ia bisa aus dan terkikis oleh lingkungan dan jaman dekaden dan edan. Persepsi atas diri sendiri mengalami pergeseran akibat globalisasi, modernisasi dan derasnya arus informasi. Kita seperti kehilangan diri sendiri dan siri’ sebagai konsep diri dan konsep budaya, terabaikan dan tercecer dibelakang atau mengalami kultural lag. Kita sudah merasa telah berbuat untuk menegakkan siri’ kalu kita sudah menulis tentangnya di buku, media cetak dan media sosial. Atau kalau sudah membukukan dan menyanyikan lagu tentang siri, seperti,” tuna dao pepaule’/ mua’ diang diola/ insangngi siri/ di banuang na tau.

Terutama juga kita tak pernah menjadikan siri’ sebagai kesadaran individu dan kolektif yang berangkat dari pemahaman yang komprehensif dan mendalam tentang makna-makna dan nilai-nilainya yang aplikatif. Sering dikatakan bahwa orang yang “ andiang siri’na” itu adalah orang yang suka berbuat sekehendak hati dan tak bisa membedakan yang baik dan yang buruk. Halal serta haram. Suka korupsi dan menerima suap. Tapi kita jarang memberi interpretasi agamis, psikologis yang terbuka dan tuntas tentang apa itu “ siri” hubungannya dengan perilaku-perilaku menyimpang tersebut, guna memperkaya dan membumikan maknanya, lalu mensosialisasikannya lewat institusi pendidikan, dalam seminar-seminar, buku dan media sosial. Terutama untuk diinternalisasikan sejak usia kanak-kanak lewat bimbingan orang tua di rumah.

Dengan interpretasi agamis, itu akan menyentuh aspek spritualitas dan kerohanian manusia. Dan hujamannya akan lebih mendalam karena manusia adalah “ homo religious” kata para ahli. Siri’ sebagai konsep cultural dan konsep diri, menurut Islam harus dipelihara dan dijaga. Dari sudut pandang Islam, siri’ atau menjaga harga diri’ itu sama dengan menjaga syariat. Siri’ adalah bagian dari Iman. Menjaga harga diri dari segi ilmu akhlak adalah suatu kewajiban moral dan kesusilaan yang paling tinggi. Dalam Al Qur’an, Surah Al Israa’ mengatakan “ Dan janganlah mendekati zinah.

Siri’ sebagai martabat dan harga diri harusnya tidak muncul dari sifat mementingkan diri sendiri, tapi dari kebaikan hati dan rasa kemanusiaan yang tidak berat sebelah dan perwujudannya tak pernah berlebihan. Menurut baharuddin Lopa,” Manifestasi siri’ yang berlebihan tumbuh dari erosi makna siri’. Sesungguhnya menurut adat, adalah sangat terpuji memaafkan orang. Perbuatan siri’ yang berlebih-lebihan justru nenodai siri’ itu sendiri. Malu berbuat kejam dan malu memukul orang lemah adalah contoh dari siri’ yang sebenarnya.”

Siri’ atau martabat tidak boleh dikacaukan dengan kebanggaan, kesombongan, atau kecongkakan. Siri’ berasal dari perasaan manunggal dengan penciptaan suci. Martabat sejati memancar dari dalam diri kita. Kebanggaan, kesombongan dan keangkuhan bersumber dari hal-hal yang bersifat jasmani, seperti kekayaan, jabatan dan kekuasaan. Martabat sejati muncul dari kesadaran Rabbaniyah dan kemanusiaan. Hal ini diperoleh tidak dengan cara yang muluk-muluk, tapi dengan kesederhaan dan kerendah hatian. Kualitas yang memuliakan diri kita bisa didapatkan pada diri orang kaya maupun orng miskin. Tapi perlu diingatkan bahwa orang miskin menjadi kaya kalau memiliki siri’. martabat dan harga diri, dan orang kaya menjadi miskin tanpanya.

Siri’ adalah konsep diri dan budaya orang Mandar yang secara penomenologi merupakan persepsi atas realitas. Walau bukan realitas itu sendiri, namun begitu ia harus diyakini sebagai sebuah kebenaran yang menyatu dengan sifat dan karakter diri dan cultural orang Mandar. Ia dapat dikonstruksi dan didekonstruksi. Kita bisa menanamkan persepsi-persepsi positif di dalam benak dan jiwa kita dengan terlebih dulu mengeluarkan persepsi-persepsi yang negatif. Dengan melakukan ini maka kita sebenarnya telah melakukan realisasi kemanusian dan jati diri kita sebagai pribadi dan orang Mandar yang dinamis. Kita terbebas dari penjajahan koknitif dan persepsi negative yang ditimpakn orang atau pihak lain terhadap kita. Kita adalah kita sebagaimana kita memandang dan mempersepsikan diri kita.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar