Selasa, 19 Agustus 2014

MUSIK SPRITUAL SUFI DAN MANDAR


Dengarlah nyanyi sangsai Seruling Bambu
Mendesah selalu, sejak direnggut
Dari rumpun rimbunnya dulu, alunan
Lagu pedih dan cinta membara.

Seruling bambu bagi Jalaluddin Rumi, sebagai pengikut tarekat Maulawi, di mana musik ( sama’) dan tari merupakan ciri khas mereka yang terkenal, adalah simbol kekosongan jiwa dari keinginan sendiri (ego) dan dipenuhi ruh Ilahi. Jiwa yang diberkati itu, selama kehadirannya di dunia, selalu teringat akan persatuan dengan Tuhan yang telah dinikmatinya di alam keabadian dan rindu akan pelepasan dari dunia ini di mana ia seperti orang asing dan terbuang. Dalam masnawinya yang lain berjudul “ Musik Kenangan”, Rumi menulis :
Dikisahkan, seruling dan kecapi yang menawan telinga kita
Nadanya berasal dari perputaran angkasa,
Namun Iman, yang melampaui lompatan spekulasi,
Dapat mengerti merdunya tiap suara yang tak serasi

Kami yang bagian dari Adam, bersamanya mendengarkan
Nyanyian para Malaikat dan Muqarrabin.
Meski tumpul dan menyedihkan, ingatan kami
Masih menyimpan gema alunan nada surgawi.

Bagi Rumi, musik adalah hidangan para pencinta dan merupakan jalan untuk melakukan transendensi, kedunia sana, meninggalkan imanensi di dunia sini. Musik dan tari adalah medium penyampai pada Tauhid yang sesungguhnya, yakni penyatuan jiwa pemuja dan yang dipuja. Tapi umumnya para sufi akan menghubungkan pengaruh musik spiritual dengan pre-eksistensi jiwa, sewaktu mendengarkannya, seolah mereka mendengar kembali Firman Tuhan yang dijawab oleh seluluh jiwa manusia di alam baqa atau di hari Alastu

Menurut Andul Hadi WM, dalam tradisi intelektual Islam ada empat kecendrungan dalam kajian musik : Pertama, kajian musik sebagai pengetahuan kerohanian. Musik berfungsi sebagai pendidikan moral, memperkaya pengalaman keagamaan, asas spiritual, kosmologi dari estetikanya dan peranannya dalam adab ; Kedua, kajian ilmiah sebagaimana yang dilakukan oleh Al Farabi, Ibnu Sina, Ibn Zayla, Safiuddin al-Usmawi, Safiuddin Abdul Mu’nim, dll ; Ketiga, kajian literer dan ensiklopedis. Misalnya kehidupan para musisi, penyanyi, penyair dan karya-karya mereka; Keempat, kajian teoritis mengenai praktek musik dan cara-cara terbaik menggunakan instrument.

Kajian ilmiah musik Islami sejatinya telah menjadi dasar pengembangan musik barat modern, sebagaimana yang dideskripsikan oleh Karl Edmund Prier SJ dalam bukunya ‘ Sejarah Musik’ “ Dari Spanyol Islam, kebudayaan mulai tersebar ke Eropah yang waktu abad 8 masih sangat miskin dalam bidang budaya. Pada waktu itu para pemusik Eropa mengetahui teori musik Yunani hanya lewat beberapa fragmen naskah saja, sedangkan orang Arab memiliki uraian lengkap sejak abad ke 8. Antara abad 8 sampai 15 oleh orang Arab ditulis 260 karya musik, banyak diantaranya tentang teori musik , di Eropa tidak terdapat satupun…..Dua karya Alfarabi diterjemahkan dari bahasa Arab ke dalam bahasa Latin berjudul, De Scientiis dan De Ortu Scientiarum dan kemudian menjadi bahan penting pada tempat pendidikan Eropa …….Teori Arab menjadi sumber perkembangan ilmu akustik Eropa. Pada sekolah-sekolah Islam di Spanyol waktu itu, musik diajarkan sebagai bagian dari ilmu pasti..”

Tapi jenis kajian yang pertamalah yang kemudian dianggap menjadi icon musik Islami dan berdiaspora kesegenap wilayah-wilayah timur di mana Islam menjadi mayoritas, termasuk di Indonesia. Jika dirunut gelombang kedatangan Islam pertama yang bertitik tolak dari Irak atau Persia pasca jatuhnya Baghdad oleh tentara Mongol di tahun 1258, maka yang datang itu kebanyakan kaum sufi yang tergabung dalam ‘taifa’ (organisasi dagang) yang juga bertugas melakukan penyebaran Islam secara damai. Secara umum, memang Islam yang kemudian berkembang di Indonesia ialah Islam mashab Syafi’I dengan jiwa tasawuf yang kuat. Dengan karakter lembut dan luwes, tanpa aroma kekerasan dan eksklusivisme Dan sampai kini pengaruh tasawuf itu masih kuat dan luas, kendati telah diselingi dengan gerakan pembaharuan yang dipengaruhi Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh atau Rasyid Ridha.

Pengaruh tasawuf yang masih sangat kasat mata adalah adanya pembacaan Barzanji dan Qasidah Burdah pada setiap perayaan Maulid. Sedang yang dominan di masa kerajaan adalah eksisnya aliran filsafat-tasawuf ‘Wahdatul Wujud’ dari Ibnu Arabi yang mengejawantah pada Hamzah Fansuri di Aceh dan Syech Siti Jenar di Jawa dengan konsep ‘ Manunggaling Kaula Gustinya’, yang juga berpengaruh adalah aliran’ Nur Muhammad’ yang mengambil dari ajaran Isyroqiyyah Suhrawardi.

Jika melihat banyaknya penyebar Islam di Mandar dari kalangan tarekat, seperti, Naqsyabandiah, Kadiriyah, atau Syaziliyah, maka kita bisa berasumsi, bahwa dalam perjalanan dan perkembangannya, musik tradisional di Mandar telah diperkaya oleh tradisi musik sufi atau musik spiritual ala Jalaluddin Rumi atau kaum sufi lainnya. Ciri minimalis, kadang bermain hanya dengan satu kacaping, atau rawana, pengulangan yang kerap tanpa tahu awal dan akhir lagu yang adalah simbol ‘ ketak terhinggaan Allah ( Infinite), cara bermain dengan khusyu, dalam suasana hati yang riang ( tawajjud) yang merupakan bagian dari konser kerohanian sufi, sangat kental dalam musik tradisi Mandar.

I Cammana dengan rawananya Tombo Palua, Marayama dan Satuni dengan kacapingnya , sejatinya lewat lagu-lagu dan musik mereka yang Islami dan sufistik , telah dan sedang memanggil kita untuk kembali ke taman surga yang sangat luas dan kebahagiaan yang telah dinikmati jiwa selama tinggal di sana, dan mengaduk-aduk kerinduan kita untuk terbang ke sana dan bergabung kembali dengan pasangannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar