Sabtu, 16 Agustus 2014

KEMERDEKAAN

Apakah kemerdekaan yang hakiki telah benar-benar kita genggam? Ataukah masih dalam kondisi ‘ bertukar tangkap dengan lepas’ meminjam istilah Amir Hamzah. Yang pasti kitalah yang harus memberi makna ‘apa arti ribuan, bahkan mungkin jutaan nyawa yang mati demi kemerdekaan Indonesia, ( Khairil Anwar dalam Krawang-Bekasi). Seharusnya jika kita meyakini bahwa kemerdekaan kita adalah anugerah Allah Swt, maka apapun kondisi dan sifat kemerdekaan kita, patut kita syujuri, “ Alam nasyrah laka shadrak, Wa wadha’naa ‘anka wizrak, Al ladzii anqadha zhahrak?….( Bukankah telah kami lapangkan dadamu bagimu, Dan kami hilangkan bebanmu daripadamu, Yang memberatkan punggungmu?)

Kita memang tahu dan mau berjuang serta berkorban ketika dalam keadaan kita ingin ‘merdeka dari’ ( free from). Tapi kini kita seperti tak tahu ‘ merdeka untuk apa’ ( free for ). Pembacaan kita yang tidak tuntas atau setengah hati terhadap konstellasi politik dan perekonomian dunia, telah membuat kita berada dalam keadaan bingung atau ada di simpang jalan terus. Waktu berusaha merebut kemerdekaan, kita memang seperti piawai menjawab musuh yang berdiri di hadapan yang selalu ingin memangsa kita. Kolonialisme yang kapitalistik, kita terjang dengan pagelaran kekuatan nasionalistik dan sosialistik, dan lalu kita menang dan merdeka, berbarengan dengan kekalahan kapitalis-fasisme Jepang oleh sekutu, musuh meninggalkan bumi pertiwi , sebuah sorga di Bumi yang telah membuat para penjajah kaya raya karena malakukan eksploitation d’lhome par lhome.

Setelah proklamasi, dimana kita masih ibarat bayi yang baru dalam panyapihan, kita dengan gagah berani segera mencanangkan demokrasi liberal yang bertumpu pada persaingan antar partai di parlemen, tanpa analisa yang memadai terhadap konstellasi politik dan ideologi dunia saat itu yang masih terbagi dalam dua kutub ( bipolar). Kita ibarat masuk kedalam perangkap system kapitalis yang kolonialistik dan imperialistik. Kita memang tak boleh kuat, bersatu dan kompak saat itu. Kabinet yang jatuh bangun, perundingan yang kerap, serta munculnya dua UUD, dalam masa pasca kemerdekaan hingga datangnya dekrit 1959, adalah tanda betapa rapuh dan lemahnya kemerdekaan kita yang tidak ditunjang oleh tinjauan rasional yang kuat, melainkan emosional yang menonjol.

Sukarno yang tahu dan sadar bahwa kita belum pada saat yang tepat untuk masuk ke dalam pusaran ‘demokrasi liberal’ segera tampil dengan langkah-langkah revolusioner yang drastis, tanpa kompromi. Kembali ke UUD 45 dan melaksanakan ‘demokrasi terpimpin’ adalah jalan keluar yang dianggapnya pas dan ampuh untuk kita tidak berlama-lama diobok-obok kaum kapitalis-liberal. Beliau memainkan kartu truf dengan mendekati atau menunjukkan kedekatannya dengan Peking atau Moscow yang adalah musuh dan penentang utama camp kapitalis dunia. Dan dalam hal itu, Sukarno tidak sendiri, hampir semua pemimpin negara-negara berkembang atau ‘ new emerging force’ melihat bahwa USSR atau China adalah alternative sekutu agar tak kehilangan jati diri, nasionalitame dan asset-asstnya ditelan negara’negara yang disebut Sukarno,’ Old Established force’, dideretan itu ada : Nehru, Nkrumah, Gamal Abdel Nasser, Patrice Lumumba, atau Tito dari Jugoslavia.

Namun base camp kaum ‘NEF’ agaknya dengan cepat bisa diacak-acak oleh ‘OEF’. Rusia atau China, rupanya tidak bisa diandalkan sebagai dewa penolong bagi mereka. Dengan pelan tapi pasti ekonomi dunia sedikit demi sedikit bisa dibebaskan dan dihalau rame-rame memasuki ekonomi pasar bebas yang sangat liberal. Semua negara-negara dan seluruh system politik yang ada harus menyesuaikan diri dengan skema perkonomian dunia yang mengarah ke pasar besas minus proteksi negara. Bahkan China dibawah Dheng Xiaoping mengadopsi ekonomi pasar bebas, di sampimg ekonomi sosilis-komuniistik, ( satu negara dua system). Reaganomics yang dicanangkan Presiden AS, Ronald Reagan, dengan credo’ the enemy to progress is government’ segera merajalela dan melibas semua negara yang mencoba menutup diri dan bertahan dengan system sosialistiknya. Apalagi dengan runtuhnya komunis Rusia di tahun 1991, Semua negara mau tidak mau harus memilih antara prinsip ‘Asosiatif’ atau ‘Disosiatif.

Namun pola disosiasi merupaka suatu pilihan yang sangat sukar ditempuh sebagian besar negara-negara berkembang. Dengan runtuhnya rezim ekonomi sosialis internasional, maka tersisalah system ekonomi liberal bertengger di langit perekomian dunia. Pola asosiasi adalah keniscayaan agar ekonmi negara tak kolaps. Dengan Liberaliasi perdangan Internasional ( GATT) dan juga dengan adanya WTO, Interdependensi dan kerjasama internasional adalah keharusan baru yang sungguh mengandung banyak resiko. Semua negara termasuk Indonesia mesti bersikap pragmatis dan membuka diri. Siap tidak siap, harus bersaing secara bebas di pasar global. Modal asing tak bisa dibendung lagi sehingga asingisasi terjadi pada setiap lahan basah dan produktif di negara Republik tercinta.

Sekarang kita begitu tergantung pada perusahaan dan negara asing. Kita harus akui dengan jujur bahwa bangsa ini sudah dijajah lagi oleh bangsa asing. Kalau dulu hanya Belanda dan Jepang yang langsung menjajah kita, sekarang ini banyak sekali bangsa asing yang membekap kita, hingga nyaris tak bisa bernafas sendiri. Kita jadi bancakan asing. Aqua atau airminum dikuasai Danome Perancis, teh sariwangi oleh Unilever Inggeris, Susu SGM oleh Numico Belanda, bahkan rokok Sampurna oleh Philips Morris dari Amerika Serikat. Belum lagi bicara pangan, dari mulai beras, buah, tempe, cabe bahkan garam kita impor. Jangan tanya industry strategis seperti Indosat, Telkomsel dan perbankan, perkapalan, semua milik asing. Ekspor bahan baku kita semua kalah bersaing di luar, coklat kalah dengan sebuah negara Afrika, Ghana, kelapa sawit oleh tetangga Malaysia, Pertamina kalah oleh Petronas Malaysia, kita hanya unggul dan terbesar dalam ekspor kuli, PRT dan unskilled labour lainnya.

Sampai di sini saya berhenti dan kembali bertanya, “ apakah kita telah benar-benar merdeka?” Apa arti kemerdekaan politik jika secara ekonomi kita terbelenggu? Namun apa pun yang terjadi pada Republik tercinta ini, kita wajib berprinsip ‘ Right or Wrong is My Country dan mengucapkan, “ Dirgahayu Kemerdekaan RI yang ke 69”



Tidak ada komentar:

Posting Komentar