Jumat, 15 Agustus 2014

MUSIK LIRIH MARAYAMA DAN SATUNI

Membaca kunjungan Alvi Yanita dkk kekediaman dua Pakkacaping Towaine Mandar, Marayama dan Satuni, ada rasa bangga sekaligus haru meluang di hati. Tidak mudah bagi anak muda atau orang Mandar umumnya untuk mengingat dan memberi apresiasi yang pantas bagi seniman-seniman yang sudah sepuh, kendati telah memberi hidup dan kesetiannya bagi kelangsungan musik tradisi. Gerangan apa yang mendorong Alvi dkk bertindak tak biasa itu? Tentu saja semua yang dilakukan, termasuk menuliskan kunjungan itu di fb, tidak berangkat dari kevacuman atau muncul begitu saja dari ruang hampa.

Saya mensinyalir bahwa musik kacaping Marayama dan Satuni telah menjadi musik alam semesta dan telah menyatu dengan cosmos, serta mengandung kegaiban sebagaimana galibnya musik-musik tradisional. Kendati kedua maestro kacaping itu sedang vacuum dan berada pada jeda aktualisasi, namun, gema musiknya yang diam dan mengalir dalam ruang dan waktu telah memasuki dan merasuki indera dan tubuh Alvi cs, lalu mengaktivasi pendengaran sehingga musik Marayama dan Satuni terdengar dan menyata bagi mereka. Ya, Alvi telah mendegar suara itu secara aktif, dan tanpa sengaja telah mengikuti jejak John Cage untuk mengajak kita mau mendengar dan perduli pada musik lingkungan yang berada pada radius ‘soundscape’ atau pemandangan bunyi. Musik yang telah menyatu dengan kosmos atau lingkungan tertentu pada dasarnya tidak raib dan hilang begitu saja, ia akan berbunyi setiap saat di hati para apresiator yang peka dan perduli.

Memang tak ada karya jika tak mendengar, begitu credo Cage, dan Alvi Yanita, Unis Sugena juga yang lain telah mendengar musik kacaping Marayama dan Satuni, yang mengantarkan untuk melakukan anjangsan atau kunjungan itu, sebelum keduanya kembali aktif berperan sebagai pemain yang musiknya mendominasi pendengaran. Berangkat dari konsep musik ‘ Sound Art’ atau ‘Suara Puitik’, maka musik kacaping Marayama dan Satuni ibarat suara lirih yang samar terdengar bercampur dengan suara lingkungan yang juga butuh kita dengar.

Musik kedua maestro kacaping itu bukanlah musik rock yang keras atau disco yang menghentak sehingga memaksa kita untuk mendengarnya sekaligus menguasai kita. Musik mereka seperti musik tradisi pada umumnya hanya musik kecil yang tak suka menonjolkan dan membesarkan diri, hanya menghimbau agar kita mau mendengar serta memperhatikannya dengan sengaja dan segenap nawaitu kita. Musik kecil dan lirih atau musik puitik itu juga berfungsi sebagai jalan masuk untuk mendengar suara-suara lingkungan; alam dan manusia yang terpinggirkan dan terabaikan selama ini. Jadi dibalik kesederhanaan musik, ada tersimpan energy yang mampu mengajak kita berdialog dengan suara lingkungan alam dan manusia. Justru kelirihan dan bisikan musik kacaping punya daya dorong yang besar untuk menjadikan pendengarnya menjadi makhluk yang peka dan perduli pada alam dan kebudayaan.

Tak seperti musik rock atau dangdut misalnya, kendati bermuatan protes dan kepedulian sosial yang sering banal dan vulgar dalam lirik-liriknya, namun biasanya para pendengarnya malah larut dalam emosi dan eksentrisitas para pemainnya. Boro-boro mau melakukan kontemplasi atau merenungi kata-kata dan musik sang idola, kebanyakan para penontonnya malah pada tawuran karena pengaruh minuman keras atau merusak dan membakar lingkungan, seperti pada konser metalica di Lebak Bulus Jakarta belasan tahun lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar