Rabu, 04 November 2015

OJEK DAN GOJEK PILKADA

Tak ada ajang sosial yang lebih heboh dan begitu hiruk-pikuk di Indonesia selain ajang pemilu atau pilkada. Dan pilkada serentak yang sebentar lagi dihelat, adalah yang paling banyak menimbulkan problem. Hampir selama setahun ini orang meributkan berbagai hal yang terkait dengannya. Dari masalah kandidat hingga anggaran, sampai kini belum beres semua, malah ada calon yang masih berurusaan dengan MK, dan 22 daerah dari 269 kabupaten/kota yang akan berpilkada yang masih terkendala soal penganggaran. Tampaknya banyak permasalahan yang timbul karena sifat simultannya itu. Bila satu daerah saja melaksanakan pilkada pada satu waktu sudah banyak masalah, apatah pula yang serentak dilaksanakan di 269 kota.

Maka pemerintah, cq KPUD, bawaslu/panwaslu, pers, masyarakat sipil harus lebih banyak pasang mata lagi untuk memantau puluhan atau ratusan juta yang terlbat langsung atau tidak langsung dalam ajang kontestasi kepemimpinan itu. Artinya mereka harus bekerja ekstra keras katimbang hanya menghadapi beberapa pilkada saja. Saya sampai tak tahu menamakan sifat dari pilkada serentak ini. Apakah akan lebih efisien tapi tak efektif, atau efektif tapi tak efisien, pokoknya mengkhawatirkan dan merunyamkan hati. Intinya, memilih calon pemimpin daerah dalam jumlah puluhan tentu akan lebih berhasil guna dan berdaya guna, katimbang merekrutnya dalam jumlah ratusan. Apalagi melibatkan pemilih atau penyelia dalam jumlah yang spektakuler dengan karakter dan tujuannya masing-masing yang kadang punya kepentingan pribadi terselubung yang tak mengindahkan idealisme dalam rangka demokratisasi dan political equality di daerah.

Beberapa bulan lalu, Mendagri, Cahyo Kumolo menegaskan lagi penting dan perlunya netralitas PNS, TNI/POLRI di ajang pilkada serentak nanti, 9 Desember 2015. Artinya jangan sampai ada dari tiga golongan aparat pemerintah itu ikut ‘ngojek pilkada’ dimana mereka dengan terselubung mendukung salah seorang kandidat karena iming-iming materi dan jabatan. Ada banyak cara yang bisa dilakukan pengojek pilkada ini, misalnya dengan membuat acara peringatan ini-itu, seminar atau diskusi macam terkait prospek pembangunan, sosial-budaya, politik, ekonomi atau demokratisasi. Nanti dalam acara itu tau-tau akan muncul calon kepala daerah yang didukungnya memberi pidato pembukaan, pengarahan, atau jadi nara sumber atau jadi sponsor acara. ini bisa terjadi karena banyaknya ormas yang menjadi underbow parpol politik yang punya hak istimewa untuk ikut ajang pilkada. Saya katakan istimewa, karena calon independent sekarang ini masih problematis bagi eksistensi parpol yang memang paling sering meributkannya. Disini seorang PNS atau TNI/POLRI bisa bermain dibelakang layar atau melakukan aksi terseleubung terkait pemenangan sorang calon incumbent atau non incumbent.

Salah satu juga yang telah menjadi fenomenal di masyarakat adalah kemunculan Gojek sebagai sarana angkutan rakyat yang murah,dan cepat. Sejatinya gojek dan ojek sama-sama illegal, karena kendaraan roda dua tidak bisa menjadi sarana angkutan umum. Tapi entah kenapa ojek versi online yang inovatif itu bisa beroleh izin operasi. Sehingga mendapat cita resmi katimbang ojek pangkalan. Antusiasmu dan ketertarikan masyarakat jadi penggojek dan penumpangnya, tak pelak lagi menimbulkan kecemburuan sosial dari rivalnya, ojek pangkalan, yang diikuti dengan tindakan kekerasan sepihak dari sementara tukang ojek, lalu dibalas lagi dengan aksi solidaritas para penggojek, yang menambah heboh keberadaan gojek itu sendiri.

Dan kebanyakan para PNS, TNI/POLRI hanya bisa menjadi seperti ‘ Gojek ‘ saja yang mengantar seseorang berdasarkan order. Artinya sang gojek ini harus patuh dan mendukung atasannya secara tidak resmi dan bersifat illegal tentunya, calon incumbent, tak boleh mendukung calon lain, jika tidak, maka akan dipecat, dimutasi atau tak dipakai lagi nantinya, sebesar apapun konpetensi dan skillnya sebagai pekerja negara. Jadi prinsip monoloyalitas seperti di jaman orba tetap saja masih berlaku di negri yang memimpikan demokrasi ini. Anehnya, ada atau tidak dukungan yg bersifat tidak resmi itu, akan beroleh akibat yang resmi. Bentuk dukungan para gojek pilkada itu tidak harus dengan membuat acara-acara seperti di atas, tapi dengan menghimbau kaum kerabat saja untuk memilihcalon incumbent, maka itu akan memberi efek yang significan bagi perolehan suara incumbent dalam ajang pilkada nanti, dan itu tentu susah dikontrol, makanya posisi para incumbent sangat diuntungkan. Hanya satu cara untuk menghentikan calon pemenang ini, adalah dengan karakter assasination atau membuat tuduhan palsu akan keterlibatannya dalam tindak kejahatan tertentu, seperti yang terjadi di salah satu kabupaten/kota di provinsi Jawa-Timur, terhadap calon incumbent yang telah lama populer dan disukai rakyat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar