Sabtu, 01 Januari 2011

PERJALANAN HUSNI JAMALUDDIN

 


Peran Husni Jamaluddin disingkat HJ, dalam proses pembentukan provinsi Sulawesi Barat tidak diragukan lagi. Bahkan HJ bersama-sama dengan tokoh-tokoh lain, seperti almarhum Baharuddin Lopa, alm Maraqdia Malik Pattana Endeng, Rachmat Hasanuddin, Gubernur Anwar Adnan Saleh dan banyak lagi yang tak sempat disebut namanya, telah dinobatkan sebagai pejuang-pejuang Sulbar. Hal ini merupakan pengakuan pada sebuah energi dan prosesi kerja yang panjang dan tak kenal menyerah.

Mengapa para pejuang dan masyarakat Sulbar begitu mendambakan sebuah provinsi sendiri. Tentu saja ada berbagai motivasi dan harapan yang mendasarinya. Namun motif ekonomi, politik dan budayalah yang paling dominan dalam mengkristalkan kemauan untuk mewujudkan provinsi Sulbar. Ada satu keinginan tulus dan sungguh yang bersifat kolektif untuk menata sendiri satu pemerintah daerah provinsi dalam rangka mengejar ketertinggalan dibidang kesejahteraan, kedewasaan budaya, demokrasi serta emansipasi dibidang sosial-politik.

Akan hal perjuangan kebudayaan yang melatari dan ingin dicapai oleh masyarakat Sulbar, maka dapat dikatakan bahwa HJ yang lahir di Tinambung tahun 1934 itu, adalah Iconnya. Sebagai lonely fighter, bibit kritisisme dan progresivitas telah tertanam di jiwa HJ sejak masa belianya. Pada waktu sekolah menengah atas di Jakarta, HJ telah mengasah kepekaan dan kecendekiaannya sebagai seorang penyair. Dan bakat kepenyairannya memperoleh landasan kokoh setelah memenangkan lomba penulisan puisi antar pelajar se-Jakarta Raya dengan judul puisi, 45-54.

Periode HJ di Jakarta tentu saja tak akan lepas dari pengaruh arus pemikiran di jamannya. Saat itu, tahun 50-an adalah saat dimana semangat liberalisme begiti meninggi dibidang politik dan kebudayaan. Di bidang politik kabinet jatuh bangun dalam hitungan bulan. Terjadi instabilitas, nasionalisme mengalami cobaan hebat. Nilai-nilai keagamaan dan tradisi yang dimasa pergerakan bersatu dalam term nasionalisme, pada masa pasca kemerdekaan mengalami keterpecahan. Mulai muncul isu-isu kedaerahan yang bersilang tukar dengan semangat fanatisme agama. Dan sebagai klimaks dari perseteruan ideology berkepanjangan tersebut, adalah langkah rekonsiliasi otoritarianisme Soekarno yang mengeluarkan dekrit kembali ke UUD 45 di tahun 1959.

Di bidang kebudayaan generasi tahun 50-an cenderung merayakan pribumisasi dengan mengukuhkan kepribadian dan kemandirian. Ini adalah antitesis terhadap prinsip universalisme yang diteriakkan oleh generasi 45, Khairil Anwar dkk” Kami adalah pewaris kebudayaan dunia ”.

Kecenderungan berkiblat kebarat  ini mendapatkan perlawanan hebat dari generasi atau angkatan tahun 50-an yang mau lebih realistis dan membumi. Generasi ini lebih condong memposisikan diri sebagai corong ideologi tertentu. Dengan prinsip seni untuk rakyat, ideolog aliran ini, Nyoto mengatakan ” Tidak perduli siapapun yang menciptakan hasil kesenian, yang penting adalah bagaimana mengusahakan supaya rakyat banyak dapat menikmati hasil-hasil senimannya. Gagasan seni kerakyatan ini kemudian mewujud dalam Lembaga Kesenian Rakyat ( Lekra ).

Di tengah perseteruan dua kutub, yakni kutub Individualisme vs Kolektivisme ini, muncul sebuah gagasan besar dan orisinal yang dipelopori oleh Sutarji Calzoum Bachri dkk, yaitu gerakan kembali keakar tradisi dan agama. Gerakan ini menentang kecendrungan totolitarian seni dari Lekra dan prinsip seni untuk seni dari kalangan Humanisme Universal.

Di taman budaya inilah HJ menemukan habitatnya. Tentu saja setelah melalui pergulatan batin yang intens selama di perantauan. Sebagai seorang muslim yang taat  dan orang Mandar yang rendah hati, HJ tentu enggan untuk larut dalam idealisme ataupun realisme yang radikal. HJ tentu tahu persis prinsip jalan tengah Islam dalam segala manifestasinya. pahamnya ini lalu mengkristal seiring dengan kepulangannya ke Makassar. Di sini HJ  mulai memainkan perannya sebagai seniman dan intelektual yang peka, kritis dan patut diperhitungkan.

Pada periode Makassar tahun 70-an inilah HJ  menemukan bentuk pengucapan diri yang otentik, dengan wawasan ke-Islaman yang bercorak Perennial disamping corak kedaerahannya, yang dicirikan dengan persajakan mantera yang penuh pengulangan2

Realisasi diri ini sekaligus adalah oposisi langsung terhadap berhala modernisme, individualisme dan totolitarianisme seni.

Paham perennial itu tampak pada ketidak gamangannya menulis sajak-sajak dengan tema-tema Mitology, Budhisme dan Kristiani. Lihat sajak-sajak Bila To Manurung  balik ke langit, Budha dan Salib. Namun pada sajak-sajak tersebut akan dibaluti dengan problem kemanusiaan yang dalam, seperti dalam sajak Salib ; ” Yesus / kembali ke Golgota / melewati Via Dolorosa / kepada serdadu Romawi / yang dititipi mahkota duri / Yesus berbisik / salibkan aku sekali lagi”.

Memang credo kepenyairan HJ sebagaimana yang dituturkan oleh putri beliau Dra. Yundini Erwin pada penulis, adalah pemikiran tentang hubungan manusia –manusia, manusia – Tuhan.

Seperti juga sastra Melayu, sastra Mandar juga besar pengaruh sastra Tasawwufnya. Dalam karya-karya sufi Ibnu Arabi, Jalaluddin Rumi dan Hamzah Fansuri, imaji laut dan pantai, matahari dan malam adalah asosiasi perjalanan hidup manusia menuju Tuhannya. Pada HJ, gaya sufistik itu terdapat dalam sajak Pantai ; Sebuah pantai tak berlaut / tempatku terdampar / dalam perjalanan ke matahari / sebuah laut tak berpantai / tempatku berlayar / dalam rindu malam hari.

Pada periode ini, gejala etnisitas ke- mandaran HJ belum begitu kentara. Walaupun pada sajak ” Orang tua” dapat ditafsirkan seolah sebuah nubuat perjalanan batinnya ke Mandar. Dalam sajak itu seperti ada rasa keterkungkungan  yang mencari jalan pembebasan. Coba simak cuplikannya, ” Orang tua menyekap / anak-anak yang kurang ajar / didalam kamar / yang pengap.

Sebagai seorang intelektual yang mencintai kebebasan, pikirannya tentu akan terus berproses mengikuti gerak kehidupan. Intelektualitasnya yang berkesadaran, kritis dan progressif telah mengantarkannya pada keterlibatan dalam perjuangan pembentukan provinsi Sulbar yang memperoleh momentum pada pasca reformasi. Tentu saja bagi HJ alasan keterlibatannya bersifat rasional, bukan berdasar chauvinisme, xenophobia dan emosional. Boleh jadi alasan HJ itu sama dengan apa yang sering dikatakan oleh Gubernur Anwar Adnan Saleh, masalah rentang kendali pemerintahan yang perlu diperpendek dan diefektifkan

Pada periode ini yang saya sebut periode Mandar, HJ telah menjadi inspirator sekaligus aktivis  perjuangan pembentukan provinsi Sulbar. Disini watak kemandaran HJ telah menyatu dengan spirit ke Islaman dan kemanusiannya  yang lalu melahirkan ”etos Hijrah”.

Dan setelah bertahun, berwindu menapaki jalan sunyi, merenung, menulis dan bermimpi tentang ” Eldorado ”, sampai juga ia ke tanah harapannya, dimana disana segalanya berawal dan berakhir, ketika Tuhan menyapa dan memanggilnya....


Syafiyullah Pilman


2 komentar:

  1. saya suka tulisan-tulisan beliau

    BalasHapus
  2. ya...beliau memang seniman dan budayawan komplit dan handai,,,makasih atas konennya..

    BalasHapus