Senin, 20 Januari 2014

STRATIFIKASI SOSIAL MANDAR

Apabila Imam Lapeo akan menerima seorang murid, maka terlebih dulu si calon santri akan disuruh untuk melakukan sesuatu yang diharap akan mengempiskan egonya sebagai manusia. Tak perduli anak seorang raja, bangsawan atau anak orang biasa, ia akan disuruh menjual sayuran di pasar. Di sini beliau mencoba mendekontruksi mentalitas feodal dan menyaran suatu masyarakat egalitarian, di tengah realitas perbedaan berdasar stratifkasi social masih begitu ketat dianut orang Mandar sejak dulu sampai kini. Tentu beliau bukan bermaksud mengabaikan keberadaan kerajaan atau bangsawan hadat, tapi agar muridnya tidak sombong, merasa lebih tinggi atau mulia dari yang lain. Pastilah beliau faham betul arahan Qur’an, bahwa Kemuliaan seseorang ditentukan oleh taqwanya.
Budaya berbasis keraton sekarang ini malahan mengalami revitalisasi kendati gelombang demokratisasi sedang mengkosolidasi diri di mana-mana. Sejatinya sistem kerajaan di Mandar dulu secara substansial hampir sama dengan sistem monarki konstitusional Inggris, Jepang atau Thailand, dimana raja hanya simbol dan tak punya kekuasaan mutlak atau absolut. Meski ada juga perbedaannya. Dalam praktek pemerintahan kerajaan di Mandar, mara’dia adalah ibarat seorang nakhoda perahu, sedangkan pemilik perahu para bangsawan hadat ( Ana’kodai mara’dia, to ilopi se’i ada’). Hadat juga berfungsi seperti MPR/DPR yang mengawasi serta bisa memakzulkan raja bila mana perlu.
Sejak perang Paderi, Diponegoro atau perlawanan Aceh, Belanda berkepentingan untuk meredusir dan menetralisir pengaruh gerakan Islam yang dianggap sebagai faktor pemersatu yang ampuh guna berdirinya sebuah republik Indonesia. Maka mereka memamfaatkan budaya etnik dengan segala hukum adatnya untuk membendung Islamisasi yang telah terjadi di Nusantara sejak kejatuhan Baghdad ke tangann bangsa Mongol di tahun 1250, dan juga oleh jatuhnya Malaka ketangan Portugis. Di Jawa Islamisasi terjadi kian gencar sejak munculnya Demak menggantikan Majapahit yang runtuh dari dalam.
Dalam proses Islamisasi itu, semua kerajaan-kerajaan di Nusantara menjadikan Islam sebagai landasan sosio kulturalnya bersama dengan budaya dan adat masing-masing. Hingga dalam kerangka itu terciptalah Tamadun atau Civil Society yang memacu berkembanganya kebudayaan, kesenian, kesusastraan, kerajinan, pertanian, dll. Tapi semua itu mangalami keterpecahan pada tahun 1800, tahun dimana titik awal kolonialisme dimulai. Politik devide et impera dilakukan untuk memisahkan elemen pemersatu, seperti Islam dari etnonasionalisme sebagai proto nasionalisme. Masyarakat jajahan dibagi dalam tiga strata, orang Eropah, Timur Asing dan Pribumi. Eksistensi Islam pun sebagai salah satu landasan sosio cultural dipinggirkan atau diberangus.
Jadi sejatinya proses pribumisasi Islam telah terjadi sejak jaman Belanda. Dengan licik Snouck Hurgronye, masuk kekantong-kantong Islam seperti di Aceh untuk mempelajari Islam dan hukum Islam suntuk mencari kelemahan struktur dan kulturalnya. Puncaknya adalah munculnya Van Vollenhoven yang mengintrodusir Sembilan belas wilayah kesatuan hukum adat di seluruh Nusantara. Salah satunya adalah wilayah persekutuan hukum adat Sulawesi Selatan. Semua itu dilakukan dengan hanya berdasar pada pengetahuan hukum adat dan telaah antropologis yang dangkal dan dipaksakan. Sehingga melupakan realitas eksistensi persekutuan adat lainnya, seperti persekutuan adat Mandar.
Stratifikasi sosial adalah istilah asing yang diintrodusir dan diangkat untuk tujuan politik, bukan ilmiah. Pelapisan sosial di Mandar adalah tulisan seorang sarjana Belanda, J.J Friedricy. Di bawah ini adalah konstruksinya :
A. Todiang Layana ( zij die vorstenblod hebben )
1. De Arajang ( de regeerende vorstengeslacht)
2. De Ana’ Pattola Payung ( de opvolgers van het zonneschem. Nakomelingen van zuiver bloed van vorige vorsten ).
3. De Mara’dia Tallupparapa’ ( de die kwart mara’dias)
4. De Puang Sassigi’ ( de halve heeren)
5. De Puang Siparapa’ ( de kwart heeren)
B. Tau Mara’deka ( bevrigen)
1. De Tau Pia ( regenten adel)
2. a. Tau Pia Nae ( hoogere hoofdengelachten)
3. b. Tau Pia ( lagere hoofdengeslachten)
C. Batuwa
1. Batuwa Sassorang, budak turun temurun ( erfslaven)
2. Batuwa Nialli, budak yang dibeli ( nieuwe slaven)
D. Batuwa Inranang ( menjadi sahaya karena kalah perang atau karena berutang).

1 komentar:

  1. A. Todiang Layana ( zij die vorstenblod hebben )
    1. De Arajang ( de regeerende vorstengeslacht)
    2. De Ana’ Pattola Payung ( de opvolgers van het zonneschem. Nakomelingen van zuiver bloed van vorige vorsten ).
    3. De Mara’dia Tallupparapa’ ( de die kwart mara’dias)
    4. De Puang Sassigi’ ( de halve heeren)
    5. De Puang Siparapa’ ( de kwart heeren)
    B. Tau Mara’deka ( bevrigen)
    1. De Tau Pia ( regenten adel)
    2. a. Tau Pia Nae ( hoogere hoofdengelachten)
    3. b. Tau Pia ( lagere hoofdengeslachten)
    C. Batuwa
    1. Batuwa Sassorang, budak turun temurun ( erfslaven)
    2. Batuwa Nialli, budak yang dibeli ( nieuwe slaven)
    D. Batuwa Inranang ( menjadi sahaya karena kalah perang atau karena berutang).

    Berikan saya penjelasannya dari itu semua di atas terima kasih

    BalasHapus