Selasa, 18 Maret 2014

FENOMENA CALEG ARTIS


Ketika diundang berbicara pada diskusi bulanan sebuah ormas Islam terbesar di negeri ini di Hotel Lumire, seorang capres yang sedang meroket nama dan posisinya saat ini tak bisa menutupi kekecewaannya pada banyaknya caleg dari kalangan artis pada parpol-parpol berbasisi massa Islam. Selanjutnya beliau mengatakan,” saat ini ideologi ormas Islam perlahan mulai bergeser dari dakwah. Bahkan, parpol Islam lebih terkesan hanya mementingkan perebutan kekuasaan semata.”


"Sekarang ini kita sudah mulai sedikit menjauh, atau proses menjauh atau memang sudah menjauh dari medan dakwah. Dan terus terang banyak yang ketarik ke arah yang politis, ke parpol, sehingga medan dakwahnya sedikit. Saya memang tidak mengkritisi secara khusus, tapi memang ada kecenderungan sedikit menjauh dari medan dakwah," ujar Jokowi saat menghadiri diskusi bulanan NU di Hotel Lumire, Senen, Jakarta Pusat, Rabu (12/4/2014). Beliau juga mengkritisi soal adanya parpol berbasis Islam yang berani mengusung caleg berlatar belakang artis, terlebih caleg itu tergolong sebagai artis seronok.

Salahkah capres paling populer itu dengan statemennya di atas. Sepertinya ngga salah-salah amat, karena berbicara adalah hak bagi setiap warga negara dan prilaku saling mengingatkan adalah sah secara cultural dan agamis. Tapi kita juga tidak harus menggeneralisasi dengan menilai semua artis itu hanya akan menjadi sumber masalah dan tak akan bisa memberi konstribusi positif bagi bangsa dan negara. Memang ada beberapa caleg pada sebuah parpol berbasis Islam yang justru bisa memberi citra buruk pada parpol tersebut karena masa lalunya yang buruk. Tapi banyak juga yang telah menunjukkan kepedulian dan dedikasinya bagi kemajuan bangsa ini. Lagi pula caleg selain artis apa bisa dijamin juga integritas dan kesungguhannya dalam membangun negara ini. Justru dari non artis yang paling banyak tersangkut masalah hukum dan penyelewengan selama mereka telah jadi wakil rakyat dan pejabat sejauh yang saya amati.

Justru yang saya khawatirkan adalah hijrahnya para artis ke dunia politik akan menimbulkan biaya sosial yang besar karena sektor kesenian dan kebudayaan akan merosot mutunya. Prilaku para artis kita yang terkesan tak berdedikasi pada bidangnya itulah yang malah akan membuat negara ini kian tidak jelas dan carut marut. Bukan saja secara professional mereka telah sangat meragukan, tapi niat dan ketulusannya dalam berkesenian sudah tidak meyakinkan lagi. Artis adalah profesi mulia yang harus dihargai juga oleh pelakunya, bukan sekedar batu loncatan untuk mencari akses yang lebih luas dan keluar dari konteks keartisan. Artis atau seniman apapun itu jika sungguh-sungguh digeluti secara intens, total dan penuh rasa cinta akan menjadi refresentasi hati nurani bangsa ini. Artis dan seniman itu identik dengan keindahan dan kehalusan serta kelembutan, jika mereka rame-rame masuk dunia politik yang kadang harus menghalalkan cara untuk mencapai setiap tujuannya, maka jiwa bangsa ini akan sedikt sompal dan tidak utuh lagi dalam kebulatannya. Berkurang bobot dan kualitasnya, apalagi jika ditinggalkan secara permanen oleh tokoh artis dan seniman seperti Tantowi Yahya, Dedy Miswar, Rano Karno, Rhoma Irama ( beliau ini sudah lama mendayung di dua karang ), Nurul Arifin, Rieke Dyah Pitaloka, Iyeth Bustami, Ikang Fauzi dan nyonya Marissa Haq, Eko Patrio, Dedi Gumilar. Nurul Komar Tetty Kadi, Jamal Mirdad, Desy Ratnasari dll.

Bisa dikatakan bahwa dunia film dan sinetron lebih membutuhkan untuk maju pada sosok seperti Deddy Miswar dan Rano Karno atau Nurul Arifin. Dunia dangdut lebih membutuhkan seorang Rajanya, Rhoma Irama katimbang dunia parleman dan pemerintahan ( mudah-mudahan beliau tidak terpilih jadi presiden ). Apalah seorang Iyeth Bustami akan lebih berperasaan menyanyikan lagu ‘ Laksamana Raja di Laut’ jika sudah jadi anggota DPR yang nantinya pasti akan sibuk benar, ke sana-ke mari tak ada juntrungannya. Sejak Eko Patrio, Deddy miing Gumelar atau Nurul Komar meninggalkan dunia lawak, mutu ketawa dan terkekeh-kekeh bangsa ini menurun drastis, tak lagi selepas dan semurni dulu, paling banyak hanya ketawa mesem atau ketawa yang direkayasa. Apalagi setelah meninggalnya caplin Indonesia ‘ Jojon’, tak ada lagi rasanya mesin ketawa di negri ini yang bisa melawak dengan tulus dan sungguh. Kebanyakan pelawak sekarang cenderung jadi presenter.

Para artis yang berbakat dan potensial itu mungkin akan berkilah bahwa mereka bisa tetap berkiprah di dunia kesenian dan keartisan sambil terus berpolitik. Di dunia yang sudah terdifferensiasi dan terspecialisasi begini rupa, agaknya apologia yang demikian akan sangat meragukan sekali. Dunia kesenian dan dunia politik bukan dunia yang bisa dilakoni secara sambil lalu. Keduanya butuh pendalaman dan totalitas untuk bisa berkarya secara maksimal. Seharusnya jika ingin berkesenian sambil berpolitik, ya jadilah seperti WS. Rendra, Khairil Anwar, Taufik Ismail atau Syumanjaya, Asrul Sani, dan Khairul Umam yang membuat syair-syair dan film politik dengan tanpa berpolitik praktis. Atau jadilah poltisi yang perduli pada kebudayaan yang memperjuangkan Undang-undang Kebudayan yang lebih berbudaya tanpa harus tetap mau dianggap juga sebagai artis atau seniman. Harus memilih ladang pengabdian secara tegas dan bertanggung jawab. Sekarang ini sebagai anggota PAPPRI ( Persatuan Artis Pencipta dan Penyanyi Indonesia ), saya tidak bisa membedakan apa motivasi Tantowi Yahya sebagai ketua PAPPRI yang sesungguhnya dalam membuat program dan kegiatan PAPPRI. Sebab ada kemungkinan beliau akan memamfaatkan moment kumpul-kumpul anggota PAPPRI yang jumlahnya ribuan di seluruh Indonesia, untuk meberi dukungan atas hasrat-hasrat politik dan pencalegannya kembali. Saya malah meragu apakah beliau akan bersungguh-sungguh mau berjuang untuk memberantas pembajakan dan pelanggaran atas HAKI yang marak dan merajalela dewasa ini. Atau apakah beliau mau mengangkat derajat atau nasib para pencipta lagu dan musik yang dewasa ini sangant nelangsa dan terpuruk.

Akan sangat banyak daftar keprihatinan dan kehilangan yang terjadi pada dunia artis dan kesenian jika mau mengikuti emosi. Maka anjuran saya adalah ‘ kembalilah si anak hilang’ atau ‘ pergilah, tak usah kembali dengan kepura-puraan’.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar