Sabtu, 13 September 2014

JAKARTA

Kota Jakarta dulu bernama Sunda Kelapa. Pada tahun 1527 Sunda Kelapa dibebaskan dari penjajah Portugis oleh seorang panglima perang kerajaan Demak di jaman Sultan Trenggono. Panglima itu tak lain dan tak bukan adalah Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunung Jati. Beliau adalah salah seorang dari Wali Songo yang telah mengislamkan Jawa. Sang pembebas juga diberi gelar Fatahilla atau Falatehan menurut lidah orang Portugis. Nama Fatahilla diambil dari ayat Al Qur’an dalam surat Al Fatah yang artinya kemenangan, “ Sesungguhnya Kami telah membuatkan kemenangan bagimu suatu kemenangan yang nyata ( Innaa fatahna laka fathan mubiinaa ). Dari ayat inilah diambil nama “ Jayakarta” atau Jakarta yang juga bermakna kemenangan yang nyata. Jadi Jakarta merupakan kota yang berdiri atas dasar taqwa seorang hambanya yang tawadhu dan tadharru, rendah hati dan rendah diri kepada Allah SWT. Fatahilla tak pernah membanggakan diri sebagai pahlawan pemenang, tapi selalu menghubungkan kemenangannya merebut Jakarta sebagai semata pertolongan Allah, Fathun minallah, Fathullah atau Fathillah.

Tapi kini Jakarta, Ibukota Negara Indonesia, pusat pemerintahan, budaya dan ekonomi, telah menjadi megapolitan yang semrawut, dingin dan kejam bak ibu tiri. Hutan beton yang tumbuh tiap hari itu bisa juga disebut kota “Megapolutan”. Gas buangan kendaraan bermotor yang jumlahnya jutaan menyergap dan menyemprot wajah-wajah warga tak berdosa setiap hari. Rindang pohonan yang tumbuh di jalan-jalan tak berdaya menetralisir kejamnya kendaraan out of date yang maunya mengkonsumsi BBM bersubsidi yang beroktan rendah yang banyak mesinya kotor. Angsana, Akasia, grobogan, atau trembesi di jalan-jalan protokol malah ikut batuk-batuk dan menghitam tanda tak sehat. Pohon-pohon yang tumbuh di sepanjang boulevard Kelapa Gading misalnya, sudah pada kering dan berdaun hitam. Belum lagi pohon-pohon yang semasa kampanye dijadikan tempat bergantung wajah-wajah calon wakil rakyat dengan jalan dipaku, sebentar lagi akan pada mati, jumlahnya ribuan. Paku-paku itu telah menggerogoti kesehatan sang pohon karena matinya sirkulasi makanan dan jaringan batang.

Jangan ditanya nasib sungai, kali dan got. Semua telah jadi simbol polutanisme yang tiada henti di Jakarta. Pabrik-pabrik dengan asap dan debu yang menghambur dari cerobong, mengotori dan mencelakai lingkungan secara ajeg tanpa ada jalan keluar yang pas. Polusi suara, udara dan air saling berkelindan menciptakan sebuah ruang mati bagi kreativitas dan harapan warga. Apartemen, super block, super mall, condominium, hotel atau ruko tumbuh secara sporadis dan tak beraturan, melabrak semua aturan tentang tata ruang dan tata kota.

Urbanisasi yang tak terbendung, menimbulkan premanisme, kriminalitas, narkoba, korupsi, dan kekerasan. Kemiskinan dan keterpinggiran menciptakan kantong-kantong lumpen proletariat atau kaum miskin kota di mana-mana, di bantaran kali, kolong jembatan atau di wadug-wagug. Banjir dan kemacetan tak kunjung selesai-selesai diurus. Prostitusi terselubung dan terang-terangan menambah runyam suasana. Yang terakhir berkolaborasi dengan tukang ojek, tak pernah hilang dari pandangan di tempat-tempat tertentu. Malah mereka punya base camp masing-masing sesuai jenis layanan. Waria mangkal di Taman Lawang, kaum guy di Lapangan Banteng, sedang wanita tulen bisa dilihat di sepanjang Hayam Wuruk kala malam. Ditutupnya Pager Seng alias Kramat Tunggak, membuat mereka menyebar, tumplek bleg di tempat-tempat yang mungkin dan menjanjikan.

Jadi kita tak perlu ke Bangkok, Mexico City, Chicago, atau New York untuk berwisata sex, crime, narkoba atau melihat aksi para gangsters dan mafia, semua telah ada di Jakarta yang begitu pesat perkembangannya sejak jaman Ali Sadikin. Padahalnya sebelum itu, Jakarta hanya dikenal sebagai “ The Big Village” alim, polos dan lugu dengan landmark Monas, Hotel Indonesai atau Sarinah sebagai andalan.

Untuk tidak berpanjang lebar dan berkeluh kesah bicara tentang Jakarta yang katanya sarat prestasi di mana gubernurnya yang sekarang tak lama lagi akan dilantik jadi presiden, lebih baik kita baca puisi Husni Jamaluddin yang berjudul “ Jakarta”. Walau puisi ini di tulis di tahun 1990, tapi masih relevan dengan masalah-masalah yang selalu dihadapi kota Jakarta. Di tambah lagi kepiawaian Husni memotret masalah-masalah sosial budaya, serta kepekaannya menangkap hati nurani kemanusian yang di mana-mana nyaris bangkrut oleh pesatnya pembangunan yang berlandas pada epeisteme rasionalisme, tekhnologi dan materialisme.
JAKARTA
jakarta adalah bis kota
yang berjubel penumpangnya
bergerak antara kemacetan jalan raya
dan terobosan-terobosan tak terduga

jakarta adalah bos besar
gajinya sebulan empat milyar
adapun yang babu
tinggi sudah mpat puluh ribu

jakarta adalah rumah-rumah kumuh
yang mengusik tata keindahan gedung-gedung pencakar langit
Jakarta adalah gedung-gedung pencakar langit
Yang mencakar wajah kemiskinan rumah-rumah kumuh

jakarta adalah jalan layang
jalan lapang orang-orang gedongan
Jakarta juga adalah gang-gang sempit dan berlobang
Jalan pulang orang-orang pinggiran

jakarta adalah komputer
yang mengutak-atik angka-angka nasib
dan memutar nasib angka-angka

jakarta adalah ciliwung
sungai keringat dan mimpinya rakyat
di situ pula
mengalir air mata ibukota

Tidak ada komentar:

Posting Komentar